SOKRASANA dan SUMANTRI


SOKRASANA dan SUMANTRI

Hari ini langit menunjukkan kemuramannya, mendung. Angin dingin bertiup lembut di sela-sela pepohonan. Burung-burung berkicau lirih. Seisi hutan belantara seakan tahu bahwa sahabat mereka, Sokrasana, sedang bersedih. Di tengah daun-daun yang berguguran, di situlah Sokrasana mengayunkan langkah kakinya yang timpang. Punggungnya yang bungkuk dan tangannya yang pengkor bergerak seirama. Sudah sebulan lebih Sumantri tidak datang ke hutan ini, dan Sokrasana tidak tahu apa sebabnya.
                Hari ini, rasa yang kerap datang ke sanubari Sokrasana kembali menyiksanya. Rasa yang hampir membuatnya putus asa. Rasa tidak berharga, tidak lengkap, dan tidak pantas untuk hidup serta dicintai. Biasanya kehadiran Sumantri, kakaknya, selalumembuat rasa itu enggan mucul. Entah bagaimana, Sumantri tidak pernah gagal menceriakan hari-harinya. Saat bersamanya, Sokrasana lupa akan keterpurukannya. Kepergian Sumantri yang begitu tiba-tiba meninggalkan berjuta pertanyaan, segumpal besar sepi, dan seonggok besar ratapan kesedihan. Seketika itu juga, kerongkongan Sokrasana terasa tersekat, kemudian tanpa disadarinya, air mata telah membasahi pipinya yang penuh bopeng.
                Sementara itu, jauh dari tempat Sokrasana berada, di kerajaan Maespati, Sumantri tengah bermegah. Dia berhasil mewujudkan impiannya selama ini. Dia mengabdi kepada raja yang tak terkalahkan kesaktiannya oleh siapa pun. Tugas dari Sang Prabu Maespati, Arjunasasrabahu, telah diembannya dengan sangat baik. Sumantri telah berhasil memboyong Dewi Citrawati dan Dewi Magada ke Maespati, untuk dijadikan permaisuri Sang Prabu Arjunasasrabahu.
                Kepuasan dan kebanggaan meraja di hati Sumantri. Terlebih karena kedudukannya saat ini. Karena kepiawaiannya mengemban titah, Prabu Arjunasasrabahu mengangakat Sumantri sebagai orang yang paling dipercayainya. Sumantri yang berparas rupawan, bertubuh tinggi dan tegap, telah diakui sebagai seorang ksatria oleh seluruh Maespati. Namun sayangnya, ada suatu hal yang tidak dimiliki Sumantri, yakni cinta tulus setia tanpa pamrih; satu hal yang dimiliki Sokrasana.
                Di tempat Sumantri berada sekarang, keadaanya sungguh berbeda dengan Sokrasana. Dinding ruangan yang ditempatinya di Istana Maespati begitu tebal, mampu menahan terpaan angin dingin, yang sejak kemarin tidak berhenti bertiup. Tiba-tiba saja Sumantri teringat akan adiknya, adik semata wayangnya. Apakah Sokrasana baik-baik saja? Mungkinkah dia dapat bertahan tanpa kehadiranku? apakah dia mengingatku dan bersedih hati? Apakah terpaan cuaca yang tak kenal ampun ini membuatnya jatuh sakit, lemah tak berdaya?
                Ah... andai saja Resi Suwandageni, ayah mereka, tidak membuang Sokrasana ke hutan pada waktu itu, mungkin saja benak Sumantri akan lebih tenang saat ini.
                Kalau Sumantri dapat memilih, dia tak mau lagi mengingat peristiwa menyakitkan itu. Saat ia dan Resi Suwandageni untuk pertama kalinya, meninggalkan Sokrasana di hutan lebat itu. Tangis Sokrasana pecah saat itu, membahana, merayap ke seluruh pelosok hutan. Suara parau dan isak tangisnya yang seakan tidak akan berhenti mampu menembus ribuan pohon yang ada; seolah membuntuti setiap langkah Sumantri yang melangkah cepat menjauhinya. “aku aja ditinggal ning kene, kakang!!!” raungnya pada saat itu.
                Tahun demi tahun telah terlewati. Namun rasa yang menyayat hati itu masih muncul setiap kali Sumantri mengingatnya. Ketika Sumantri bertanya pada ayahnya mengenai alasan di balik tindak pembuangan Sokrasana, ayahnya hanya menjawab pelan seolah tanpa rasa bersalah, “aku iki resi, le. Aku ora pantes nduwe anak kaya adhimu kae. Aku isin, le. Isin. Wis awake cacad, rupane elek, maneh...” Sampai detik ini, Sumantri tidak dapat memahami jalan pikiran ayahnya. Jauh di lubuk hatinya ia tidak mau berlaku sedemikian kejam terhadap adiknya itu. Tapi nasi sudah jadi bubur. Keputusan ayahnya itu tidak dapat diowahi; tidak dapat diganggu gugat.
                Sokrasana mempercepat langkahnya. Dia telah memutuskan untuk mencari Sumantri, sampai ke ujung dunia sekalipun. “kakang Sumantri... kowe ning endi, kang? Aku aja ditinggal. Aku melu... kakang Sumantri...” teriakan paraunya terus membahana. Menurut keterangan Candabhirawa, makhluk gaib yang pernah ditemuinya di hutan, Sumantri telah pergi meninggalkan Sokrasana untuk mengabdi kepada Prabu Arjunasasrabahu di kerajaan Maespati. Oleh karena itulah, Sokrasana telah berpuguh niat untuk menyusul Sumantri ke Maespati, walaupun untuk saat ini, dia tidak tahu di mana letak negeri itu.
                Saat Sokrasana tengah dalam perjalanannya, di Maespati terjadi suatu kehebohan. Tiba-tiba saja Dewi Citrawati, sang permaisuri, menginginkan taman Sriwedari, milik Bathara Wishnu, agar dipindahkan dari Kahyangan ke Maespati. Serta merta Sang Prabu menitahkan tugas itu kepada Sumantri. “Pokoke ingsun ora preduli kepriye carane, sira kudu bisa mindahake taman Sriwedari aneng Maespati kene!” perintahnya. Titah yang mustahil dilakukan oleh Sumantri. Kesaktiannya tidaklah cukup untuk mengemban tugas sesulit itu.
                Sementara itu  Sokrasana, yang hampir saja putus harapan, mengira bahwa kakaknya tidak akan mungkin dia temukan. Seraya melepas lelah di pinggir sungai, Sokrasana mulai berpikir untuk mengurungkan niat semula. Dia mulai tak tentu arah, tidak dapat menentukan ke arah mana lagi dia harus berjalan. Di tengah kegalauan hatinya itu, mendadak sontak terlihat dari kejauhan sesosok yang amat dia kenal. Ya, sosok itu adalah Sumantri. Nampak kebingunagn dan linglung. Awalnya Sokrasana tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. Namun setelah beberapa saat mengamati dengan seksama, dia teramat yakin bahwa sosok itu adalah kakak yang amat dikasihinya. Tanpa berpikir lagi, Sokrasana berlari menghambur ke arah Sumantri sambil berseru-seru, “kakang! Kakang Sumantri!!! Iki aku, kang. Sokrasana, adhimu...
                Sumantri yang tengah dirundung kebingungan kontan merasa heran sekaligus senang melihat adiknya itu. Ia terperangah. Mulutnya tidak dapat dikatupkannya. Sokrasana dihampirinya dengan setengah berlari, dipeluknya, dan diangkatnya tinggi ke atas pundaknya, seperti yang dulu kerap dia lakukan. “Kowe karo sapa, dhi? Kowe wani, ta, tekan kene dhewekan wae?” tanya Sumantri pada adiknya.
                “Aku nggoleki kowe, kang. Aku ora bisa urip tanpa kowe,” tukas Sokrasana. Setelah beberapa saat saling melepas rindu, Sumantri menceritakan perihal kebingungannya; titah Prabu Arjunasasrabahu yang nampak mustahil dilaksanakan. “aja bingung, aja kuwatir, kakang. Aku saguh mindahake taman Sriwedari aneng Maespati,” ujar Sokrasana.
                Sumantri terperangah, tidak dapat mempercayai ucapan adiknya. “aku saguh nglakoni waton kowe ora ninggal aku maneh, kang,” ujar adiknya itu. Demi memenuhi titah sang Prabu, Sumantri tanpa ragu menyanggupi persyaratan adiknya itu.
                Betul saja. Taman Sriwedari yang semula berada di Kahyangan, hanya dalam sekejap mata, telah pindah ke Maespati. Sumantri melambung ke puncak ketenaran. Namanya dipuja-puji khalayak ramai; menjadi harapan dan doa seluruh negeri. Sumantri, sang pahlawan, tidak diragukan jiwa ksatrianya, seorang yang pantas mendampingi Arjunasasrabahu, sang Nata.
                Namun, kegegapgempitaan itu tidak berlangsung lama. Sang Prabu merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan dari dirinya. Sumantri dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang akan memutarbalikkan nasibnya. “apa tenan, sira sing mindahake taman Sriwedari?”, tanya Sang Prabu. Untuk beberapa saat, Sumantri hanya dapat membisu, tertohok oleh tajamnya pertanyaan itu.
                Hati nurani Sumantri tengah tidak berfungsi pada saat itu. Hal itu terbukti dengan adanya pengakuan palsu, yang keluar dari mulutnya sendiri. Dia tidak berterus terang bahwa adiknyalah yang sebenarnya telah berjasa memindahkan taman Sriwedari ke Maespati.
                Sokrasana yang selalu mengikuti Sumantri ke mana pun ia pergi, lambat laun menimbulkan ketidaknyamanan di benak Sumantri. Dia merasa malu dengan kenyataan bahwa bukan dia yang telah berjasa memindahkan taman Sriwedari. Selain itu, karena terbuai oleh ketenaran dan kemegahan yang diterimanya, pelan namun pasti, Sumantri merasa bahwa Sokrasana yang cacat dan buruk lupa telah mempermalukannya. Maka, Sumantri memutuskan untuk menjauhkan Sokrasana dari hidupnya. Kalau perlu malah mengenyahkannya. Dengan segala cara, Sumantri mencoba mengusir adiknya itu.
                Namun sudah dapat diduga, Sokrasana terus saja mengikutinya. Dia tak mau lagi kehilangan kakaknya, dia tak ingin sedetik pun jauh darinya. Dia selalu menolak untuk menjauhi kakaknya, bahkan terus membuntutinya ke mana pun kakaknya itu melangkah.
                Sumantri merasa muak. Dia muak atas Sokrasana dan segala yang ada dalam dirinya. Dalam hitungan hari, rasa sayang terhadap adiknya itu berubah menjadi kebencian. Tanpa berpikir panjang, Sumantri mengambil sebuah anak panah, memasangkannya pada busurnya, dan kemudian mengarahkan busur itu tepat ke arah Sokrasana, seraya berkata “lungaa, dhi. Lunga saka uripku. Aku jijik marang kowe. Katresnanku marang kowe wus sirna. Yen kowe tresna marang aku, manuta karo aku. Lunga!!!
                Awalnya Sumantri berharap bahwa tindakannya itu akan membuat Sokrasana takut, sehingga mau tidak mau menurut padanya. Namun malang bukan kepalang, tanpa sengaja anak panah itu terlepas dari genggaman tangan Sumantri. Lebih cepat dari kedipan matanya, anak panah itu melesat cepat, tepat ke arah Sokrasana. Anak panah itu tertancap di dada Sorasana, adik satu-satunya, yang sangat mengasihinya. Secepat kilat Sumantri menghampiri tubuh adiknya yang telah rebah ke tanah. Sudah terlambat. Sokrasana telah tertusuk oleh anak panahnya; anak panah yang membawa banyak kebencian, yang entah dari mana datangnya. Sumantri hanya dapat menagis. Hanya itu.
                Dengan sisa tenaga yang ada, Sokrasana berusaha mengucapkan sesuatu pada Sumantri. “Sokrasana dudu Sumantri... nanging, sejatine Sokrasansa tansah ana ing jiwa lan ragane Sumantri. Yen Sokrasana mati, Sumantri uga kudu mati, amarga aku lan kowe ora bakal bisa kapisah, kakang...” Sokrasana mencabut anak panah yang menancap di dadanya. Tubuhnya menggeliat kesakitan. kemudian, tanpa ragu, Sokrasana menghunuskan anak panah itu ke arah Sumantri yang tengah tertunduk di atas tubuhnya. Sumantri meringis menahan sakit. Dia sama sekali tidak  berusaha untuk menghindar dari hunusan anak panah itu. Dia tahu bahwa ini adalah karmanya, dan ia tidak mau menghindarinya. Ngundhuh wohing pakarti...

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Followers


Recent Comments