Memaknai Kebahagiaan

Diakui atau tidak, kebahagian memang sangat beragam bentuknya dan relatif nilainya. Nilai kebahagian seorang petani tentu sangat lain dengan nilai kebahagiaan seorang diplomat yang sering terbang ke berbagai negeri. Singkatnya, setiap individu memiliki referensi yang berbeda dalam memaknai kebahagian dan ketidakbahagiaannya.

Lantas, kalau kita sudah bisa mencapai kebahagiaan yang diinginkan, masih ada pertanyaan lebih lanjut; Apa yang bisa kita dapat dari kebahagiaan itu sendiri? Tidak jarang saya malah tidak tahu apa yang sudah saya dapatkan dari bentuk kebahagiaan yang pernah saya rasakan. Namun terkadang, saya malah mendapatkan sesuatu yang berharga dari sebuah peristiwa yang diberi label kesedihan oleh manusia kebanyakan.

Hermann Hesse (2 Juli 1877 - 9 Agustus 1962), penyair dan novelis peraih Nobel asal Jerman, dalam puisinya yang berjudul "Kabahagiaan" menyatakan bahwa:

Selama engkau mengejar kebahagiaan, engkau belum matang untuk berbahagia
biarpun milikmu segala kesayangan.

Selama engkau mengeluh karena ada yang hilang dan punya tujuan serta tiada tenang, kau belum tahu apa arti kedamaian.

Baru setelah engkau lepaskan segala keinginan, tak kenal lagi hasrat dan tujuan, tak lagi menyebut nama kebahagiaan, maka banjir segala kejadian tak lagi menyentuh hatimu, maka jiwamu akan tenang.

Barangkali saja kutipan puisi tadi bisa menjadi pengatar untuk kita berkontemplasi di tengah realitas dunia yang semakin sarat dengan keambiguan.

Akhir kata, apapun bentuknya, jangan lupa dekap kebahagiaanmu.

posted under | 0 Comments

Terbang Pulang

Hari ini saya dipertemukan untuk ketiga kalinya dengan film berjudul "Fly Away Home" (1996). Film ini mengisahkan persahabatan Amy Alden, diperankan sangat apik oleh Anna Paquin, dan 16 ekor angsa. Ia menemukan telur-telur di dekat rumah ayahnya, yang
terlantar saat hutan dekat rumah mereka dirayah oleh buldozer.

Amy yang sedang berduka karena baru saja ditinggal oleh ibunya yang meninggal dunia karena kecelakaan, harus beradaptasi ketika ia harus tinggal bersama ayahnya di Kanada.
Ikatan emosional antara Amy dan angsa-angsa kecil, yang ia tetaskan di gudang milik ayahnya, menjadi titik kekuatan film ini. From the way i saw it, Amy menemukan gairahnya kembali setelah beberapa saat merasa kebas dan tak paham tentang semua yang telah terjadi.

Permasalahan muncul ketika menjelang waktu migrasi angsa dari Kanada ke Amerika Serikat di musim gugur. Angsa-angsa itu belum bisa terbang.
Tom, ayah Amy, yang juga tengah bergelut dengan penemuannya, yakni mesin terbang sederhana, mempunyai ide untuk
mengajari angsa-angsa itu terbang dan mengarahkan mereka bermigrasi ke selatan. Dengan apa? Mesin terbang temuannya itu.

Cerita mengalir, mulai dari kesulitan teknis dan nonteknis sampai akhirnya Amy sanggup mengantarkan angsa-angsa tsb sampai North Carolina. Seolah mustahil jika dilakukan oles seorang remaja berusia 14 tahun, but she did it.

In my humble opinion, film ini sangat layak tonton dan personally saya tidak merasa bosan untuk menontonnya lagi dan lagi. Alunan lagu "10,000 Miles"yang dinyanyikan oleh Mary Chapin Carpenter dalam film ini menambah daya pikatnya.

Melalui film ini ada satu pesan yang harus berulang kali saya ingat: to achieve the incredible, you have to attempt the Impossible.

posted under | 0 Comments

Rumah Kakung-Uti

Pernah tertulis bahwa hidup adalah perjalanan untuk membangun rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan keraguan.
Buat saya, rumah ini salah satu saksi bisu atas pencarian tersebut.
Adalah sebuah rumah tua di Salaman-Magelang, yang berdiri kokoh sampai sekarang hanya oleh karena rahmat Sang Maha Hidup.

Satu hal yang terpatri di hati ketika memandang rumah ini, "Mung Katresnan Kang Mbangun Brayat." Percayalah, kasih itulah yang membuat rumah tua ini menjadi sedemikian eloknya.

Teruntuk yang terkasih alm. Kakung dan Uti, terima kasih karena pernah menemani kami semua menata hati dan mengolah rasa di rumah ini.
Kasih; nama lain dari sebuah rumah.
Tak banyak yang saya minta selain izin untuk selalu pulang lagi.

posted under | 0 Comments

Mumpung

Sepanjang 2016 kemarin, banyak sekali yang pergi mendahului kita. Baik yang dekat di hati, yang teramat kita kasihi, atau sekadar orang yang kita kenal begitu saja.
Apapun dan bagaimanapun posisi mereka di hati kita masing-masing pastilah telah menorehkan gambar tersendiri di lini masa hidup kita, sedikit/ banyak, gelap/terang, berwarna/cenderung monokromatik.

Saya, sebutlah dengan label apapun yang kalian kehendaki, adalah seorang yang tidak pernah bisa beradaptasi dengan baik dengan keadaan yang bertajuk "kehilangan orang yang saya kasihi". Butuh proses dan waktu yang tidak sebentar bagi saya untuk mencerna setiap peristiwa kehilangan yang dalam 5 tahun belakangan seolah datang bertubi-tubi. Saya sudah sampai pada "Okay, Boss, who's next? What's next" kind of phase.

Kebetulan, karena masih libur saya menyempatkan diri menyusun dan merawat foto-foto lama. Bak video, semua memori terputar kembali secara otomatis saat saya memandangi wajah-wajah mereka, yang telah kembali ke Rumah Yang Senang itu. Senyum disusul dengan tetes air mata pun terjadilah.

Dalam otak saya, yang tak seberapa besar ini, saya mencoba melogikakan peristiwa meninggalkan-ditinggalkan; peristiwa resiprokal yang mutlak terjadi dalam hidup.

»Saat Senja datang, apakah Bumi yang pergi meninggalkan atau Matahari yang mengucapkan selamat tinggal?« .

Entahlah.
Yang jelas keduanya sama-sama terluka.
Yang terpenting saya sudan belajar tentang kehilangan (lagi dan lagi tiada henti); bahwa tiada satupun yang bertajuk abadi.

Teringat pada perkataan seorang kawan:
"Tak ada yang absolut di dunia ini, kak. Yang absolut hanya kecepatan cahaya." ~Gita Elisa Ginting.

Mumpung masih diberi kesempatan, mumpung jatah nafas masih diberikan secara cuma-cuma oleh Sang Maha Hidup, nggak ada salahnya mengekspresikan rasa sayang kita ke orang-orang yang berarti dalam hidup.

Seperti kata mas Chris Martin: "So if you love someone, you should let them know oh the light that you left me will everglow..." .

Couldn't agree more... 💖💙

posted under | 0 Comments

Ngopeni Berkah

"Kenapa, sih, Pa, Papa suka banget sama lampu gantung kayak gini? Repot, tauk, harus tiap minggu ngebersihin," tanya saya pada suatu Minggu saat saya kecil dulu.

"Nyeni, dik. Lan ketok njawani. Bentuknya yang ndak biasa mengharuskan kita lebih ngopeni berkah," jawab alm. Ayah saya waktu itu.

Jawaban yang absurd buat anak SD, bukan? Ketimbang ketidakmudengan saya berlanjut, saya urungkan pertanyaan lain di kepala atas reaksi jawaban seperti itu, dan serta merta menanggapi dengan "Ooh..." .

Kemarin, Jakarta diguyur hujan lebat. Rumah kami yang tua disambangi bocor di sana-sini, termasuk di ruang tamu, tepat di atas salah satu lampu gantung kebanggan Ayah saya itu. Bisa ditebak, korslet disusul oleh mati lampu terjadi.

Sore ini saya memutuskan untuk mencoba mengganti fitting (rumah lampu) yang jadi sumber gelapnya rumah kemarin. Kegiatan yang butuh kesabaran karena ternyata cukup ribet bin riweuh melakukannya. Ilmu  yang saya peroleh dari ekskul elektro saat SMP dulu seolah tak membantu. Diiringi peluh dan keluh, penggantian fitting pun purna jaya. Ruang tamu kembali terang.

Tak berhenti di situ. Ibu saya, yang tak pernah bisa membiarkan anaknya berleha-leha saat liburan, menginstuksikan saya secara kejam untuk membersihkan lampu gantung serupa yang ada di rumah. Yak, betul, kelima-limanya.

Menghindari "nyanyian merdu" beliau yang bisa berlanjut sepanjang hari bahkan minggu, saya segera sigap melaksanakan instruksinya. "Siap, Ndan!"

Ulir-ulir perunggu yang njlimet dan kap belingnya yang rapuh cukup mengerjai saya. Pelan tapi pasti, kelima lampu tersebut bisa bersih dan nampak makin ciamik. Tak heran, Ayah saya begitu mencintai lampu-lampu ini, pikir saya.

Kegiatan sederhana tapi juga maharibet ini membuat saya sadar bahwa Tuhan sudah sedemikian baiknya memberikan karunia lampu-lampu ini. Sudah sepatutnya saya merawatnya dengan baik sebagai wujud syukur saya atas semua kebaikanNya yang tak pernah absen dalam tiap detik hidup saya.

Ngopeni berkah.

Frase yang kerap terlontar dari mulut Ayah saya menjadi lebih bermakna di sanubari sekarang.
Teruntuk Papa di Rumah Barunya: semoga kau bangga padaku.

posted under | 0 Comments

Perempuan Bernama Suryati Purba

"Citra Pendidikan selanjutnya temanya tentang Valentine. Nah, kau bikin lah tulisan tentang itu. Lusa kau kasihkan ke aku." Kira-kira begitulah sepenggal kalimat imperatif yang dituturkan seorang Suryati Purba kepada saya di masa SMA.

Alm. Suryati Purba, sosok perempuan perkasa yang saya kagumi. Seorang guru Bahasa Indonesia yang bisa melihat saya yang "tak terlihat" pada waktu itu.

Dia perkasa karena bisa tetap mengajar seiring dia berjuang menghadapi kanker yang dideritanya. Tak jarang dia berkata bahwa dia masih cantik dan seksi walaupun kemoterapi membuat kulitnya menghitam. "Masih bisanya aku dapat daun muda, tapi kasian Bapak Abby (suami Bu Suryati) di rumah," katanya suatu kali pada saya sambil membetulkan letak wig di kepalanya.

Bisa dikatakan bahwa masa SMA adalah masa yang cukup muram buat saya. Memasuki masa di mana saya belum lama kehilangan Ayah. Segala sesuatunya serba tak menentu saat itu. Financially? Jangan ditanya. Saya kerap pergi atau pulang berjalan kaki dari Senen ke Tanah Abang atau sebaliknya karena tak ada ongkos. Mentally? Nyusruk. Insecure, low self esteem, dan ajektiva sejenis bisa dijejerkan di sini. Singkatnya saya adalah remaja yang "tak terlihat" oleh sekelilingnya. Prestasi akademis masuk kategori standar, prestasi sosial, nihil. Semacam burung unta yang terus membenamkan kepalanya di dalam tanah, lah, kira-kira.

Ibu Suryati, satu-satunya sosok yang bisa "melihat" saya. Suatu hal yang tidak dinyana-nyana kalau boleh jujur. Saat dia memerintahkan saya untuk menulis untuk koran sekolah saat itu, saya cuma bisa melongo dan berkata, "kenapa saya, bu?" Dengan tegas dia menjawab: "karena aku mau kau yang buat." Singkat dan tak terbantahkan.

Saya serahkan artikel yang dia kehendaki lusanya. Di ruang guru yang sepi saat itu, menjelang waktu pulang sekolah, Bu Suryati menyambar kertas yang saya sodorkan seraya berkata "tulisan-tulisan kau selama ini bagus. Kau kembangkanlah talenta kau itu. Biar ada bangga alm. bapakmu di sana." Dipandangnya lekat mata saya saat itu. Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih seraya pelan beringsut keluar.

Terima kasih, Bu Suryati. Selamanya engkau di hati.

posted under | 0 Comments

The Golden Rule

Siang tadi saat istirahat makan siang, saya terlibat suatu percakapan asyik dengan dua kawan kerja saya. Tema pembicaraannya adalah suatu hal yang akan terus ada sampai semesta berakhir: perselingkuhan.
Mengapa saya katakan akan terus ada? Karena menurut saya selingkuh itu pilihan. Apapun alasannya. Sebut saja kebosanan terhadap pasangan, CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali), ketidaksengajaan, ketidakpuasan terhadap pasangan, LDR (Long Distance Relationship, atau apalah itu, you name it, tetap saja kesemuanya berujung pada pilihan. .
.

Cinta dan Mencintai, nomina dan verba multidefinisi dan multipersepsi yang mengandung nilai pertanggungjawaban yang tidak ringan, apalagi minim konsekuensi.
Simpulan kasar saya tadi berdasar pada beberapa kasus perselingkuhan yang kami bahas siang tadi. Hidup itu pilihan, memang tak bisa dipungkiri. Pilihan seorang atas hidupnya pun tak bisa serta merta kita hakimi. Tapi ketika semua permasalahan dalam hubungan harus bermuara pada perselingkuhan, saya harus nyinyir, mengingat bahwa ada pelaku dan korban dari aktivitas tersebut yang sejatinya bisa dihindari.

Hanya 3-5% hewan ciptaan Tuhan yang monogami. Di antaranya elang, laba-laba Argiope Aurantia, dan buaya. Sedihnya, Homo saphiens (manusia), primata tertinggi, tidak termasuk dalam kategori tersebut. Fakta yang tidak bisa diubah atau... Ah, entahlah.

Sebagai manusia yang penuh harap, saya hanya bisa berdoa agar pilihan apapun yang kita ambil dalam hidup kita di masa yang akan datang bukanlah pilihan yang berlandaskan pada sesuatu yang cenderung dicari-cari alasannya. Lebih dari itu, lebih berlandaskan kepada pilihan yang tidak menyakiti orang lain. "Do unto others as you would have them do unto you.” Simpan dan ingat golden rule ini dalam sanubari yang paling dalam.


posted under | 0 Comments

Kupu-kupu atau Laba-laba?


Salah satu kawan belajar saya, anak perempuan 10 tahun,  siang ini tiba-menarik tangan saya seraya bertanya:
"Miss tau, nggak, kalau ada kupu-kupu yang terperangkap di sarang laba-laba, orang akan cenderung menolong kupu-kupu itu walaupun mungkin si laba-laba belum makan selama berhari-hari.”

Terperangah dan agak mlongo, saya berkata "Apa maksudmu? Tidak bisa langsung disimpulkan, dong. Harus ada pengamatan lebih lanjut."

Ia langsung menyambar, “Iya, miss, aku tau. Tapi gimana kalau yang terperangkap itu adalah ulat yang belum jadi kupu-kupu? Yang masih jelek dan belum punya sayap warna-warni. Orang tetep akan nolong, nggak? Kenapa, sih, miss, harus cantik supaya ditolong? I wish that people could see the beauty in me..." ujarnya lirih.

"Let me tell you one thing, you can't control what happens to you but you can control how to react to them," Hanya sepenggal kalimat yang bisa saya sampaikan kepadanya saat itu. Bel penanda waktu makan siang berbunyi, si anak langsung melengos pergi.

Sekali lagi, saya dididik, diingatkan, dan dibuat takjub oleh seorang anak, bahwa hidup adalah sekumpulan kekecewaan yang niscaya menjadikan kita jadi lebih baik. Doaku untukmu, Nak, supaya kau jadi bentukan yang senantiasa membanggakan. Ohya, satu hal yang pasti, you are beautiful!



posted under | 0 Comments

Musisi atau Penyair?

Pertanyaan serupa bisa diajukan kepada artis-artis mumpuni kelas dunia.
Misalnya saja ketika untuk pertama kalinya Michael Jackson menyajikan "Moon Walk" nya yang fenomenal itu, secara serta merta timbul pertanyaan, apakah penonton terbuai oleh tariannya, nyanyiannya, komposisi musiknya, atau koreografi panggungnya?

Tidak bisa dipungkiri, berkreasi pada tingkat tertentu akan menyajikan perdebatan mengenai kategorisasi genre karya seni tersebut. Secara awam dan sederhana, saya mengkategorisasikan karya Dylan sebagai perenungan dalam yg termanifestasikan melalui lirik dan harmonisasi yang tidak biasa atau bahkan kadang "nyeleneh." Kedua unsur tadilah yg membuat saya memiliki citraan sinematik di kepala setiap mendengar karya Dylan.

"Just Like Tom Thumb's Blues", salah satu balada naratif berdurasi 4.5 menit yang mampu membawa saya ke dalam potongan dunia yg belum pernah saya injak bahkan lihat sekalipun.

Berikut lirik-liriknya yang tercipta secara jenius, setidaknya bagi saya,
"When you're lost in the rain in Juarez/ And it's Eastertime too" "Sweet Melinda, the peasants call her the goddes of gloom/ She speaks good English and she invites you up into her room/  And you're so kind/ And careful not to go to her too soon/ And she takes your voice and leaves you howling at the moon."

Entah kenapa, saya pun sangat menyukai untaian nada dalam lagu ini, terutama cara Dylan melakukan pemenggalan dan pungtualisasi pada lirik:
"About someone named Angel/ Just arrived from the coast, who looked so fine at first/ But left looking Just. Like. A. GHOST!"
yang membuat saya langsung ingin bercermin dan mengecek, apakah saya pun terlihat seperti hantu.

Konon, tugas sejati seorang seniman berhenti pada saat "buah hati" nya terlahir, dan menyerahkan tugas selanjutnya (baca: interpretasi) kepada para penikmat karya seni tersebut. Pendek kata, interpretasi karya seperti karya Dylan pun bebas dan luas adanya.

Bagi saya, Nobody Sings Dylan Like Dylan. Apa dan bagaimana interpretasi makna keindahannya, terserah anda.
Salam damai dan banyak cinta buat anda semua (",)

posted under | 0 Comments

Layar Mimpi Kupasang Tegak

Apakah yang tersisa dari biadabnya masa berpisah, selain kerinduan tak tertata?

Kemarau gersang tak pernah memusuhi hujan yang membatasi lelaku teriknya, membasahi tanah karena deras rinainya.

Sebab persuaan pasti terjadi hingga kerinduan tak berarti.
Tapi tidak bagi kita
yang menekuni garis takdir semesta.
Tidak bagi kita yang membiarkannya garis itu bentangkan jarak, dan hanya dapat menatap nanar kepingan rindu terserak.
Tidak lain karena pertemuan (bagi kita) semustahil menyulap kayu menjadi perak.

Dan ketika tarikan napas mulai berat, rongga dada semakin sesak
Karena menyimpan rindu yang kian sarat, hanya layar mimpi kupasang tegak.

posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Followers


Recent Comments