Analisis Peristiwa Komunikatif

Setelah menetapkan komunitas tutur yang hendak dipelajari, tugas pertama yang harus dilakukan dalam suatu penelitian etnografi komunikasi adalah mendefinisikan, paling tidak secara tentatif, masyarakat tutur yang akan diteliti. Deskripsi etnografis tersebut tidak dilakukan dengan pendekatan, mencakup kategori dan proses, yang sudah terbentuk sebelumnya, melainkan dengan sikap yang terbuka agar cara-cara suatu masyarakat tutur merasakan dan mengatur pengalaman komunikatif mereka semakin terungkap. Langkah awal dalam melakukan deskripsi dan analisis suatu pola komunikasi adalah dengan mengidentifikasi peristiwa berulang, mengenali komponen-komponen yang menonjol, dan menemukan relasi antarkomponen, antarperistiwa, dan aspek lain dalam suatu masyarakat. Deskripsi etnografis yang memadai dapat memberikan pemahaman mengenai suatu masyarakat tutur kepada orang lain, bahkan kepada orang yang tidak kenal sama sekali dengan masyarakat tutur yang dimaksud. Melalui deskripsi tadi, orang dapat memahami bagaimana suatu masyarakat tutur berkomunikasi dengan tepat dalam situasi tertentu.

Relasi antara Etnografer dan Masyarakat Tutur
Seorang peneliti dapat menghasilkan pemahaman yang lebih dalam mengenai suatu budaya melalui studinya dengan mengadopsi peran yang fungsional dan menjadikan dirinya sebagai peserta. Hal ini dianggap perlu dalam masalah penerimaan suatu masyarakat terhadap seorang peneliti.
Ø  Peneliti yang meneliti masyarakatnya sendiri
·         Lebih sulit dalam melakukan penelitiannya, karena masyarakat tutur menganggap peneliti sudah memahami aturan-aturan dalam budaya mereka (bersikap seperti mereka), sehingga usaha peneliti untuk lebih mencari tahu/memahami budaya mereka dianggap aneh, bahkan menyimpang dari kebiasaan.
·         Harus tetap objektif dalam penelitiannya, sehingga dapat tetap menghasilkan perspektif komparatif dalam hasil kerjanya, walaupun dia terlibat dalam masyarakatnya sendiri.
·         Dapat menjadikan dirinya sebagai sumber informasi dan interpretasi atas budayanya sendiri. Melalui usahanya untuk lebih mengungkap apa yang ada di balik budayanya (termasuk keterbukaannya untuk mengintrospeksi), peneliti itu akan memperoleh lebih banyak info daripada peneliti yang bukan bagian dari masyarakat itu (bukan penutur jati).
·         Paling tidak dapat menjawab beberapa dari pertanyaan-pertanyaan utama mengenai keabsahan dan keandalan studi etnografi, yang diajukan oleh kalangan ilmu sosial yang berorientasi kuantitatif.
Ø  Peneliti yang tidak meneliti masyarakat sendiri
·         Sebelum meneliti harus melakukan studi yang luas mengenai latar belakang masyarakat yang akan ditelitinya.
·         Dalam beberapa kasus, dapat lebih memperhatikan sikap/tindak-tanduk masyarakat yang bukan masyarakatnya sendiri dibandingkan anggota masyarakat itu sendiri.
Memperoleh akses ke komunitas yang minoritas, yang mungkin memiliki sejarah eksploitasi dapat diperoleh melalui negosiasi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak; komunitas minoritas yang akan diteliti diberikan umpan balik dalam bentuk sesuatu yang dapat mereka gunakan untuk kepentingan mereka. Lebih lanjut, agar tujuan penelitian semacam itu terwujud, pihak yang diteliti harus mengindahkan etika penelitian, yang bila dilanggar dapat berpengaruh buruk terhadap penelitian, terutama terhadap masyarakat yang diteliti. Salah satunya adalah dengan tidak menyertakan semua data yang diperoleh, misalnya data mengenai kepercayaan tertentu, rahasia pengobatan suatu masyarakat, yang masih dianggap keramat dan tidak boleh diperlakukan secara sembarangan oleh pihak lain.
            Etnisitas/ras penelti yang berbeda dengan masyarakat yang ditelitinya juga menjadi hal yang penting. Kehadiran pihak asing dalam suatu masyarakat dapat mempengaruhi, dan juga dipengaruhi oleh masyarakat tersebut. kurangnya pengetahuan mengenai budaya, bahasa, kebiasaan, nilai masyarakat yang akan ditelitinya dapat menjerumuskan peneliti, karena dia tidak dapat mengeksplorasi masyarakat itu, sehingga hasil kerjanya pun akan tidak memuaskan, tidak berjalan semestinya. Pada intinya, sebagai permulaan seorang peneliti harus mengetahui kerangka kerja umum, institusi, dan nilai-nilai yang dijadikan pedoman sikap budaya dalam komunitas yang akan ditelitinya, dan juga harus mampu bersikap tepat, baik secara linguistik maupun budaya, dalam situasi apa pun, ketika dia berada dalam komunitas tersebut.

Tipe-tipe Data
Walaupun tidak semua data relevan, tetapi ada beberapa data yang harus dipertimbangkan dalam suatu penelitian etnografis, yaitu
  1. Informasi tentang latar belakang
Mencakup informasi historis mengenai terbentuknya masyarakat, populasi, relasi dengan kelompok lain, peristiwa yang mempengaruhi isu kebahasaan atau relasi etnis, fitur topografi, pola pemerintahan, pola ketenagakerjaan, pola afiliasi keagamaan, dan institusi pendidikan.
  1. Artefak material
Objek-objek fisik yang secara relevan terhadap pemahaman pola komunikasi, termasuk arsitektur, tanda-tanda, alat-alat komunikasi. Klasifikasi dan penamaan menggunakan prosedur etnosemantis, yang dilakukan oleh suatu masyarakat memperlihatkan bagaimana suatu masyarakat tutur mengatur pengalaman mereka melalui bahasa.
  1. Organisasi sosial
Mencakup daftar informasi tentang institusi masyarakat, identitas para pemimpin, dan pemilik kantor, sektor bisnis dan profesional, organisasi formal dan informal. Relasi antar entis/antarkelas, stratifikasi sosial, pola residensial dan asosiasi.
  1. Informasi tentang hukum/UU
Mencakup informasi mengenai hukum dan undang-undang dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi isu kebahasaan. Hal tersebut dapat diperoleh melalui buku hukum, rekaman persidangan, websites, dan melalui komunitas yang diperoleh melalaui interview pada partisipan yang terlibat dalam peristiwa hukum.  
  1. Data artistik
Mencakup lirik lagu, drama, pertunjukan verbal, dan kaligrafi, yang dapat mengungkapkan sikap dan nilai mengenai bahasa.




  1. Pengetahuan bersama
Mencakup hal-hal yang diketahui oleh hampir seluruh anggota masyarakat (shared). Ethnoscience dan ethnomethodology berkaitan erat dengan usaha untuk menemukan data seperti ini.
  1. Kepercayaan mengenai penggunaan bahasa
Data-data yang umumnya tidak dituliskan akan tetapi diketahui oleh semua komunitas. Data-data yang umumnya tidak dituliskan akan tetapi diketahui oleh semua komunitas. Mencakup tabu dan konsekuensinya, kepercayaan mengenai siapa atau apa yang memiliki kemampuan bertutur, dan juga siapa dan apa yang bisa diajak berkomunikasi. Berkaitan erat dengan data mengenai perilaku dan nilai terhadap bahasa.
  1. Data pada kode linguistis
Data yang dimaksud  dapat berupa elemen linguistik seperti leksikon, fonologi, atau elemen komunikasi yang lebih luas, seperti paralinguistik dan fitur nonverbal.   

Tinjauan terhadap Koleksi Data dan Prosedur Analitis
Prosedur yang tepat bergantung pada relasi antara peneliti dan masyarakat tutur, jenis data yang dikumpulkan, dan situasi tertentu pada saat kerja lapangan dilaksanakan.
            Walaupun pendekatan etnografis agak berbeda dengan pendekatan eksperimental, metode kuantitatif telah terbukti berguna, bahkan esensial, dalam beberapa aspek pengumpulan data, terutama jika fitur variabel penggunaan bahasa juga diteliti. Prosedur kuantitatif dapat membantu menetukan keandalan pengamatan kuantitatif, yang umumnya bersifat sambil lalu dan tidak terkontrol.
            Saville-Troike menyatakan bahwa informasi yang cukup harus disiapkan agar peneliti dari luar komunitas tutur dapat memahami peristiwa komunikasi dan untuk berpartisipasi  di dalam komunitas tutur. Saville-Troike mengklasifikasikan metode pengumpulan data tersebut dalam tujuh jenis.
1.      Introspeksi
Introspeksi merupakan suatu perangkat yang digunakan mengumpulkan data mengenai komunitas tutur. Melalui introspeksi, peneliti dan partisipan akan menemukan fakta bahwa setiap orang memiliki satu budaya, beragam aspek bahasa dan budaya, serta menyediakan jawaban dari sudut pandang peneliti. Untuk dapat melakukan introspeksi, seorang Etnografer yang bilingual harus membedakan makna keyakinan, nilai, dan perilaku dari enculturation (budaya yang pertama dipelajari) dan acculturation (budaya kedua yang dipelajari atau diadaptasi). Melalui hal ini, peneliti akan memperoleh sejumlah informasi dan mampu menggambarkan cara pandangan kelompok dan individu terhadap fenomena kebudayaan. Salah satu perangkat yang baik digunakan untuk melatih kemampuan ini (dalam program pelatihan) adalah dengan cara meminta individu untuk memformulasikan jawaban yang spesifik (dengan bersandar pada pengalaman) pada beragam pertanyaan mengenai komunikasi. Langkah kedua adalah untuk menyadari perbedaan yang signifikan antara jawaban yang mencerminkan budaya atau norma yang ideal ‘baik / diidamkan’ dan real ‘kenyatan yang muncul’. Kemampuan untuk membedakan makna terma ideal dan real merupakan suatu langkah yang penting untuk dapat memandang budaya secara objektif. Ideal merupakan bagian yang penting dalam pendidikan formal anggota kelompok sedangkan real adalah perilaku yang hidup dalam suatu kontinum yang umumnya diperoleh melalui model informal dan umumnya muncul secara tidak sadar.         
2.      Participant-observation
Participant-observation merupakan salah satu model yang paling umum digunakan dalam pegumpulan data etnografis. Kunci keberhasilan metode ini adalah dengan membebaskan partisipan dari saringan kebudayaan. Oleh karena itu, metode ini membutuhkan relativisme budaya, pengetahuan mengenai kemungkinan adanya perbedaan kebudayaan, dan sensitivitas serta objektivitas dalam memerhatikan partisipan. Melalui model ini seseorang dapat menguji peran komunikasi dengan cara mengobservasi dan memandang reaksi partisipan.
            Umumnya metode ini menimbulkan banyak masalah bagi etnografer yang berasal dari luar komunitas, karena para etnografer tersebut harus memahami dan memelajari kaidah-kaidah kebudayaan setempat, dan harus memiliki informasi yang dibutuhkan sebelum mengetahui makna informasi tersebut bagi komunitas.  Peneliti yang mengunakan pendekatan ini harus memiliki kemampuan linguistik yang tinggi dan juga berkompeten dalam kajian budaya.
            Metode ini sangat baik digunakan dalam kajian etnografis, karena melalui pendekatan ini, peneliti dapat masuk kedalam beragam peristiwa tutur sehingga memungkinnya melakukan penelitian yang akurat. Di samping itu, penelitian dengan metode ini menimbulkan rasa nyaman bagi partisipan yang terlibat.
3.      Observasi
Observasi tanpa adanya partisipasi kadang kala sudah cukup memadai. Akan tetapi, pendekatan tersebut kadangkala tidak tepat guna pada sejumlah peristiwa. Oleh karena itu, peneliti harus memerhatikan konteks yang melatari peristiwa komunikasi. Misalnya, observasi terhadap pola interaksi anak yang dilakukan dengan peneliti tidak ikut terlibat, umumnya menjadi kacau. Akan tetapi, jika penelitian itu dilakukan di balkon atau serambi (peneliti tidak terlibat langsung); penelitian tersebut dapat berlangsung dengan baik, karena partisipan bebas melakukan segala tindakan.
Observasi perilaku komunikasi yang dilakukan dengan cara merekam (audio, visual, audio-visual) merupakan salah satu metode analisis yang dapat digunakan dalam kajian etnografis. Akan tetapi, metode tersebut dibatasi oleh fokus dan ruang lingkup kamera dan hanya dapat dipahami dalam suatu konteks saja. Oleh karena itu, peranti yang digunakan harus disesuaikan dengan konteks peristiwa komunikasi. Misalnya, untuk meneliti interaksi yang partisipannya aktif; peneliti harus memiliki peranti yang sesuai, seperti kamera yang mudah dibawa dan mengunakan baterai.
Jarak potensial setting pada suatu observasi pada dasarnya sangatlah memengaruhi. Oleh karena itu, prioritas penelitian haruslah ditetapkan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menentukan fokus tujuan utama investigasi. Misalnya, untuk meneliti anak-anak dalam institusi pendidikan, peneliti harus berfokus pada interaksi di sekolah, tempat bermain, rumah, lingkungan sosial, bahkan gereja.
Berdasarkan penelitian yang diperoleh, peneliti akan menemukan sejumlah data. Data tersebut akan diolah sesuai dengan fokus penelitian. Agar dapat menghasilkan penelitian yang baik dan valid, peneliti diharapkan untuk tidak memberikan penilaian langsung terhadap objek yang ditelitinya.
4.      Pewawancaraan
Pewawancaraan memungkinkan peneliti memeroleh beragam informasi yang sangat luas (misalnya, kekerabatan, keagaman, peristiwa dalam suatu komunitas, cerita rakyat, naratif sejarah, lagu-lagu dan lain-lain). Jenis wawancara yang umum ditemukan dalam etnografis umumnya tersusun atas sejumlah pertanyaan yang tidak memiliki banyak alternatif respon. Hal ini sangatlah tepat digunakan untuk mengumpulkan data pada setiap aspek komunikasi. Bentuk pertanyaan tersebut dapat berupa (a) variasi ranah yang diketahui dan fitur yang digunakan (misalnya pertanyaan “apakah orang yang hidup di red mountain bercakap dengan cara yang berbeda dari anda?”) (b) tanggapan terhadap variasi bahasa (misalnya pertanyaan “menurut anda mengapa ia bercakap dengan cara yang demikian?”) (c) identifikasi peristiwa tutur yang berbeda (misalnya “apa yang mereka lakukan?”) (d) pemarkah sosial dalam tuturan (misalnya “bagaimana anda menyapa orang yang lebih tua dari anda?”)
Esensi dasar dari suatu wawancara etnografis haruslah open-ended ‘memiliki hasil yang terbuka’ dan mengandung sejumlah persepsi yang secara konstan berusaha mengungkapkan sumber yang bias yang mungkin ada dan mengecilkan dampak yang ditimbulkannya. Seorang etnografer harus terbuka terhadap ide, informasi, dan pola baru yang muncul dalam wawancara. Pada dasarnya pertanyaan yang memiliki close ended ‘akhir yang tertutup’  dapat digunakan dalam analisis statistik. Akan tetapi, apabila peneliti telah memberikan interpretasi. Jawaban yang diajukan pada dasarnya harus berkaitan dengan masalah-masalah kebudayaan. Misalnya pertanyaan mengenai umur, jumlah anak-anak tidak dapat diinterpretasikan tanpa mengetahui dasar (konsep) usia yang dikalkulasikan dalam suatu komunikasi tutur. dalam hal ini pertanyaan close ended harus dapat dijelaskan.
Jenis kelamin dan usia juga harus dipertimbangkan. Wanita dianggap kurang mengancam dibandingkan dengan pria dalam sejumlah komunitas dan umumnya lebih diterima sebagai peneliti dibandingkan pria. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku secara mutlak. Terdapat sejumlah batasan mengenai jenis pertanyaan pewawancara berdasarkan jenis kelamin. Hal yang sejalan juga ditemukan dalam wawancara terhadap anak-anak. Karena pada dasarnya menggunakan informasi dari anak-anak berbeda dari orang dewasa. Karena perspektif anak-anak terhadap dunianya berbeda dari orang dewasa oleh karena itu peneliti harus terbebas dari adult centrism (berfokus pada pemikiran orang dewasa) dalam menginterpretasi respon.
Saville-Troike mengungkapkan sejumlah isu yang muncul dalam wawancara, yaitu:
1.      memilih informan yang dapat dipercaya
2.      memformulasikan pertanyaan mengenai budaya secara tepat
3.      membangun sensitivitas terhadap tanda penerimaan, kegelisahan, kemarahan dan sindiran
4.      prosedur dalam transkripsi data, pengaturan, dan analisis
Masalah yang timbul dalam, wawancara dapat dihindari dengan melakukan tes sebelum mencoba data dalam skala yang luas. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan eksplorasi terhadap orang-orang yang dapat diwawancara, jumlah orang dalam komunitas dan jenis pertanyaan yang tepat ditanyakan dalam penelitian
Informasi yang dapat dipercaya dapat diuji dengan cara  menanyakan sejumlah pertanyaan yang sama pada sejumlah partisipan dan membandingkan jawaban dengan informasi yang didapat melalui interview.
5. Etnosemantis  
Etnosemantis secara umum berkenaan dengan menemukan cara pengalaman dikategorikan, dangan cara mengungkapkan istilah-istilah dalam bahasa informan pada beragam tingkatan abstraksi dan menganalisis organisasi semantik. Hal tersebut secara nyata dapat dilihat dalam bentuk taksonomi dan dan analisis komponensial. Perspektif dan metode dalam etnosemantis sangatlah relevan karena kategori dan konteks sangatlah signifikan dalam komunitas tutur.
Langkah awal yan harus dilakukan dalam hal ini adalah menentukan ranah atau gaya dan menanyakan secara berulang sejumlah pertanyaan mengenai hal tersebut (misalnya, pertanyaan “jenis penghinaan apakah itu?”). Langkah ini diikuti dengan pertanyaan yang mengungkapkan dimensi yang digunakan penutur untuk membandingkan dan mempertentangkan (misalnya “bagaimana kedua hal tersebut berbeda satu dengan yang lain?”). Tipe pertanyan pertama menghasilkan informasi yang berkenaan dengan kategori dan yang kedua Informasi mengenai kelompok fitur-fitur bahasa.  Perpanjangan metode ini dinamakan etnopragmatis atau pengungkapan alasan mengapa anggota komunitas tutur mengungkapkan hal yang bertentangan  dengan yang diungkapkan etnografer.
Tujuan utama deskripsi etnografis adalah sebuah data laporan yang emic (yang bermakna bagi komunitas tutur) dan data laporan etik (yang berguna sebagai jaringan pendahuluan bagi acuan dan tujuan pembandingan).
6. Etnometodelogi dan Analisis Percakapan
Etnometodelogi berhubungan dengan cara mengungkapkan proses-proses yang digunakan untuk menghasilkan dan menginterpretasi pengalaman komunikatif, yang meliputi asumsi yang tidak dituturkan, tetapi merupakan pengetahuan budaya dan pemahaman yang umum yang diketahui anggota masyarakat. Garfinkel  () menyatakan bahwa pengetahuan sosial diungkapkan dalam proses interaksi. Bentuk-bentuk yang dibutuhkan dalam pengambaran komunikasi tersebut bersifat dinamis.
            Saville Troike menyatakan bahwa dalam interaksi percakapan terdapat sejumlah proses yang umum yang melaluinya makna diungkapkan.
  1. makna dan cara keterpahaman  percakapan, setidaknya sebagian ditentukan oleh situasi dan pengalaman penutur
  2. makna dinegoisasikan saat interaksi terjadi dan bergantung pada maksud dan nterpretasi tuturan sebelumnya
  3. partisipan dalam percakapan selalu terlibat dengan beberapa jenis interpretasi
  4. interpretasi peristiwa yang terjadi selalu dapat digunakan terbalik dari apa yang akan terjadi.
Konsep yang muncul merupakan perluasan pengalaman. Hal tersebut digunakan untuk membangun percakapan. Dengan bersandar pada konsep ini, Gumperz mengungkapkan teori percakapan, tentang bagaimana pengetahuan sosial di digunakan melalui pengalaman komunikasi yang tersimpan dalam fikiran, yang didapatkan kembali dari memori dan digunakan untuk memformulasikan pengharapan tentang apa yang harus diikuti dan diintegrasikan dalam pengetahuan gramatika dan percakapan.
Dalam Conversational analysis ‘analisis percakapan’ (CA) organisasi percakapan bukanlah fokus yang utama. Hal tersebut merupakan organisasi elemen bermakna yang membentuk pemikiran masyarakat, mengenai cara masyarakat menghasilkan aktifitas dan memaknai dunia. Makna yang muncul dalam percakapan selalu berbeda apabila mereka bukanlah anggota suatu komunitas yang sama, karena pada dasarnya bahasa bersandar pada kebudayaan. Penggambaran dan analisis makna membutuhkan pengungkapan peran aspek sosial dan relasi status dan berperan sebagai metabahasa untuk mentransmisi informasi mengenai mengenai mereka.
            Terdapat beragam model interaksi. Akan tetapi, model observasi dan wawancara etnografis merupakan model yang paling tepat dalam macrodescription struktur dan untuk menentukan sifat fitur kontekstual dan pola serta fungsi bahasa dalam masyarakat. Pada dasarnya analisis mikro bahasa dibangun dengan berdasar pada informasi tersebut. Dalam hal ini  feedback dalam etnografi komunikasi lebih jelas dipahami oleh komunitas tutur.
7. Filologi
Informasi yang melatar belakangi komunikasi dapat ditemukan melalui sumber tertulis, seperti tesis dan disertasi, publikasi pemerintah, buku harian, dan sumber  lainnya. Surat kabar dan rekaman sensus dapat juga digunakan dalam analisis organisasi sosial pada suatu komunitas. Di samping itu, elemen tulisan lainya yang acapkali digunakan adalah buku hukum dan rekaman persidangan (pada informasi legal) dan karya sastra (untuk pola pengunaan bahasa dan untuk sikap dan nilai terhadap bahasa). Untuk penelitian mengenai peristiwa kebudayaan masa kini; teks, kamus, dan tata bahasa merupakan elemen yang dapat digunakan untuk mengkonstruksi informasi kebudayaan.  Berkaitan dengan hal ini, Hymes () mengkombinasi teknik-teknik etnometodologi dan analisis sastra serta teks lisan yang direkam sebagi puisi oleh ahli bahasa dan antropologi untuk mengungkapkan struktur internal puisi dan koherensinya, pola verbal dari pembukaan, penutupan, dan transisi, serta asumsi mengenai karakter dan perilaku yang tepat, dan catatan bahasa yang umum.  

Identifikasi Peristiwa Komunikasi
Identifikasi peristiwa komunikasi dalam sebuah masyarakat dapat dikategorikan dalam sejumlah peristiwa dari pada seuntai wacana yang memiliki lebih banyak atau lebih kurang batasan antara norma-norma perilaku. Identifikasi peristiwa komunikasi dapat dilakukan pada sejumlah elemen yang meliputi peristiwa yang dikenal dan diduga pada sebuah komunitas, pemarkah batasan yang memerkahi awal dan akhir peristiwa, dan fitur-fitur yang membedakan satu tipe dari tipe lainnya.
Memahami batasan-batasan merupakan hal yang penting untuk diidentifikasi dalam peristiwa komunikasi, karena peristiwa komunikasi adalah sebuah entitas yang dibatasi. Misalnya, percakapan telepon merupakan peristiwa komunikasi yang dibatasi oleh bunyi telepon yang menandai pangilan dan menutup telepon sebagai pemarkah akhir percakapan. Batasan-batasan dalam komunikasi dapat juga ditandai oleh tertawa (sebagai pembatas suatu peristiwa yang lucu), frasa “dahulu kala” dan “mereka hidup bahagia selamanya” (sebagai pembatas awal dan akhir cerita atau dongeng), “mari kita beroa” dan “Amin” (sebagai pembatas doa). Disamping itu, pembatasan dapat juga dilihat melalui perubahan wajah, nada bicara atau posisi tubuh antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Perubahan pengunaan bentuk suatu bahasa yang konsisten kebentuk bahasa lainnnya juga merupakan pemarkah pembatas suatu kegiatan komunikasi. Perubahan dapat juga terjadi secara tidak sengaja. Hal tersebut umumnya ditandai dengan perubahan partisipan dan tujuan komunikasi. Hal tersebut ditandai dengan kombinasi isyarat verbal dan nonverbal.
Peristiwa yang berurutan dapat dibedakan dalam satu situasi. Misalnya, dalam persidangan tuturan hear ye, hear ye merupakan pemarkah permulaan sidang dan peristiwa tersebut berakhir saat hakim memasuki ruang persidangan dan duduk. Di samping itu, perubahan tersebut dapat juga ditandai oleh partisipan yang memiliki peran yang berbeda. Hal tersebut ditandai dengan tuturan I call ‘saya memangil’.
Peristiwa formal dalam komunitas tutur memiliki batasan yang lebih jelas dari peristiwa informal. Hal tersebut disebabkan oleh elemen komunikasi yang sangat jelas dan dapat ditebak dalam komunikasi dan juga dimarkahi melalui pemarkah tertentu (berupa ritme baik verbal dan nonverbal yang tinggi). Misalnya, dalam komunikasi formal kita dapat secara jelas memarkahi tuturan yang berperan sebagai sambutan dan akhir komunikasi. Oleh karena itu analisi mikro peritiwa tutur yang tidak formal perlu disertai dengan perkaman, hal tersebut harus disertai dengan sejumlah pernyataan yang digunakan untuk mengidentifikasi situasi yang baru saja terjadi. Peneliti kemudian mengungkapkan karakteristik peristiwa dan memberikan penilaian mengenai apa yang mungkin akan terjadi, serta bagaimana konteks telah berubah dari sudut pandang partisipan. Peristiwa komunikasi yang digambarkan harus memiliki rangkaian yang memiliki awal dan akhir yang jelas yang dapat diidentifikasi lebih lanjut. Peristiwa tersebut harus muncul berkali-kali dalam bentuk yang sama, sehingga pola yang umum dapat diketahui.  
Komponen-komponen komunikasi
Analisis peristiwa komunikasi dimulai dengan pengambaran komponen-komponen yang menonjol, yaitu: (1) genre ‘gaya’ tipe peristiwa, (2) topic, (3) purpose ‘tujuan’ atau function ‘fungsi’, (4) setting (waktu dan aspek fisik situasi), (5) key, (6) partisipanb, (7) bentuk pesan, (8) isi pesan, (9) rangkaian tindakan, (10) kaidah interaksi, (11) norma interpretasi.
Scene (genre, topic, pupose atau function, dan setting)
Scene ‘adegan’ terdiri atas empat komponen yaitu: genre, topic, pupose atau function, dan setting. Identifikasi scene dalam komunikasi membutuhkan sejumlah proses yang dapat mengungkapkan persepsi-persepsi dalam komunitas tutur yang dalam hal ini, acap kali berkaitan dengan konteks kebudayaan. Genre adalah klasifikasi jenis peristiwa. Elemen tersebut secara sistematis berhubungan dengan bentuk dan fitur tertentu yang mungkin berbeda dengan bentuk dan fitur lainnya. Topik adalah fokus yang menjadi acuan, yang dalam hal ini berkaitan erat dengan konteks kebudayaan. Purpose atau function berkaitan erat dengan tujuan para partisipan dalam komunikasi. Elemen tersebut secara potensial melibatkan beragam tingkatan yang perlu untuk diperhatikan. Misalnya: genre sambutan secara simultan berfungsi untuk menguatkan solidaritas dan menunjukkan status relatip. Seting merupakan komponen yang dapat diteliti secara langsung, walaupun komponen penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut tidak dapat dilihat secara nyata. Misalnya tingginya posisi tempat duduk dalam budaya Jepang acap kali tidak diperhatikan, walaupun sebenarnya hal tersebut memiliki makna tersendiri.
Waktu dan tempat dalam suatu kebudayaan juga memiliki makna tersendiri bagi kebudayaan dan bahasa. Misalnya, selama musim dingin orang-orang suku Navajo dilarang mengucapkan hal-hal yang berkaitan dengan binatang yang berhibernasi atau dalam suku Abbey, menyambut seseorang orang sebaiknya tidak dilakukan di satu tempat saja.  Organisasi tempat dan waktu sangat signifikan pada setiap budaya, oleh karena itu, peneliti tidak dapat menentukan asumsi sendiri terhadap kedua hal tersebut.
Berikut sejumlah pertanyan yang diungkapkan untuk menggambarkan scene:
  1. Apakah jenis peristiwa komunikasi tersebut?
  2. Mengenai apa peristiwa tersebut?
  3. Mengapa hal tersebut terjadi?
  4. Kapan dan di mana hal tersebut muncul?
  5. Bagaimana bentuk settingnya?
Di samping pertanyaan itu peneliti umumnya juga menanyakan sejumlah pertanyan lain yang dapat menunjukkan pentingnya setting, misalnya:
  1. bagaimana seseorang mengorganisasikan diri mereka dalam kelompok untuk berbegai tujuan?
  2. konsep tempat, pemahaman, dan keyakinan apa yang ada dalam kelompok atau individu?
  3. apakah pengetahuan dan pentingnya arah mata angina dalam kebudayaan?
  4. hal signifikan apakah yng diasosiasikan dengan perbedaan arah?
  5. keyakinan atau nilai apakah yang berasosiasi dengan waktu?
Key
Key adalah nada, gaya atau suasana yang menggambarkan emosi dalam peristiwa komunikasi. Dalam bahasa Inggris bentuk ini umumnya digmbarkan dalam bentuk yang bertentangan. Misalnya mengoda dengan menyindir, tulus dengan sarkastik, bersahabat dengan bermusuhan. Key umunya digunakan untuk mengambarkan genre. Akan tetapi, key dapat juga digunakan untuk mengambarkan fungsi tertentu, seperti penggunaan bahasa, peran antar prtisipan, atau bentuk dan isi pesan.
Key mungkin berperan sebagai variabel tunggal dalam peristiwa komunikasi, apabila muncul konflik antar komponen. Dalam hal ini, key akan mengesampingkan elemen lainnya. Misalnya, pada pujian yang dibentuk dalam key yang sarkastik, key tersebut akan mengesampingkan bentuk dan isi literal pesan. Key dapat juga ditandai dengn pilihan dan variasi bahasa oleh tanda-tanda nonverbal, seperti kedipan mata dan fitur paralinguistik, atau melalui kombinasi antarelemen. Dalam hal ini, interpretasi key bergantung pada budaya dan harus ditetapkan dengan bersandar pada persepsi.

Partisipan
Pertanyaan yang mendasar bagi pengambaran partisipan adalah
1.      siapa yang mengambil peran dalam suatu peristiwa?
2.      bagaimana partisipan diorganisaikan?
Kategori ini tidak hanya meliputi penutur, tetapi juga hearer dan overhearer.
Deskripsi yang memadai dari partisipan tidak hanya meliputi sifat yang dapat diobservasi, tetapi juga informasi lainnya mengenai komposisi dan kaidah hubungan dalam keluarga, institusi sosial, fitur pembeda dalam lingkungan dan perbedaan dalam kelompok menurut jenis kelamin dan status social. Analisis mengenai bagaimana partisipan diorganisasikan dalam suatu percakapan sangatlah penting guna memahami peran yang diambil dalam hubungannya dengan peran yang lain dan bagaimana peran trsebut terlibat dlam pengkonstruksian komunikasi. Bahkan pakaian partisipanpun dapat menjadi sengat relevan dalam interpretasi perilaku komunikatif. Misalnya laki-laki Arab berdiri dekat dengan wanita ketika berbicara, apabila wanita tersebut menggunakan kerudung. Keyakinan mengenai siapa yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi pada dasarnya sangat bergantung pada kebudayaan dan tidak terbatas hanya pada manusia. Misalnya n dan orang yang tidak kelihatan (yang dipangil melalui genderang) dianggap sebagai partisipan dalam kegiatan berbelasungkawa.
Bentuk pesan
Dalam mempelajari beragam batasan sosial, budaya, dan situasi; kode verbal dan non verbal sangatlah penting dalam pengambaran komponen komunikasi (seperti bentuk dan isi pesan serta rentetan tindakan).  Setiap tipe kode ditransmisikan melalui saluran vocal (mengunakan artikulator) atau nonvocal (tanpa artikulator).  Berikut contoh keempat elemen yang dimaksud.

Vocal
Nonvocal
Verbal
Bahasa lisan
Bahasa tertulis
(tuna rungu) bahasa  isyarat
Peluit / bahasa gendering
Sandi morse
Nonverbal
Paralinguistik  dan fitur prosodi
tertawa
Keheningan
Kinesis
Proksemik
Perilaku mata
Gambar dan kartun
    
Setiap pola komunikasi lebih lanjut dibagi dalam beragam saluran yang berbeda. Dalam bahasa lisan pola komunikasi bersemuka berbeda dengan telepon, dan rekaman.  Pola komunikasi tertulis akan berbeda apabila saluran yang digunakan adalah hardcopy atau melalui ratron. Dalam hal ini, komunikasi melalui ratron umunya menggunakan banyak elemen komunikasi (misalnya: emotikon yang digunakan untuk mengambarkan perasaan penulis (:-), ;-), :-D, :-P)). Di samping itu, penulis berkesempatan untuk memperbaiki pesan yang hendak disampaikan. 
Dalam etnografi komunikasi, keheningan atau tindakan diam (misalnya, selaan, hesitation ‘diam dengan keraguan’) dapat memiliki makna. Keheningan sebagai tindak komunikasi sepenuhnya bergantung pada daya ilokusi yang disampaikan pada saat partisipan diam. Kondisi ini umumnya, diikuti oleh gerakan sehingga makna menjadi lebih nyata. Akan tetapi saat seseorang diam dan tidak melalkukan gerakan apapun, kondisi tersebut dapat juga mencerminkan makna. Analisis keheningan dapat juga dilakukan dengan mengukur bagaimana diam membawa makna gramatika dan leksikal yang dapat mengantikan elemen-elemen dalam wacana. Misalnya tuturan “ini adalah_____” memiliki makna mencari objek yang tepat yang tidak dituturkan.
Komunikasi verbal dengan saluran vocal, seperti back channel ‘interaksi yang dibentuk dari respon partisipan’ dan tertawa serta komunikasi nonverbal dengan saluran non vocal, seperti kinesis dan ekspresis wajah merupakan contoh komunikasi yang sering ditemukan. Dalam kinesis dan ekspresi wajah terdapat beberapa hal yang harus diidentifikasi, seperti: bagian tubuh yang digunakan, gerakan yang dituju, dan jangkauan gerakan.
Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi pesan yang dibawa melalui kode verbal atau nonverbal umumnya berlaku secara universal walupun terdapat nilai dan makna spesifik yang hanya relevan pada kelompok tertentu. Sewaktu bentuk komunikasi tertentu telah dipilih terdapat batasan mengenai bentuk alternatif yang akan muncul (yang berbeda). Perbedaan yang umumnya muncul memiliki relasi paradigmatic dan sintagmatik. Paradigmatik berkaitan dengan pemilihan bentuk di antara elemen yang mungkin dapat mengisi tempat yang sama, sedangkan sintagmatik berkaitan dengan pemilihan elemen dalam suatu tindak tutur yang sama.
Isi pesan
Isi pesan merujuk pada mengenai apa tindak komunikasi dan untuk apa makna diungkapkan. Hymes menyatakan bahwa hanya satu konteks yang digunakan untuk membedakan bentuk dan isi pesan. Ia memberikan contoh tuturan berikut “ia berdoa dan mengatakan…. (bentuk dan isi), “Ia mendoakan agar ia segera sembuh” (hanya isi saja). Dalam pertukaran komunikasi, tuturan langsung dan respon diam merupakan bentuk. Sementara itu interpretasi sebagai permintaan untuk menyediakan ruangan merupakan isi.
Dalam tuturan bersemuka, makna tidak hanya diungkapkan melalui bentuk dan isi pesan verbal dan non verbal, tetapi juga melalui konteks ekstra linguistik dan melalui informasi dan pengharapan partisipan dalam komunikasi. Beragam elemen diproses secara simultan, hal tersebut menyebabkan kesulitan bagi peneliti untuk mengisolasi setiap kumpulan elemen. Untuk memahami aspek nonlinguistic dalam komunikasi, Saville-Troike memelajari interaksi antara penutur yang tidak memahami bahasa mitra tuturnya. Ia menamai fenomena tersebut dengan dilingual discourse. Berikut contoh studi yang dilakukannya.
Seorang anak-anak pendatang dari China berada di rumah sakit dan perawat berbehasa Inggris yang sama sekali tidak mengetahui bahasa China. 
P1  wode xie dai diao le. ‘tali sepatuku lepas’
P2  here you go [perawat tersebut mengikat tali spatu P1]           
Dalam percakapan tersebut P2 memahami maksud P1 karena konteks fisik dan karena P2 memiliki pengalaman (mengenai merawat anak-anak) untuk memahami dan mengantisipasi P1. akan tetapi, saat  saat koherensi semantik tidak dicapai (karena keterbatasan penutur dan mitra tutur mengenai bahasa) makan dugaan sering sekali muncul. Berdasarkan sejumlah pernyataan dan contoh diatas dapat disimpulkan bahwa usaha untuk mengungkapkan dan menginterpretasi pesan berpusat pada pengukuran tingkat minimal yang dapat dianggap sebagai komunikasi yang berhasil. Akan tetapi, hal tersebut tidak selalu berlaku karena peneliti acap kali membutuhkan derajat keberhasilan dalam memberi penilaian.
Act Sequence
Act sequence adalah komponen yang meliputi informasi mengenai tata cara tindak komunikasi dalam suatu peristiwa. Tata cara yang dimaksud umumnya bersifat sangat kaku, seperti menyambut, mengakhiri percakapan, memuji, menyatakan belasungkawa, dll. Dalam mengambarkan sequence, tindak komunikasi dapat dikarakteristikkan dengan bersandar pada fungsi, dan bentuk serta isi pesan. Walupun deskripsi yang dihasilkan hanya bersandar pada satu data budaya. Akan tetapi, terdapat pola umum yang berlaku sama pada setiap budaya. Misalnya, pola interaksi sales (door to door) di Jepang dan Amerika atau negara-negara lainnya, yang pada umumnya sama.
Rules of interaction
Komponen-komponen dalam kaidah interaksi meliputi penjelasan mengenai kaidah dalam pengunaan tuturan yang dapat diterapkan dalam peristiwa komunikatif. Dengan kaidah ini, Saville-Troike menunjukan perspektif perilaku tentang bagaimana seseorang bertindak, sesuai dengan nilai yang terdapat dalam suatu komunitas tutur. Kaidah yang dimaksud dapat di sandikan dalam beragam bentuk, seperti aforisme, peribahasa, bahkan hukum; atau secara tidak sadar dan membutuhkan identifikasi. Kaidah interaksi sering ditemukan melalui reaksi terhadap pelanggaran seseorang dan perasaan adanya perilaku yang bertentangan, tidak sopan dan aneh. Misalnya kaidah Turn-taking ‘alih tutur’ dalam bahasa Inggris. Jika seseorang menuturkan pujian, permintaan atau undangan, maka agar mitra tutur mematuhi kaidah kesantunan, ia harus menuturkan respon yang tepat, setelah penutur selesai.
Norm of Interpretation
Komponen norma interpretasi harus mampu menyediakan setiap informasi mengenai komunitas tutur dan budaya yang harus dipahami dalam pertuturan. Misalnya, penutur Bambra dalam pertemuan harus mengetahui bahwa tuturan langsung digunakan untuk mempertahankan maksud, sementara itu teka teki atau pengumpamaan untuk menginterpretasi hal yang bertentangan. Berdasarkan hal ini kita dapat melihat bahwa pada dasarnya norma merupakan standar yang disadari oleh komunitas tutur. 
Hubungan antarelemen
Untuk mengidentifikasi komponen-komponen budaya yang ditemukan dalam peristiwa komunikasi, terlebih dahulu peneliti harus mengumpulkan sejumlah pertanyaan yang berhubungan dan yang dapat memicu tersedianya data. Berikut sejumlah pertanyaan yang dimaksud.
  1. Bagaimana genre dan topic saling memngaruhi?
  2. Apakah hubungan genre dan purpose?
  3. Bagaimana genre, topic dan setting saling berhubungan?
  4. Apakah hubungan antara genre, topic, setting, dan partisipan,  serta isi dan bentuk pesan?
Hubungan internal antarkomponen komunikasi sangatlah kompleks, karena saat suatu dibentuk, pesan tersebut dapat dipengaruhi oleh beragam hal. Misalnya, makna suatu pesan dapat dipengeruhi oleh musim, waktu, lokasi, usia dan peran partisipan dalam komunikasi tersebut. Dalam hal ini tidak semua komponen tersebut menonjol. Di setiap peristiwa, interpretasi mitra tutur terhadap pesan bergantung pada scene, kaidah komunikasi, bahkan fitur paralinguistik, dan prosodi (nada, intonasi, ritme, dan amplitude.)
Elicitation within a frame
Salah satu tugas peneliti bahasa adalah untuk menemukan komponen-komponen yang relevan dalam komunitas tutur. Langkah awal yang harus dilakukan untuk memenuhi hal tersebut adalah menentukan frame ‘bingkai’. Frame dapat didefenisikan sebagai entitas yang statis yang dapat dimanipulasi dalam pengumpulan data dan memungkinkan terjadinya pengungkapan elemen yang berbeda yang memiliki makna (dari sudut pandang penutur jati).
Untuk mengidentifikasi perbedaan dalam peristiwa komunikasi, etnografer dapat melakukan observasi dan merekam sejumlah data yang sama (dengan objek yang diteliti) dan mencatat setiap perbedaan bentuk dan isi pesan, key, serta scene. Lebih lanjut, partisipan diwawancarai untuk menemukan perbedaan antara varian data. Kemudian etnografer dapat melakukan penyelidikan lebih lanjut dengan berpegang pada frame (kecuali untuk mengungkapkan perubahan dalam peristiwa komunikasi dan interpretasinya).
Di samping itu, pengungkapkan komponen budaya dapat juga dilakukan dengan meminta informan untuk melakukan peran tertentu sesuai dengan konteks yang dituturkan oleh etnografer (sesuai dengan penelitian). Dengan bersandar pada data yang diperoleh melalui metode tersebut peneliti dapat menemukan perilaku yang tepat dan tidak (bersandar pada stereotipe) dalam kebudayan.
Analisis Interaksi 
Analisis interaksi yang memadai haruslah melebihi konsep frame yang statis. Memahami frame penutur merupakan proses yang sangat penting untuk menghubungkan dugaan peneliti dengan produksi dan interpretasi bahasa, dan bagaimana skemata dan proses interaksi berhubungan dengan budaya yang dihidupi masyarakat. Hal tersebut merupakan tujuan utama dalam menjelaskan kompetensi bahasa.
Model analisis yang berkaitan dengan hal ini dikembangkan oleh Wallace Chafe. Dalam penelitiannya Chafe mengungkapkan bahwa film atau beragam situasi komunikatif (data) dapat digunakan untuk menggambarkan perspektif masyarakat terhadap fenomena sosial budaya yang sedang terjadi. Model analisis interaksi juga dikembangkan oleh Gumperz yang menganalisis percakapan penutur antarbudaya. Ia menyatakan bahwa perbedaan sosiokultural pada bahasa membawa pertemuan antar frame yang berbeda.
Salah satu metode yang dinilai berhasil melibatkan playback. Dalam hal ini partisipan diwawancarai. Tujuan wawancara ini adalah untuk menguji makna tuturan dan untuk studi penutur dalam suatu institusi guna mengungkapkan perilaku komunikasi yang tidak tepat dalam situasi tertentu.
Ilustrasi analisis etnografis
Etnografi berkaitan dengan cara masyarakat bertutur (pada suatu budaya) yang sangat dibatasi oleh kesadaran masyarakat atas landasan teoretis dan metodologis. Akan tetapi, esensi dari istilah ini tidak berlaku pada penelitian Ethel Albert di Afrika pada tahun 1955 sampai dengan 1957. Penelitian ini dilakukan sebelum munculnya konsep etnografi komunikasi yang diungkapkn oleh Hymes. Ia menghubungkan situasi spesifik dari kaidah bertutur dengan pandangan dan struktur sosial kebudayan Burundi. Hal tersebut dilakukan dengan menghubungkan strategi personal (bukan masyarkat) dan membahas sejumlah masalah dalam komunikasi antar budaya.  Analisis etnografi lebih lanjut dilakukan oleh sejumlah ahli, seperti Blom dan Gumperz, Abraha, scollons, Philips, Sherzer, Graham dan lain-lain dengan metode holistik.
Penggabungan ethnografi komunikasi dengan penelitian cerita rakyat adalah salah satu metode yang banyak dilakukan. Penelitian ini menghasilkan sebuah model yang produktif  yang berfokus pada performansi dan analisis peristiwa-peristiwa dalam cerita rakyat yang dalam hal ini melibatkan seting, pelaku atau aktor, penonton dan komponen komunikasi lainnya. Salah satu kontribusi yang dinilai membangun metode ini dilakukan oleh Hymes yang mengembangkan etnopoetics dan Clements mengungkapkan melakukan survey isu-isu dan metode lapangan secara meluas, serta Paredes dan Bauman.   
     



Pustaka Acuan
Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication: An Introduction, 3rd ed. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.

 

Sifat Dasar Makna

Antropologi linguistik dapat dikatakan sebagai bentuk pencarian makna dalam praktik-praktik linguistik, yang berlaku dalam sistem yang lebih luas, yaitu praktik kultural. Dapat disimpulkan bahwa konsep makna merupakan dasar yang fundamental bagi bidang studi ini. Untuk memahami konsep makna, perhatikanlah contoh-contoh berikut:

  1. Those clouds mean rain
  2. Red means “stop!”
  3. What does “thespian” mean?
  4. I didn’t mean what I said
  5. I didn’t mean to say it; it just slipped up

Pada contoh-contoh di atas, kita dapat melihat perbedaan makna kata mean. Makna pertama (dapat dilihat pada contoh (1) dan (2)) merupakan ‘tanda atau indikasi menandai’. Namun makna ‘menandai’ tersebut berbeda antar contoh (1) dan (2). Pada contoh (1) relasi antara tanda (cloud) dan apa yang ditandai (rain) merupakan fakta intrinsik, dalam hal ini berlaku relasi kausalitas/efek, mengenai fenomena yang dapat ditemukan di dunia, bahwa awan hitam menyebabkan hujan. Pada contoh (2) tidak ditemukan fakta intrinsik atau natural, seperti yang ditemukan pada contoh (1). Relasi yang muncul pada contoh (2) antara penanda dan petanda, semata-mata hanyalah sebuah konvensi. Menurut terminologi tradisional dari ilmu semiotik, tipe tanda pada contoh (2) merupakan simbol, sementara pada contoh (1) merupakan indeks.
            
Makna kata mean dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat dilihat pada contoh (4) dan (5). Pada kedua contoh tersebut, kata mean bermakna ‘ingin’ atau ‘(ber)maksud’. Dengan demikian, pada contoh (4) kata mean bermakna ‘apa yang dikatakan penutur bukanlah sesuatu yang diinginkan, atau dimaksud olehnya’. Sementara pada contoh (5), kata mean bermakna ‘penutur tidak bermaksud/memiliki keinginan untuk menuturkan apa yang dituturkannya, tetapi ia tetap menuturkannya’.
            
Pada contoh (3) seakan berlaku dua makna kata mean, yaitu ‘untuk menandakan dan ‘mempunyai maksud atau (ber)maksud’. Kata thespian berarti sesuatu yang menandai suatu konsep, yang dapat kita parafrasekan sebagai aktor atau sebuah rujukan, suatu entitas dari dunia nyata. Untuk memahami pemaparan di atas, dapat kita lihat melalui penggunaan kata thespian dalam kalimat he was the greatest thespian of the century. Kata thespian dalam kalimat tersebut digunakan untuk menandai sesorang (he), dan penandaan dalam kalimat tersebut merupakan maksud penutur untuk merujuk he sebagai thespian.
            
Pengunaan dua makna pada kata mean dalam tindak linguistik secara eksplisit tertuang dalam tulisan klasik yang berjudul meaning yang ditulis oleh Grice (1971). Grice mendefinisikan pengertian penutur dengan menyatakan bahwa A bermakna X seperti pada kalimat “A bermaksud melalui tuturan untuk menghasilkan sejumlah dampak bagi pendengar karena kesadarannya akan maksud penutur.” Nosi ‘intend’ pada kata mean sangat transparan dalam definisi ini. Akan tetapi, nosi ‘signify’ secara implisit dalam hal X hanya dapat menghasilkan efek bagi pendengar sebagai perluasan, bahwa X menandai sesuatu. Keimplisitan ini merupakan salah satu kelemahan dari formulasi Grice, karena hal tersebut tidak membuat simbol, yang bersifat konvensional, dapat dikenali dengan jelas.
            
Sebagai contoh, sebagai jawaban atas ketidaksetujuan para akademisi atas keputusan akademis (memerlakukan suatu tes terhadap kesehatan jiwa para akademisi), misalnya, mereka akan mengatakan ugh ugh blugh blugh ugh blugh blugh. Berdasarkan formulasi Grice, para akademisi tersebut jelas memiliki maksud dengan mengutarakan tuturan itu, yaitu menghasilkan efek bagi para pendengarnya atau orang yang menanyakan tentang hal itu. Efek yang dimaksud adalah untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka kepada keputusan itu dan juga untuk menyingung perasaan si penanya. Walaupun demikian, ujaran tersebut tidak bermakna apapun jika tidak ada efek yang berlaku pada pendengar, sebagai reaksi terhadap ujaran. Hal tersebut dapat terjadi karena ujaran tersebut tidak dapat merujuk pada hal apapun. Dengan kata lain, ujaran tersebut gagal menyesuaikan diri dengan aturan-aturan perujukan (signifikasi) terhadap apapun dalam bahasa Inggris maupun bahasa lainnya.
            
Duranti (1988b) berpendapat bahwa makna terbentuk oleh karena adanya proses negosiasi dan interpretasi secara komunal, yang pada akhirnya akan dikonvensikan. Lebih lanjut, makna tidak dipandang sebagai sesuatu yang dikomunikasikan dengan orang lain, melainkan lebih dipandang sebagai sesuatu yang diciptakan atau dihadirkan seseorang dengan sesamanya. Berkaitan dengan hal tersebut, Bakhtin (1981, 1986) berpendapat bahwa ketika kita membentuk suatu makna, dalam sebuah relasi yang sedang berjalan dengan sesama, kita membawa serta pengetahuan linguistik serta pengetahuan budaya kita, yang kita dapatkan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.
            
Greetz (1973) dan para ahli antropologi lainnya mengemukakan bahwa nosi makna tidak hanya terbatas pada praktik-praktik linguistik saja, tetapi juga pada praktik-praktik budaya. Sebagai contoh, komunikasi nonverbal, seperti kedipan mata, mempunyai makna yang berbeda bagi setiap budaya.


Pusataka Acuan
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistic: An Introduction. Massachusets: Blackwell Publishers.

                

Variasi Bahasa yang Terkait dengan Usia

Tiga macam pemarkah variasi bahasa yang terkait dengan usia, anatara lain: (1) pemarkah yang memberikan informasi mengenai penutur, (2) pemarkah yang memberikan informasi mengenai mitra tutur (penerima pesan), dan (3) pemarkah yang memberikan informasi mengenai hubungan-peran antara keduanya, yang dipengaruhi oleh usia mereka.

Pemarkah yang terkait dengan anak kecil sebagai penutur, misalnya, biasanya dihubungkan dengan tahap dan proses pemerolehan bahasa mereka. Sedangkan hal yang kerap berhubungan dengan anak kecil sebagai mitra tutur adalah suatu bentuk modifikasi bahasa yang dilakukan orang dewasa ketika mereka berbicara dengan anak-anak. Bentuk modifikasi yang dinamakan baby talk ini bukanlah imitasi langsung dari bentuk bahasa anak. Ferguson (1964) mencatat kemiripan fitur karakteristik baby talk  yang ditemukan di 15 bahasa, yaitu mencakup reduksi pada fonologi khususnya, substitusi, asimilasi, dan generalisasi, repetisi kata, frase, dan kalimat, kontur intonasi yang dilebih-lebihkan dan artikulasi yang dibuat-buat, tiruan kecil dari afiks, serta pola titinada yang tinggi. Baby talk kerap diasosiasikan dengan hubungan-peran pengurus/penjaga, dan memakahi jenis hubungan ini bahkan jika peserta tutur bukanlah orang dewasa dan atau anak kecil.

Penelitian etnografis lainnya berfokus pada bentuk dan pola komunikasi yang terkait dengan identitas kelompok. Hal ini mencakup studi terhadap remaja dan sesepuh perempuan. Sesepuh perempuan dalam suatu masyarakat dimungkinkan mendapatkan status dan rasa hormat yang tinggi, atau mungkin dianggap kurang kompeten. Silverman dan Maxwell (1978) mencatat bahwa bentuk-bentuk penyampaian sikap terhadap usia tertentu, secara umum ditandai secara spasila/ruang, victual (pemberian pilihan makanan tertentu), linguistis (bentuk honorifik), presentasional (postur tertentu atau reaksi kehadiran mereka), servis (bentuk layanan), presentatif (pemberian hadiah, lagu kehormatan), dan perayaan (bentuk upacara kehormatan).

Sementara itu, sikap kurang menghormati sesepuh biasanya ditunjukkan dalam bentuk bicara dengan volume keras dan tempo lambat, menganggap bahwa sesepuh kurang pendengarannya, atau memperlakukan sesepuh seakan mereka adalah individu yang harus senantiasa dijaga/diasuh, layaknya anak kecil, sehingga intonasi tuturan yang ditujukan kepada sesepuh adalah intonasi yang digunakan jika berbicara kepada anak kecil.

Beberapa pemarkah tuturan yang terkait dengan usia bisa saja merupakan hasil dari perubahan bahasa dan budaya. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat dari diksi seperti ice box alih-alih refrigerator, atau negro alih-alih african american, yang merefleksikan perubahan penggunaan bahasa.


Pustaka Acuan
Saville Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication: An Introduction, 3rd ed. Oxford: B;ackwell Publishing Ltd.
   

Sikap terhadap Bahasa dan Kecakapan Berbahasa


Sikap terhadap bahasa secara umum, sifat dasar dan fungsinya, dapat dimungkinkan tergambar pada bentuk ekspresi kebahasaan dalam sebuah komunitas tutur. Sebagai contoh, hampir semua bahasa menganggap bahwa “inti” dari bahasa terletak pada lidah. Hal itu dapat dilihat dari bentuk-bentuk pepatah/ekspresi sbb: She has a sharp tongue, forked tongue, dsb. Bagian anatomi tubuh lain pun kerap dikaitkan dengan bahasa, seperti: he puts his foot in his mouth.
         Nilai dari silence  (tidak banyak bicara) tidak sama di setiap komunitas tutur. Hal itu kembali dapat dilihat dari bentuk-bentuk ekspresi yang menegaskan nilai tersebut, seperti: silence is golden, because of the mouththe fish dies, the squeacky wheel gets the grease, dst.
   Bagaimana sebuah bahasa dipakai dalam beragam komunitas tutur untuk mengkategorikan orang sesuai dengan cara bertutur dan karakter tuturan mereka, juga relevan secara etnografis; demikian juga halnya dengan persepsi tentang bagaimana kategori-kategori tadi diurutkan nilainya (value based). Sebagai contoh, bagi orang Inggris, nilai terendah untuk penutur bahasanya adalah mereka yang banyak bicara, yang mereka beri label braggart, gossip, big mouth, dst. Sedangkan yang memiliki nilai tinggi adalah penutur yang tidak banyak bicara. Berbeda halnya dengan penutur di Burundi, yang akan dinilai tinggi adalah penutur yang banyak bicara, dan sebaliknya akan dinilai rendah apabila penutur tidak banyak bicara.
         Konsep speaking well ‘cara berbicara yang baik’ untuk laki-laki dan perempuan juga bervariasi dalam sebuah komunitas tutur. Konsep tersebut bagi laki-laki Burundi terlihat pada laki-laki yang tidak banyak bicara, dan perempuan yang pendiam; namun hal sebaliknya terjadi pada penutur di Amerika.
        Sikap terhadap sifat dasar bahasa dan fungsinya dapat disimpulkan dari komentar yang bersifat mengejek terhadap suatu bahasa tertentu atau melebihi kebijakan yang dibuat untuk membatasi penggunaan bahasa tersebut. Misalnya pada kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1880-an, mengenai bahasa dan pendidikan masyarakat Indian. Kebijakan yang terkait dengan penggunaan bahasa Arab yang dianggap memiliki fungsi religi (suci) juga dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi, yang intinya adalah tidak memperbolehkan penggunaan bahasa Arab secara sembarangan.
         Komentar yang bersifat mengejek, yang ditujukan pada media tertentu juga dapat merefleksikan sikap seseorang atau kelompok tertentu terhadap suatu bahasa. Hal serupa dapat diperhatikan pada ekspresi keprihatinan terhadap kualitas tulisan akademis dan kefasihan berpidato, yang memperlihatkan kemampuan bahasa seorang akademisi. Pernyataan yang tidak lazim mengenai kebutahurufan juga merupakan suatu sikap terhadap bahasa dan fungsinya.  Misalnya dalam kasus perbudakan di Amerika Serikat, kebutahurufan para budak dianggap baik, agar mereka tidak terdorong untuk melakukan aksi berontak terhadap tuannya.
         Hal lain yang menjadi salah satu faktor perubahan sikap terhadap bahasa adalah perubahan teknologi. Seiring dengan kemajuan teknologi, maka penggunaan bahasa pun menjadi lebih bervariasi. Misalnya pidato yang ditayangkan televisi akan berbeda dengan pidato yang disampaikan langsung di depan khalayak umum. Lebih lanjut, kecakapan berbahasa seseorang dapat dilihat dari kualitas tuturannya, kemampuannya menggunakan simile, metafora, peribahasa, dan rima pada konteks yang tepat.

Pustaka Acuan:
Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication: An Introduction, 3rd ed. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.




singkap tabirmu



Stupaku,mengapa engkau sembunyi?
Stupaku yang indah,apakah kau tak ingin melihat riang sang kera buruk rupamu?
Dia merindu senyum indahmu, tatap lembutmu, usil candamu, hangat pelukmu

Stupaku, kenapa kau terdiam?
Stupaku yangindah, tak tahukah kau bahwa kerak buruk rupamu terhempas pilu di sudut rindunya?
Dia merindu elusan lembutmu saat dia merasa enggan pada dunia

Stupaku, mengapa kau kunci semua lorong-lorong menuju pranamu yang teramat indahitu?
Kerak buruk rupamu dengan segala boroknya memohon pada semesta untuk dapat bermain di relung-relung hangatmu
Kera buruk rupamu itu tak henti mengucap tanya
Di ujung dayanya hanya berharap dapat menatapmu walau hanya sekejap mata







Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Followers


Recent Comments