Analisis Peristiwa Komunikatif
Setelah
menetapkan komunitas tutur yang hendak dipelajari, tugas pertama yang harus
dilakukan dalam suatu penelitian etnografi komunikasi adalah mendefinisikan,
paling tidak secara tentatif, masyarakat tutur yang akan diteliti. Deskripsi
etnografis tersebut tidak dilakukan dengan pendekatan, mencakup kategori dan
proses, yang sudah terbentuk sebelumnya, melainkan dengan sikap yang terbuka
agar cara-cara suatu masyarakat tutur merasakan dan mengatur pengalaman
komunikatif mereka semakin terungkap. Langkah awal dalam melakukan deskripsi
dan analisis suatu pola komunikasi adalah dengan mengidentifikasi peristiwa
berulang, mengenali komponen-komponen yang menonjol, dan menemukan relasi
antarkomponen, antarperistiwa, dan aspek lain dalam suatu masyarakat. Deskripsi
etnografis yang memadai dapat memberikan pemahaman mengenai suatu masyarakat
tutur kepada orang lain, bahkan kepada orang yang tidak kenal sama sekali
dengan masyarakat tutur yang dimaksud. Melalui deskripsi tadi, orang dapat
memahami bagaimana suatu masyarakat tutur berkomunikasi dengan tepat dalam
situasi tertentu.
Relasi antara Etnografer dan Masyarakat Tutur
Seorang
peneliti dapat menghasilkan pemahaman yang lebih dalam mengenai suatu budaya
melalui studinya dengan mengadopsi peran yang fungsional dan menjadikan dirinya
sebagai peserta. Hal ini dianggap perlu dalam masalah penerimaan suatu
masyarakat terhadap seorang peneliti.
Ø Peneliti yang meneliti masyarakatnya sendiri
·
Lebih sulit dalam melakukan
penelitiannya, karena masyarakat tutur menganggap peneliti sudah memahami
aturan-aturan dalam budaya mereka (bersikap seperti mereka), sehingga usaha
peneliti untuk lebih mencari tahu/memahami budaya mereka dianggap aneh, bahkan
menyimpang dari kebiasaan.
·
Harus tetap objektif dalam
penelitiannya, sehingga dapat tetap menghasilkan perspektif komparatif dalam
hasil kerjanya, walaupun dia terlibat dalam masyarakatnya sendiri.
·
Dapat menjadikan dirinya sebagai
sumber informasi dan interpretasi atas budayanya sendiri. Melalui usahanya
untuk lebih mengungkap apa yang ada di balik budayanya (termasuk keterbukaannya
untuk mengintrospeksi), peneliti itu akan memperoleh lebih banyak info daripada
peneliti yang bukan bagian dari masyarakat itu (bukan penutur jati).
·
Paling tidak dapat menjawab
beberapa dari pertanyaan-pertanyaan utama mengenai keabsahan dan keandalan studi
etnografi, yang diajukan oleh kalangan ilmu sosial yang berorientasi
kuantitatif.
Ø Peneliti yang tidak meneliti masyarakat sendiri
·
Sebelum meneliti harus melakukan
studi yang luas mengenai latar belakang masyarakat yang akan ditelitinya.
·
Dalam beberapa kasus, dapat lebih
memperhatikan sikap/tindak-tanduk masyarakat yang bukan masyarakatnya sendiri
dibandingkan anggota masyarakat itu sendiri.
Memperoleh
akses ke komunitas yang minoritas, yang mungkin memiliki sejarah eksploitasi
dapat diperoleh melalui negosiasi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak;
komunitas minoritas yang akan diteliti diberikan umpan balik dalam bentuk
sesuatu yang dapat mereka gunakan untuk kepentingan mereka. Lebih lanjut, agar
tujuan penelitian semacam itu terwujud, pihak yang diteliti harus mengindahkan
etika penelitian, yang bila dilanggar dapat berpengaruh buruk terhadap
penelitian, terutama terhadap masyarakat yang diteliti. Salah satunya adalah
dengan tidak menyertakan semua data yang diperoleh, misalnya data mengenai
kepercayaan tertentu, rahasia pengobatan suatu masyarakat, yang masih dianggap
keramat dan tidak boleh diperlakukan secara sembarangan oleh pihak lain.
Etnisitas/ras penelti yang berbeda
dengan masyarakat yang ditelitinya juga menjadi hal yang penting. Kehadiran
pihak asing dalam suatu masyarakat dapat mempengaruhi, dan juga dipengaruhi
oleh masyarakat tersebut. kurangnya pengetahuan mengenai budaya, bahasa,
kebiasaan, nilai masyarakat yang akan ditelitinya dapat menjerumuskan peneliti,
karena dia tidak dapat mengeksplorasi masyarakat itu, sehingga hasil kerjanya
pun akan tidak memuaskan, tidak berjalan semestinya. Pada intinya, sebagai
permulaan seorang peneliti harus mengetahui kerangka kerja umum, institusi, dan
nilai-nilai yang dijadikan pedoman sikap budaya dalam komunitas yang akan
ditelitinya, dan juga harus mampu bersikap tepat, baik secara linguistik maupun
budaya, dalam situasi apa pun, ketika dia berada dalam komunitas tersebut.
Tipe-tipe Data
Walaupun
tidak semua data relevan, tetapi ada beberapa data yang harus dipertimbangkan
dalam suatu penelitian etnografis, yaitu
- Informasi
tentang latar belakang
Mencakup informasi historis mengenai terbentuknya masyarakat, populasi,
relasi dengan kelompok lain, peristiwa yang mempengaruhi isu kebahasaan atau
relasi etnis, fitur topografi, pola pemerintahan, pola ketenagakerjaan, pola
afiliasi keagamaan, dan institusi pendidikan.
- Artefak material
Objek-objek fisik yang secara relevan terhadap pemahaman pola
komunikasi, termasuk arsitektur, tanda-tanda, alat-alat komunikasi. Klasifikasi
dan penamaan menggunakan prosedur etnosemantis, yang dilakukan oleh suatu
masyarakat memperlihatkan bagaimana suatu masyarakat tutur mengatur pengalaman
mereka melalui bahasa.
- Organisasi sosial
Mencakup daftar informasi tentang institusi masyarakat, identitas para
pemimpin, dan pemilik kantor, sektor bisnis dan profesional, organisasi formal
dan informal. Relasi antar entis/antarkelas, stratifikasi sosial, pola
residensial dan asosiasi.
- Informasi tentang hukum/UU
Mencakup informasi mengenai hukum dan undang-undang dalam suatu
masyarakat yang mempengaruhi isu kebahasaan. Hal tersebut dapat diperoleh
melalui buku hukum, rekaman persidangan, websites,
dan melalui komunitas yang diperoleh melalaui interview pada partisipan yang
terlibat dalam peristiwa hukum.
- Data artistik
Mencakup lirik lagu, drama, pertunjukan verbal, dan kaligrafi, yang
dapat mengungkapkan sikap dan nilai mengenai bahasa.
- Pengetahuan bersama
Mencakup hal-hal yang diketahui oleh hampir seluruh anggota masyarakat
(shared). Ethnoscience dan ethnomethodology
berkaitan erat dengan usaha untuk menemukan data seperti ini.
- Kepercayaan mengenai penggunaan bahasa
Data-data yang umumnya tidak dituliskan akan tetapi diketahui oleh
semua komunitas. Data-data yang umumnya tidak dituliskan akan tetapi diketahui
oleh semua komunitas. Mencakup tabu dan konsekuensinya, kepercayaan mengenai
siapa atau apa yang memiliki kemampuan bertutur, dan juga siapa dan apa yang
bisa diajak berkomunikasi. Berkaitan erat dengan data mengenai perilaku dan
nilai terhadap bahasa.
- Data pada kode linguistis
Data yang dimaksud dapat berupa
elemen linguistik seperti leksikon, fonologi, atau elemen komunikasi yang lebih
luas, seperti paralinguistik dan fitur nonverbal.
Tinjauan terhadap Koleksi Data dan Prosedur Analitis
Prosedur
yang tepat bergantung pada relasi antara peneliti dan masyarakat tutur, jenis
data yang dikumpulkan, dan situasi tertentu pada saat kerja lapangan
dilaksanakan.
Walaupun pendekatan etnografis agak
berbeda dengan pendekatan eksperimental, metode kuantitatif telah terbukti
berguna, bahkan esensial, dalam beberapa aspek pengumpulan data, terutama jika
fitur variabel penggunaan bahasa juga diteliti. Prosedur kuantitatif dapat
membantu menetukan keandalan pengamatan kuantitatif, yang umumnya bersifat
sambil lalu dan tidak terkontrol.
Saville-Troike menyatakan bahwa
informasi yang cukup harus disiapkan agar peneliti dari luar komunitas tutur
dapat memahami peristiwa komunikasi dan untuk berpartisipasi di dalam komunitas tutur. Saville-Troike
mengklasifikasikan metode pengumpulan data tersebut dalam tujuh jenis.
1. Introspeksi
Introspeksi
merupakan suatu perangkat yang digunakan mengumpulkan data mengenai komunitas
tutur. Melalui introspeksi, peneliti dan partisipan akan menemukan fakta bahwa
setiap orang memiliki satu budaya, beragam aspek bahasa dan budaya, serta
menyediakan jawaban dari sudut pandang peneliti. Untuk dapat melakukan
introspeksi, seorang Etnografer yang bilingual harus membedakan makna
keyakinan, nilai, dan perilaku dari enculturation
(budaya yang pertama dipelajari) dan acculturation
(budaya kedua yang dipelajari atau diadaptasi). Melalui hal ini, peneliti
akan memperoleh sejumlah informasi dan mampu menggambarkan cara pandangan
kelompok dan individu terhadap fenomena kebudayaan. Salah satu perangkat yang
baik digunakan untuk melatih kemampuan ini (dalam program pelatihan) adalah
dengan cara meminta individu untuk memformulasikan jawaban yang spesifik
(dengan bersandar pada pengalaman) pada beragam pertanyaan mengenai komunikasi.
Langkah kedua adalah untuk menyadari perbedaan yang signifikan antara jawaban
yang mencerminkan budaya atau norma yang ideal
‘baik / diidamkan’ dan real ‘kenyatan
yang muncul’. Kemampuan untuk membedakan makna terma ideal dan real merupakan
suatu langkah yang penting untuk dapat memandang budaya secara objektif. Ideal merupakan bagian yang penting
dalam pendidikan formal anggota kelompok sedangkan real adalah perilaku yang hidup dalam suatu kontinum yang umumnya
diperoleh melalui model informal dan umumnya muncul secara tidak sadar.
2.
Participant-observation
Participant-observation
merupakan salah satu model yang paling umum digunakan dalam pegumpulan data
etnografis. Kunci keberhasilan metode ini adalah dengan membebaskan partisipan
dari saringan kebudayaan. Oleh karena itu, metode ini membutuhkan relativisme
budaya, pengetahuan mengenai kemungkinan adanya perbedaan kebudayaan, dan
sensitivitas serta objektivitas dalam memerhatikan partisipan. Melalui model
ini seseorang dapat menguji peran komunikasi dengan cara mengobservasi dan
memandang reaksi partisipan.
Umumnya metode ini menimbulkan
banyak masalah bagi etnografer yang berasal dari luar komunitas, karena para
etnografer tersebut harus memahami dan memelajari kaidah-kaidah kebudayaan
setempat, dan harus memiliki informasi yang dibutuhkan sebelum mengetahui makna
informasi tersebut bagi komunitas.
Peneliti yang mengunakan pendekatan ini harus memiliki kemampuan
linguistik yang tinggi dan juga berkompeten dalam kajian budaya.
Metode ini sangat baik digunakan
dalam kajian etnografis, karena melalui pendekatan ini, peneliti dapat masuk
kedalam beragam peristiwa tutur sehingga memungkinnya melakukan penelitian yang
akurat. Di samping itu, penelitian dengan metode ini menimbulkan rasa nyaman
bagi partisipan yang terlibat.
3. Observasi
Observasi
tanpa adanya partisipasi kadang kala sudah cukup memadai. Akan tetapi,
pendekatan tersebut kadangkala tidak tepat guna pada sejumlah peristiwa. Oleh
karena itu, peneliti harus memerhatikan konteks yang melatari peristiwa
komunikasi. Misalnya, observasi terhadap pola interaksi anak yang dilakukan
dengan peneliti tidak ikut terlibat, umumnya menjadi kacau. Akan tetapi, jika
penelitian itu dilakukan di balkon atau serambi (peneliti tidak terlibat
langsung); penelitian tersebut dapat berlangsung dengan baik, karena partisipan
bebas melakukan segala tindakan.
Observasi perilaku komunikasi yang dilakukan dengan cara merekam
(audio, visual, audio-visual) merupakan salah satu metode analisis yang dapat
digunakan dalam kajian etnografis. Akan tetapi, metode tersebut dibatasi oleh
fokus dan ruang lingkup kamera dan hanya dapat dipahami dalam suatu konteks
saja. Oleh karena itu, peranti yang digunakan harus disesuaikan dengan konteks
peristiwa komunikasi. Misalnya, untuk meneliti interaksi yang partisipannya
aktif; peneliti harus memiliki peranti yang sesuai, seperti kamera yang mudah
dibawa dan mengunakan baterai.
Jarak potensial setting pada suatu observasi pada dasarnya sangatlah
memengaruhi. Oleh karena itu, prioritas penelitian haruslah ditetapkan. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan cara menentukan fokus tujuan utama investigasi.
Misalnya, untuk meneliti anak-anak dalam institusi pendidikan, peneliti harus
berfokus pada interaksi di sekolah, tempat bermain, rumah, lingkungan sosial,
bahkan gereja.
Berdasarkan
penelitian yang diperoleh, peneliti akan menemukan sejumlah data. Data tersebut
akan diolah sesuai dengan fokus penelitian. Agar dapat menghasilkan penelitian
yang baik dan valid, peneliti diharapkan untuk tidak memberikan penilaian
langsung terhadap objek yang ditelitinya.
4. Pewawancaraan
Pewawancaraan
memungkinkan peneliti memeroleh beragam informasi yang sangat luas (misalnya,
kekerabatan, keagaman, peristiwa dalam suatu komunitas, cerita rakyat, naratif
sejarah, lagu-lagu dan lain-lain). Jenis wawancara yang umum ditemukan dalam
etnografis umumnya tersusun atas sejumlah pertanyaan yang tidak memiliki banyak
alternatif respon. Hal ini sangatlah tepat digunakan untuk mengumpulkan data
pada setiap aspek komunikasi. Bentuk pertanyaan tersebut dapat berupa (a)
variasi ranah yang diketahui dan fitur yang digunakan (misalnya pertanyaan
“apakah orang yang hidup di red mountain bercakap
dengan cara yang berbeda dari anda?”)
(b) tanggapan terhadap variasi bahasa (misalnya pertanyaan “menurut anda
mengapa ia bercakap dengan cara yang demikian?”) (c) identifikasi peristiwa
tutur yang berbeda (misalnya “apa yang mereka lakukan?”) (d) pemarkah sosial
dalam tuturan (misalnya “bagaimana anda menyapa orang yang lebih tua dari
anda?”)
Esensi dasar dari suatu wawancara etnografis haruslah open-ended ‘memiliki hasil yang
terbuka’ dan mengandung sejumlah persepsi yang secara konstan berusaha
mengungkapkan sumber yang bias yang mungkin ada dan mengecilkan dampak yang
ditimbulkannya. Seorang etnografer harus terbuka terhadap ide, informasi, dan
pola baru yang muncul dalam wawancara. Pada dasarnya pertanyaan yang memiliki close ended ‘akhir yang tertutup’ dapat digunakan dalam analisis statistik.
Akan tetapi, apabila peneliti telah memberikan interpretasi. Jawaban yang
diajukan pada dasarnya harus berkaitan dengan masalah-masalah kebudayaan.
Misalnya pertanyaan mengenai umur, jumlah anak-anak tidak dapat
diinterpretasikan tanpa mengetahui dasar (konsep) usia yang dikalkulasikan
dalam suatu komunikasi tutur. dalam hal ini pertanyaan close ended harus dapat dijelaskan.
Jenis kelamin dan usia juga harus dipertimbangkan. Wanita dianggap
kurang mengancam dibandingkan dengan pria dalam sejumlah komunitas dan umumnya
lebih diterima sebagai peneliti dibandingkan pria. Akan tetapi, hal tersebut
tidak berlaku secara mutlak. Terdapat sejumlah batasan mengenai jenis
pertanyaan pewawancara berdasarkan jenis kelamin. Hal yang sejalan juga
ditemukan dalam wawancara terhadap anak-anak. Karena pada dasarnya menggunakan
informasi dari anak-anak berbeda dari orang dewasa. Karena perspektif anak-anak
terhadap dunianya berbeda dari orang dewasa oleh karena itu peneliti harus
terbebas dari adult centrism (berfokus
pada pemikiran orang dewasa) dalam menginterpretasi respon.
Saville-Troike mengungkapkan sejumlah isu yang muncul dalam wawancara,
yaitu:
1.
memilih informan yang dapat
dipercaya
2.
memformulasikan pertanyaan
mengenai budaya secara tepat
3.
membangun sensitivitas terhadap
tanda penerimaan, kegelisahan, kemarahan dan sindiran
4.
prosedur dalam transkripsi data,
pengaturan, dan analisis
Masalah
yang timbul dalam, wawancara dapat dihindari dengan melakukan tes sebelum
mencoba data dalam skala yang luas. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan
eksplorasi terhadap orang-orang yang dapat diwawancara, jumlah orang dalam
komunitas dan jenis pertanyaan yang tepat ditanyakan dalam penelitian
Informasi yang dapat dipercaya dapat diuji dengan cara menanyakan sejumlah pertanyaan yang sama pada
sejumlah partisipan dan membandingkan jawaban dengan informasi yang didapat
melalui interview.
5. Etnosemantis
Etnosemantis
secara umum berkenaan dengan menemukan cara pengalaman dikategorikan, dangan
cara mengungkapkan istilah-istilah dalam bahasa informan pada beragam tingkatan
abstraksi dan menganalisis organisasi semantik. Hal tersebut secara nyata dapat
dilihat dalam bentuk taksonomi dan dan analisis komponensial. Perspektif dan
metode dalam etnosemantis sangatlah relevan karena kategori dan konteks
sangatlah signifikan dalam komunitas tutur.
Langkah awal yan harus dilakukan dalam hal ini adalah menentukan ranah
atau gaya dan menanyakan secara berulang sejumlah pertanyaan mengenai hal
tersebut (misalnya, pertanyaan “jenis penghinaan apakah itu?”). Langkah ini
diikuti dengan pertanyaan yang mengungkapkan dimensi yang digunakan penutur
untuk membandingkan dan mempertentangkan (misalnya “bagaimana kedua hal
tersebut berbeda satu dengan yang lain?”). Tipe pertanyan pertama menghasilkan
informasi yang berkenaan dengan kategori dan yang kedua Informasi mengenai
kelompok fitur-fitur bahasa. Perpanjangan
metode ini dinamakan etnopragmatis atau pengungkapan alasan mengapa anggota
komunitas tutur mengungkapkan hal yang bertentangan dengan yang diungkapkan etnografer.
Tujuan utama deskripsi etnografis adalah sebuah data laporan yang emic
(yang bermakna bagi komunitas tutur) dan data laporan etik (yang berguna
sebagai jaringan pendahuluan bagi acuan dan tujuan pembandingan).
6. Etnometodelogi dan Analisis Percakapan
Etnometodelogi
berhubungan dengan cara mengungkapkan proses-proses yang digunakan untuk menghasilkan
dan menginterpretasi pengalaman komunikatif, yang meliputi asumsi yang tidak
dituturkan, tetapi merupakan pengetahuan budaya dan pemahaman yang umum yang
diketahui anggota masyarakat. Garfinkel
() menyatakan bahwa pengetahuan sosial diungkapkan dalam proses
interaksi. Bentuk-bentuk yang dibutuhkan dalam pengambaran komunikasi tersebut
bersifat dinamis.
Saville Troike menyatakan bahwa
dalam interaksi percakapan terdapat sejumlah proses yang umum yang melaluinya
makna diungkapkan.
- makna dan cara keterpahaman percakapan, setidaknya sebagian ditentukan oleh situasi dan pengalaman penutur
- makna dinegoisasikan saat interaksi terjadi dan bergantung pada maksud dan nterpretasi tuturan sebelumnya
- partisipan dalam percakapan selalu terlibat dengan beberapa jenis interpretasi
- interpretasi peristiwa yang terjadi selalu dapat digunakan terbalik dari apa yang akan terjadi.
Konsep yang muncul merupakan perluasan pengalaman. Hal tersebut
digunakan untuk membangun percakapan. Dengan bersandar pada konsep ini, Gumperz
mengungkapkan teori percakapan, tentang bagaimana pengetahuan sosial di
digunakan melalui pengalaman komunikasi yang tersimpan dalam fikiran, yang
didapatkan kembali dari memori dan digunakan untuk memformulasikan pengharapan
tentang apa yang harus diikuti dan diintegrasikan dalam pengetahuan gramatika
dan percakapan.
Dalam Conversational analysis
‘analisis percakapan’ (CA) organisasi percakapan bukanlah fokus yang utama. Hal
tersebut merupakan organisasi elemen bermakna yang membentuk pemikiran masyarakat,
mengenai cara masyarakat menghasilkan aktifitas dan memaknai dunia. Makna yang
muncul dalam percakapan selalu berbeda apabila mereka bukanlah anggota suatu
komunitas yang sama, karena pada dasarnya bahasa bersandar pada kebudayaan.
Penggambaran dan analisis makna membutuhkan pengungkapan peran aspek sosial dan
relasi status dan berperan sebagai metabahasa untuk mentransmisi informasi
mengenai mengenai mereka.
Terdapat
beragam model interaksi. Akan tetapi, model observasi dan wawancara etnografis
merupakan model yang paling tepat dalam macrodescription
struktur dan untuk menentukan sifat fitur kontekstual dan pola serta fungsi
bahasa dalam masyarakat. Pada dasarnya analisis mikro bahasa dibangun dengan
berdasar pada informasi tersebut. Dalam hal ini
feedback dalam etnografi
komunikasi lebih jelas dipahami oleh komunitas tutur.
7. Filologi
Informasi
yang melatar belakangi komunikasi dapat ditemukan melalui sumber tertulis,
seperti tesis dan disertasi, publikasi pemerintah, buku harian, dan sumber lainnya. Surat kabar dan rekaman sensus dapat
juga digunakan dalam analisis organisasi sosial pada suatu komunitas. Di
samping itu, elemen tulisan lainya yang acapkali digunakan adalah buku hukum
dan rekaman persidangan (pada informasi legal) dan karya sastra (untuk pola
pengunaan bahasa dan untuk sikap dan nilai terhadap bahasa). Untuk penelitian
mengenai peristiwa kebudayaan masa kini; teks, kamus, dan tata bahasa merupakan
elemen yang dapat digunakan untuk mengkonstruksi informasi kebudayaan. Berkaitan dengan hal ini, Hymes ()
mengkombinasi teknik-teknik etnometodologi dan analisis sastra serta teks lisan
yang direkam sebagi puisi oleh ahli bahasa dan antropologi untuk mengungkapkan
struktur internal puisi dan koherensinya, pola verbal dari pembukaan,
penutupan, dan transisi, serta asumsi mengenai karakter dan perilaku yang
tepat, dan catatan bahasa yang umum.
Identifikasi Peristiwa Komunikasi
Identifikasi
peristiwa komunikasi dalam sebuah masyarakat dapat dikategorikan dalam sejumlah
peristiwa dari pada seuntai wacana yang memiliki lebih banyak atau lebih kurang
batasan antara norma-norma perilaku. Identifikasi peristiwa komunikasi dapat
dilakukan pada sejumlah elemen yang meliputi peristiwa yang dikenal dan diduga
pada sebuah komunitas, pemarkah batasan yang memerkahi awal dan akhir
peristiwa, dan fitur-fitur yang membedakan satu tipe dari tipe lainnya.
Memahami batasan-batasan merupakan hal yang penting untuk
diidentifikasi dalam peristiwa komunikasi, karena peristiwa komunikasi adalah
sebuah entitas yang dibatasi. Misalnya, percakapan telepon merupakan peristiwa
komunikasi yang dibatasi oleh bunyi telepon yang menandai pangilan dan menutup
telepon sebagai pemarkah akhir percakapan. Batasan-batasan dalam komunikasi
dapat juga ditandai oleh tertawa (sebagai pembatas suatu peristiwa yang lucu),
frasa “dahulu kala” dan “mereka hidup bahagia selamanya” (sebagai pembatas awal
dan akhir cerita atau dongeng), “mari kita beroa” dan “Amin” (sebagai pembatas
doa). Disamping itu, pembatasan dapat juga dilihat melalui perubahan wajah,
nada bicara atau posisi tubuh antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.
Perubahan pengunaan bentuk suatu bahasa yang konsisten kebentuk bahasa lainnnya
juga merupakan pemarkah pembatas suatu kegiatan komunikasi. Perubahan dapat
juga terjadi secara tidak sengaja. Hal tersebut umumnya ditandai dengan
perubahan partisipan dan tujuan komunikasi. Hal tersebut ditandai dengan
kombinasi isyarat verbal dan nonverbal.
Peristiwa yang berurutan dapat dibedakan dalam satu situasi. Misalnya,
dalam persidangan tuturan hear ye, hear
ye merupakan pemarkah permulaan sidang dan peristiwa tersebut berakhir saat
hakim memasuki ruang persidangan dan duduk. Di samping itu, perubahan tersebut
dapat juga ditandai oleh partisipan yang memiliki peran yang berbeda. Hal
tersebut ditandai dengan tuturan I call
‘saya memangil’.
Peristiwa formal dalam komunitas tutur memiliki batasan yang lebih
jelas dari peristiwa informal. Hal tersebut disebabkan oleh elemen komunikasi
yang sangat jelas dan dapat ditebak dalam komunikasi dan juga dimarkahi melalui
pemarkah tertentu (berupa ritme baik verbal dan nonverbal yang tinggi).
Misalnya, dalam komunikasi formal kita dapat secara jelas memarkahi tuturan
yang berperan sebagai sambutan dan akhir komunikasi. Oleh karena itu analisi
mikro peritiwa tutur yang tidak formal perlu disertai dengan perkaman, hal
tersebut harus disertai dengan sejumlah pernyataan yang digunakan untuk
mengidentifikasi situasi yang baru saja terjadi. Peneliti kemudian
mengungkapkan karakteristik peristiwa dan memberikan penilaian mengenai apa
yang mungkin akan terjadi, serta bagaimana konteks telah berubah dari sudut
pandang partisipan. Peristiwa komunikasi yang digambarkan harus memiliki
rangkaian yang memiliki awal dan akhir yang jelas yang dapat diidentifikasi
lebih lanjut. Peristiwa tersebut harus muncul berkali-kali dalam bentuk yang
sama, sehingga pola yang umum dapat diketahui.
Komponen-komponen komunikasi
Analisis
peristiwa komunikasi dimulai dengan pengambaran komponen-komponen yang menonjol,
yaitu: (1) genre ‘gaya’ tipe
peristiwa, (2) topic, (3) purpose ‘tujuan’ atau function ‘fungsi’, (4) setting (waktu dan aspek fisik situasi),
(5) key, (6) partisipanb, (7) bentuk
pesan, (8) isi pesan, (9) rangkaian tindakan, (10) kaidah interaksi, (11) norma
interpretasi.
Scene (genre,
topic, pupose atau function, dan setting)
Scene
‘adegan’ terdiri atas empat komponen yaitu: genre,
topic, pupose atau function, dan setting. Identifikasi scene dalam komunikasi membutuhkan
sejumlah proses yang dapat mengungkapkan persepsi-persepsi dalam komunitas
tutur yang dalam hal ini, acap kali berkaitan dengan konteks kebudayaan. Genre
adalah klasifikasi jenis peristiwa. Elemen tersebut secara sistematis
berhubungan dengan bentuk dan fitur tertentu yang mungkin berbeda dengan bentuk
dan fitur lainnya. Topik adalah fokus yang menjadi acuan, yang dalam hal ini
berkaitan erat dengan konteks kebudayaan. Purpose
atau function berkaitan erat dengan
tujuan para partisipan dalam komunikasi. Elemen tersebut secara potensial melibatkan
beragam tingkatan yang perlu untuk diperhatikan. Misalnya: genre sambutan
secara simultan berfungsi untuk menguatkan solidaritas dan menunjukkan status
relatip. Seting merupakan komponen yang dapat diteliti secara langsung,
walaupun komponen penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut tidak dapat
dilihat secara nyata. Misalnya tingginya posisi tempat duduk dalam budaya
Jepang acap kali tidak diperhatikan, walaupun sebenarnya hal tersebut memiliki
makna tersendiri.
Waktu dan tempat dalam suatu kebudayaan juga memiliki makna tersendiri
bagi kebudayaan dan bahasa. Misalnya, selama musim dingin orang-orang suku
Navajo dilarang mengucapkan hal-hal yang berkaitan dengan binatang yang
berhibernasi atau dalam suku Abbey, menyambut seseorang orang sebaiknya tidak
dilakukan di satu tempat saja.
Organisasi tempat dan waktu sangat signifikan pada setiap budaya, oleh
karena itu, peneliti tidak dapat menentukan asumsi sendiri terhadap kedua hal
tersebut.
Berikut sejumlah pertanyan yang diungkapkan untuk menggambarkan scene:
- Apakah jenis peristiwa komunikasi tersebut?
- Mengenai apa peristiwa tersebut?
- Mengapa hal tersebut terjadi?
- Kapan dan di mana hal tersebut muncul?
- Bagaimana bentuk settingnya?
Di
samping pertanyaan itu peneliti umumnya juga menanyakan sejumlah pertanyan lain
yang dapat menunjukkan pentingnya setting, misalnya:
- bagaimana seseorang mengorganisasikan diri mereka dalam kelompok untuk berbegai tujuan?
- konsep tempat, pemahaman, dan keyakinan apa yang ada dalam kelompok atau individu?
- apakah pengetahuan dan pentingnya arah mata angina dalam kebudayaan?
- hal signifikan apakah yng diasosiasikan dengan perbedaan arah?
- keyakinan atau nilai apakah yang berasosiasi dengan waktu?
Key
Key adalah
nada, gaya atau suasana yang menggambarkan emosi dalam peristiwa komunikasi.
Dalam bahasa Inggris bentuk ini umumnya digmbarkan dalam bentuk yang
bertentangan. Misalnya mengoda dengan menyindir, tulus dengan sarkastik,
bersahabat dengan bermusuhan. Key
umunya digunakan untuk mengambarkan genre. Akan tetapi, key dapat juga digunakan untuk mengambarkan fungsi tertentu,
seperti penggunaan bahasa, peran antar prtisipan, atau bentuk dan isi pesan.
Key mungkin
berperan sebagai variabel tunggal dalam peristiwa komunikasi, apabila muncul
konflik antar komponen. Dalam hal ini, key
akan mengesampingkan elemen lainnya. Misalnya, pada pujian yang dibentuk
dalam key yang sarkastik, key tersebut akan mengesampingkan bentuk
dan isi literal pesan. Key dapat juga
ditandai dengn pilihan dan variasi bahasa oleh tanda-tanda nonverbal, seperti
kedipan mata dan fitur paralinguistik, atau melalui kombinasi antarelemen.
Dalam hal ini, interpretasi key
bergantung pada budaya dan harus ditetapkan dengan bersandar pada persepsi.
Partisipan
Pertanyaan
yang mendasar bagi pengambaran partisipan adalah
1.
siapa yang mengambil peran dalam
suatu peristiwa?
2.
bagaimana partisipan
diorganisaikan?
Kategori
ini tidak hanya meliputi penutur, tetapi juga hearer dan overhearer.
Deskripsi yang memadai dari partisipan tidak hanya meliputi sifat yang
dapat diobservasi, tetapi juga informasi lainnya mengenai komposisi dan kaidah
hubungan dalam keluarga, institusi sosial, fitur pembeda dalam lingkungan dan
perbedaan dalam kelompok menurut jenis kelamin dan status social. Analisis
mengenai bagaimana partisipan diorganisasikan dalam suatu percakapan sangatlah
penting guna memahami peran yang diambil dalam hubungannya dengan peran yang
lain dan bagaimana peran trsebut terlibat dlam pengkonstruksian komunikasi.
Bahkan pakaian partisipanpun dapat menjadi sengat relevan dalam interpretasi
perilaku komunikatif. Misalnya laki-laki Arab berdiri dekat dengan wanita
ketika berbicara, apabila wanita tersebut menggunakan kerudung. Keyakinan
mengenai siapa yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi pada dasarnya
sangat bergantung pada kebudayaan dan tidak terbatas hanya pada manusia.
Misalnya n dan orang yang tidak kelihatan (yang dipangil melalui genderang)
dianggap sebagai partisipan dalam kegiatan berbelasungkawa.
Bentuk pesan
Dalam
mempelajari beragam batasan sosial, budaya, dan situasi; kode verbal dan non
verbal sangatlah penting dalam pengambaran komponen komunikasi (seperti bentuk
dan isi pesan serta rentetan tindakan).
Setiap tipe kode ditransmisikan melalui saluran vocal (mengunakan artikulator) atau nonvocal (tanpa artikulator).
Berikut contoh keempat elemen yang dimaksud.
|
Vocal
|
Nonvocal
|
Verbal
|
Bahasa lisan
|
Bahasa tertulis
(tuna rungu) bahasa isyarat
Peluit / bahasa gendering
Sandi morse
|
Nonverbal
|
Paralinguistik dan fitur
prosodi
tertawa
|
Keheningan
Kinesis
Proksemik
Perilaku mata
Gambar dan kartun
|
Setiap pola komunikasi lebih lanjut dibagi dalam beragam saluran yang
berbeda. Dalam bahasa lisan pola komunikasi bersemuka berbeda dengan telepon,
dan rekaman. Pola komunikasi tertulis
akan berbeda apabila saluran yang digunakan adalah hardcopy atau melalui ratron. Dalam hal ini, komunikasi melalui
ratron umunya menggunakan banyak elemen komunikasi (misalnya: emotikon yang
digunakan untuk mengambarkan perasaan penulis (:-), ;-), :-D, :-P)). Di samping
itu, penulis berkesempatan untuk memperbaiki pesan yang hendak
disampaikan.
Dalam etnografi komunikasi, keheningan atau tindakan diam (misalnya,
selaan, hesitation ‘diam dengan
keraguan’) dapat memiliki makna. Keheningan sebagai tindak komunikasi
sepenuhnya bergantung pada daya ilokusi yang disampaikan pada saat partisipan
diam. Kondisi ini umumnya, diikuti oleh gerakan sehingga makna menjadi lebih
nyata. Akan tetapi saat seseorang diam dan tidak melalkukan gerakan apapun,
kondisi tersebut dapat juga mencerminkan makna. Analisis keheningan dapat juga
dilakukan dengan mengukur bagaimana diam membawa makna gramatika dan leksikal
yang dapat mengantikan elemen-elemen dalam wacana. Misalnya tuturan “ini adalah_____”
memiliki makna mencari objek yang tepat yang tidak dituturkan.
Komunikasi verbal dengan saluran vocal, seperti back channel ‘interaksi yang dibentuk dari respon partisipan’ dan
tertawa serta komunikasi nonverbal dengan saluran non vocal, seperti kinesis
dan ekspresis wajah merupakan contoh komunikasi yang sering ditemukan. Dalam
kinesis dan ekspresi wajah terdapat beberapa hal yang harus diidentifikasi,
seperti: bagian tubuh yang digunakan, gerakan yang dituju, dan jangkauan
gerakan.
Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi pesan yang dibawa melalui kode
verbal atau nonverbal umumnya berlaku secara universal walupun terdapat nilai
dan makna spesifik yang hanya relevan pada kelompok tertentu. Sewaktu bentuk
komunikasi tertentu telah dipilih terdapat batasan mengenai bentuk alternatif
yang akan muncul (yang berbeda). Perbedaan yang umumnya muncul memiliki relasi
paradigmatic dan sintagmatik. Paradigmatik berkaitan dengan pemilihan bentuk di
antara elemen yang mungkin dapat mengisi tempat yang sama, sedangkan
sintagmatik berkaitan dengan pemilihan elemen dalam suatu tindak tutur yang
sama.
Isi pesan
Isi
pesan merujuk pada mengenai apa tindak komunikasi dan untuk apa makna
diungkapkan. Hymes menyatakan bahwa hanya satu konteks yang digunakan untuk
membedakan bentuk dan isi pesan. Ia memberikan contoh tuturan berikut “ia
berdoa dan mengatakan…. (bentuk dan isi), “Ia mendoakan agar ia segera sembuh”
(hanya isi saja). Dalam pertukaran komunikasi, tuturan langsung dan respon diam
merupakan bentuk. Sementara itu interpretasi sebagai permintaan untuk
menyediakan ruangan merupakan isi.
Dalam tuturan bersemuka, makna tidak hanya diungkapkan melalui bentuk
dan isi pesan verbal dan non verbal, tetapi juga melalui konteks ekstra
linguistik dan melalui informasi dan pengharapan partisipan dalam komunikasi.
Beragam elemen diproses secara simultan, hal tersebut menyebabkan kesulitan
bagi peneliti untuk mengisolasi setiap kumpulan elemen. Untuk memahami aspek
nonlinguistic dalam komunikasi, Saville-Troike memelajari interaksi antara
penutur yang tidak memahami bahasa mitra tuturnya. Ia menamai fenomena tersebut
dengan dilingual discourse. Berikut
contoh studi yang dilakukannya.
Seorang
anak-anak pendatang dari China berada di rumah sakit dan perawat berbehasa
Inggris yang sama sekali tidak mengetahui bahasa China.
P1 wode
xie dai diao le. ‘tali sepatuku lepas’
P2 here
you go [perawat tersebut mengikat tali spatu P1]
Dalam
percakapan tersebut P2 memahami maksud P1 karena konteks fisik dan karena P2
memiliki pengalaman (mengenai merawat anak-anak) untuk memahami dan mengantisipasi
P1. akan tetapi, saat saat koherensi
semantik tidak dicapai (karena keterbatasan penutur dan mitra tutur mengenai
bahasa) makan dugaan sering sekali muncul. Berdasarkan sejumlah pernyataan dan
contoh diatas dapat disimpulkan bahwa usaha untuk mengungkapkan dan
menginterpretasi pesan berpusat pada pengukuran tingkat minimal yang dapat
dianggap sebagai komunikasi yang berhasil. Akan tetapi, hal tersebut tidak
selalu berlaku karena peneliti acap kali membutuhkan derajat keberhasilan dalam
memberi penilaian.
Act Sequence
Act sequence adalah komponen yang meliputi informasi mengenai tata cara tindak
komunikasi dalam suatu peristiwa. Tata cara yang dimaksud umumnya bersifat
sangat kaku, seperti menyambut, mengakhiri percakapan, memuji, menyatakan
belasungkawa, dll. Dalam mengambarkan sequence, tindak komunikasi dapat
dikarakteristikkan dengan bersandar pada fungsi, dan bentuk serta isi pesan.
Walupun deskripsi yang dihasilkan hanya bersandar pada satu data budaya. Akan
tetapi, terdapat pola umum yang berlaku sama pada setiap budaya. Misalnya, pola
interaksi sales (door to door) di Jepang dan Amerika atau negara-negara lainnya,
yang pada umumnya sama.
Rules of interaction
Komponen-komponen
dalam kaidah interaksi meliputi penjelasan mengenai kaidah dalam pengunaan
tuturan yang dapat diterapkan dalam peristiwa komunikatif. Dengan kaidah ini,
Saville-Troike menunjukan perspektif perilaku tentang bagaimana seseorang
bertindak, sesuai dengan nilai yang terdapat dalam suatu komunitas tutur.
Kaidah yang dimaksud dapat di sandikan dalam beragam bentuk, seperti aforisme,
peribahasa, bahkan hukum; atau secara tidak sadar dan membutuhkan identifikasi.
Kaidah interaksi sering ditemukan melalui reaksi terhadap pelanggaran seseorang
dan perasaan adanya perilaku yang bertentangan, tidak sopan dan aneh. Misalnya
kaidah Turn-taking ‘alih tutur’ dalam bahasa Inggris. Jika seseorang menuturkan
pujian, permintaan atau undangan, maka agar mitra tutur mematuhi kaidah
kesantunan, ia harus menuturkan respon yang tepat, setelah penutur selesai.
Norm of Interpretation
Komponen
norma interpretasi harus mampu menyediakan setiap informasi mengenai komunitas
tutur dan budaya yang harus dipahami dalam pertuturan. Misalnya, penutur Bambra
dalam pertemuan harus mengetahui bahwa tuturan langsung digunakan untuk
mempertahankan maksud, sementara itu teka teki atau pengumpamaan untuk
menginterpretasi hal yang bertentangan. Berdasarkan hal ini kita dapat melihat
bahwa pada dasarnya norma merupakan standar yang disadari oleh komunitas tutur.
Hubungan antarelemen
Untuk
mengidentifikasi komponen-komponen budaya yang ditemukan dalam peristiwa
komunikasi, terlebih dahulu peneliti harus mengumpulkan sejumlah pertanyaan
yang berhubungan dan yang dapat memicu tersedianya data. Berikut sejumlah
pertanyaan yang dimaksud.
- Bagaimana genre dan topic saling memngaruhi?
- Apakah hubungan genre dan purpose?
- Bagaimana genre, topic dan setting saling berhubungan?
- Apakah hubungan antara genre, topic, setting, dan partisipan, serta isi dan bentuk pesan?
Hubungan
internal antarkomponen komunikasi sangatlah kompleks, karena saat suatu
dibentuk, pesan tersebut dapat dipengaruhi oleh beragam hal. Misalnya, makna
suatu pesan dapat dipengeruhi oleh musim, waktu, lokasi, usia dan peran
partisipan dalam komunikasi tersebut. Dalam hal ini tidak semua komponen
tersebut menonjol. Di setiap peristiwa, interpretasi mitra tutur terhadap pesan
bergantung pada scene, kaidah
komunikasi, bahkan fitur paralinguistik, dan prosodi (nada, intonasi, ritme,
dan amplitude.)
Elicitation within a frame
Salah
satu tugas peneliti bahasa adalah untuk menemukan komponen-komponen yang
relevan dalam komunitas tutur. Langkah awal yang harus dilakukan untuk memenuhi
hal tersebut adalah menentukan frame
‘bingkai’. Frame dapat didefenisikan
sebagai entitas yang statis yang dapat dimanipulasi dalam pengumpulan data dan
memungkinkan terjadinya pengungkapan elemen yang berbeda yang memiliki makna
(dari sudut pandang penutur jati).
Untuk mengidentifikasi perbedaan dalam peristiwa komunikasi, etnografer
dapat melakukan observasi dan merekam sejumlah data yang sama (dengan objek
yang diteliti) dan mencatat setiap perbedaan bentuk dan isi pesan, key, serta scene. Lebih lanjut, partisipan diwawancarai untuk menemukan
perbedaan antara varian data. Kemudian etnografer dapat melakukan penyelidikan
lebih lanjut dengan berpegang pada frame
(kecuali untuk mengungkapkan perubahan dalam peristiwa komunikasi dan
interpretasinya).
Di samping itu, pengungkapkan komponen budaya dapat juga dilakukan
dengan meminta informan untuk melakukan peran tertentu sesuai dengan konteks
yang dituturkan oleh etnografer (sesuai dengan penelitian). Dengan bersandar
pada data yang diperoleh melalui metode tersebut peneliti dapat menemukan
perilaku yang tepat dan tidak (bersandar pada stereotipe) dalam kebudayan.
Analisis Interaksi
Analisis
interaksi yang memadai haruslah melebihi konsep frame yang statis. Memahami frame
penutur merupakan proses yang sangat penting untuk menghubungkan dugaan
peneliti dengan produksi dan interpretasi bahasa, dan bagaimana skemata dan
proses interaksi berhubungan dengan budaya yang dihidupi masyarakat. Hal
tersebut merupakan tujuan utama dalam menjelaskan kompetensi bahasa.
Model analisis yang berkaitan dengan hal ini dikembangkan oleh Wallace
Chafe. Dalam penelitiannya Chafe mengungkapkan bahwa film atau beragam situasi
komunikatif (data) dapat digunakan untuk menggambarkan perspektif masyarakat
terhadap fenomena sosial budaya yang sedang terjadi. Model analisis interaksi
juga dikembangkan oleh Gumperz yang menganalisis percakapan penutur
antarbudaya. Ia menyatakan bahwa perbedaan sosiokultural pada bahasa membawa
pertemuan antar frame yang berbeda.
Salah satu metode yang dinilai berhasil melibatkan playback. Dalam hal ini partisipan diwawancarai. Tujuan wawancara
ini adalah untuk menguji makna tuturan dan untuk studi penutur dalam suatu
institusi guna mengungkapkan perilaku komunikasi yang tidak tepat dalam situasi
tertentu.
Ilustrasi analisis etnografis
Etnografi
berkaitan dengan cara masyarakat bertutur (pada suatu budaya) yang sangat
dibatasi oleh kesadaran masyarakat atas landasan teoretis dan metodologis. Akan
tetapi, esensi dari istilah ini tidak berlaku pada penelitian Ethel Albert di
Afrika pada tahun 1955 sampai dengan 1957. Penelitian ini dilakukan sebelum
munculnya konsep etnografi komunikasi yang diungkapkn oleh Hymes. Ia menghubungkan
situasi spesifik dari kaidah bertutur dengan pandangan dan struktur sosial
kebudayan Burundi. Hal tersebut dilakukan dengan menghubungkan strategi personal
(bukan masyarkat) dan membahas sejumlah masalah dalam komunikasi antar
budaya. Analisis etnografi lebih lanjut
dilakukan oleh sejumlah ahli, seperti Blom dan Gumperz, Abraha, scollons,
Philips, Sherzer, Graham dan lain-lain dengan metode holistik.
Penggabungan ethnografi komunikasi dengan penelitian cerita rakyat
adalah salah satu metode yang banyak dilakukan. Penelitian ini menghasilkan
sebuah model yang produktif yang
berfokus pada performansi dan analisis peristiwa-peristiwa dalam cerita rakyat
yang dalam hal ini melibatkan seting, pelaku atau aktor, penonton dan komponen
komunikasi lainnya. Salah satu kontribusi yang dinilai membangun metode ini
dilakukan oleh Hymes yang mengembangkan etnopoetics
dan Clements mengungkapkan melakukan survey isu-isu dan metode lapangan
secara meluas, serta Paredes dan Bauman.
Pustaka Acuan
Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication: An Introduction, 3rd
ed. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Recent Comments