Saville-Troike vs Littlejohn

Uraian Saville-Troike mengenai komunikasi etnografi, dalam tulisannya yang berjudul Basic Terms, Concepts and Issues, dalam buku The Ethnography of Communication (1990), hampir sama dengan uraian Littlejohn, dalam tulisannya yang berjudul Theories of Experience and Interpretation, dalam buku berjudul Theories of Human Communication. Jadi dapat dikatakan bahwa uraian Saville-Troike mengenai komunikasi etnografi termasuk ke dalam kelompok teori pengalaman dan interpretasi dari perspektif Littlejohn.
             Komunikasi yang dikemukakan Littlejohn dalam tulisannya berkaitan dengan teori-teori tentang pengalaman dan pemahaman. Asumsi inti yang melandasi teori tersebut adalah bahwa manusia secara aktif menginterpretasi pengalaman mereka dengan memberikan makna terhadap apa yang mereka lihat. Interpretasi dikenal juga sebagai verstehen (understanding), istilah dalam bahasa Jerman, yaitu proses pemberian makna aktif terhadap apa yang kita amati. teori-teori tentang pengalaman dan pemahaman yang dimaksud antara lain adalah: 1. Fenomenologi; kajian terhadap pengetahuan yang datang melalui kesadaran, yaitu cara kita memahami objek dan peristiwa melalui pengalaman secara sadar. 2. Hermeneutika; kajian tentang pemahaman, dan lebih khusus pada interpretasi tindakan dan teks. Tokoh-tokoh yang berperan dalam hermeunitik seperti Paul Ricoeur, Stanley Fish, Hans-Georg Gadamer. 3. Interpretasi Kebudayaan Istilah lain bagi interpretasi kebudayaan adalah etnografi (etnography). Clifford Geertz menyebut interpretasi kebudayaan sebagai thick description, yaitu interpretasi kebudayaan dari sudut pelaku asli budayanya, dan membedakannya dari thin description, yaitu upaya interpretasi kebudayaan yang semata-mata mendeskripsikan pola tingkah laku berdasarkan sudut pandang yang hanya sedikit memiliki kesamaan dengan pelaku asli budayanya. Lebih jauh, Donald Carbaugh dan Sally Hasting menyebut empat proses yang terjadi dalam etnografi, meliputi: pertama, mengembangkan dasar orientasi terhadap budaya dan manifestasi budaya yang akan diteliti; kedua, mendefinisikan kategori aktivitas yang akan diteliti; ketiga, merancang teori yang bersifat spesifik demi kepentingan penelitian; dan keempat, mengaplikasikan teori dan, selanjutnya, mengujinya pada kasus tertentu.Menurut Hymes linguistik formal tidak akan mampu memahami bahasa secara utuh, sebab ia mengabaikan kenyataan bahasa dalam penggunaannya sehari-hari. Ia selanjutnya menyebut sembilan kategori yang dapat digunakan untuk membandingkan perbedaan antarbudaya, yaitu: (1) cara bertutur (ways of speaking) atau pola komunikasi; (2) kefasihan ideal penutur (ideal of the fluent speaker); (3) komunitas wicara (speech community); (4) situasi wicara (speech situation); (5) tindak tutur (speech act); (6) komponen tindak tutur; (7) peristiwa wicara (speech event); (8) kaidah bertutur dalam komunitas; dan (9) fungsi wicara dalam komunitas.
Berdasarkan pendapat Carbaugh, etnografi komunikasi setidaknya mengkaji tiga masalah, yaitu pertama, mengungkap identitas bersama (shared identity) komunitas yang tercipta melalui komunikasi; kedua, mengungkap makna bersama (shared meaning) bagi prestasi publik yang terlihat dalam kelompok; dan ketiga, mengeksplorasi kotradiksi dalam kelompok. Dalam uraian mengnei komunikasi etnografi, Littlejohn juga memasukkan uraian mengenai Performance Etnography; Etnografi tampilan budaya sangat berguna bagi bidang komunikasi, sebab komunikasi sering kali dipahami sebagai tampilan. Kebudayaan dalam Organisasi Organisasi, yang dapat dilihat sebagai cara hidup anggotanya, menciptakan juga realitas yang dimiliki bersama yang berbeda dari kebudayaan lain melalui interaksi para anggotanya. Sebab, tindakan yang mengarah pada tujuan (task-oriented action) tidak dipahami langsung secara objektif, melainkan melalui penguatan cara-cara tertentu yang secara sadar diperoleh dengan memahami pengalaman. Kajian Media Interpretif James Lull menyebut bidang ini dengan nama etnografi komunikasi masa (etnography of mass communication). Sebuah masyarakat interpretif ini akan mengembangkan sendiri pola konsumsinya, yaitu pemahaman umum tentang isi dari apa yang mereka lihat, dengar, baca, dan saksikan yang membentuk hasil yang juga dimiliki bersama.
            Littlejohn menggunakan teori Hymes untuk memberi penekanan pada perbedaan budaya yang ada di dunia, yang mempengaruhi bahasanya pula. Sedangkan Saville-Troike tidak demikian. Saville-Troike lebih menekankan teori Hymes untuk analisis praktik komunikasi dalam rangka memahami budaya suatu masyarakat.

Pustaka Acuan
Littlejohn, Stephen W,. 2002. Theories of Human Communication (edisi ketujuh). Belmont: Thomson Learning. Hal. 184-202
Saville-Troike, Muriel. 1990. The Etnography of Communication: An Introduction. Massachussetts: Basil Blackwell, Ltd. Hal 10-45

Tipologi Morfologis

Pengklasifikasian bahasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, bergantung pada tujuannya. Klasifikasi bahasa berdasarkan kesamaan ciri-ciri atau tipe-tipenya disebut tipologi bahasa. Tipologi bahasa dapat dilakukan berdasarkan kesamaan ciri-ciri fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantis. Thomas E. Payne dalam bukunya Describing Morphosyntax (1997: 20-31) memaparkan tipologi morfologis bahasa.

Konsep Dasar dalam Morfologi
            Sebelum menjelaskan tipologi morfologis, Payne memberikan penjelasan tentang pengertian morfologi, morfem, morfem terikat, morfem bebas, root, klitik, alomorf, morfofonemik, dan stem. Morfologi merupakan studi tentang bentuk bahasa. Bentuk terkecil dalam morfologi adalah morfem, yaitu bentuk terkecil yang mempunyai makna. Morfem terdiri dari morfem terikat dan morfem bebas. Morfem terikat merupakan morfem yang harus didampingi oleh morfem lain agar jelas fungsi dan maknanya. Morfem terikat dapat berupa afiks atau klitik. Morfem bebas merupakan morfem yang dapat berdiri sendiri dalam kalimat tanpa harus didampingi morfem lain.
            Klitik merupakan salah satu bentuk morfem terikat yang berfungsi pada tataran frasa atau klausa. Contoh klitik dalam bahasa Ingris adalah a dan the. Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal bentuk klitik ­–nya yang menunjukkan kepemilikan.
            Dalam proses morfologis sebuah kata, ada aturan fonologis yang berperan. Dalam morfologi, hal tersebut disebut aturan morfofonemik. Contohnya, dalam bahasa Inggris, fonem /n/ pada prefiks in- yang digabungkan dengan morfem yang berfonem awal /l/ atau /r/ akan berubah menjadi [r] atau [l].

                        in- + rational → irrational
                        in- + legal → illegal

Dalam bahasa Indonesia, kaidah morfofonemik ini dapat dilihat pada peluluhan fonem tak bersuara pada morfem bebas saat digabungkan dengan afiks meN-.
                        men- + tari → menari
                        men- + tata → menata

            Adanya kaidah bunyi dalam proses pembentukan kata memunculkan variasi bentuk morfem. Variasi morfem ini disebut alomorf. Contohnya, morfem meN- mempunyai alomorf meng-, meny-, mem-, menge-, dan sebagainya.
            Dalam morfologi juga dikenal istilah root dan stem. Root adalah bentuk leksikal dasar dari sebuah kata yang tidak dapat dipisah-pisah. Root biasanya membutuhkan proses infleksional, yang kerap melibatkan prefiks dan sufiks, agar dapat digunakan dalam sebuah kalimat. Contoh root adalah habl- dalam bahasa Spanyol. Habl- tidak dapat langsung digunakan dalam kalimat, ia harus mengalami proses morfologis terlebih dahulu sehingga menjadi habló.
            Stem merupakan bentuk yang terdiri dari setidaknya sebuah root dan sebuah morfem derivasional. Sama seperti root, stem bisa jadi merupakan sebuah kata yang dapat atau tidak dapat dimaknai secara penuh. Stem dapat berdiri sendiri atau harus mengalami proses morfologis terlebih dahulu. Contohnya, morfem destruct dan construct yang mempunyai root –struct +  prefiks derivasional.
            Dalam morfologi dikenal proses derivasional dan infleksional. Derivasional merupakan proses morfologis yang mengubah sebuah kata ke dalam anggota kelas kata lain atau mengubah ketransitivan kata tersebut. Dalam bahasa Inggris, perubahan kata girl menjadi girly mengalami derivasi, yaitu dari kelas kata nomina menjadi adjektiva. Selain itu, contoh derivasi dapat dilihat pada contoh dalam bahasa Inggris, perubahan dari love menjadi lovely, loveliness, atau lover. Infleksional merupakan proses morfologis yang berfungsi untuk menyesuaikan sebuah kata dalam kedudukannya dalam kalimat. Contohnya, prefiks –s dalam kata girls merupakan penanda jamak, dan prefiks ini dibutuhkan apabila berada dalam kalimat there are five girls in this class.

Tipologi Morfologis
            Tipologi morfologis yang pertama dilakukan menghasilkan tiga tipe bahasa, yaitu bahasa isolatif, bahasa aglutinatif, dan bahasa fusional.
  1. Bahasa isolatif, yaitu bahasa yang kata-katanya sering terdiri dari satu morfem (Lucy R. Montolalu, et.al., 2005: 181). Contohnya adalah bahasa Inggris dalam kalimat Will you please close the door? Kalimat tersebut kata-katanya terdiri dari satu morfem.
  2. Bahasa aglutinatif, yaitu bahasa yang kata-katanya dapat dibagi dalam morfem-morfem tanpa kesulitan (Lucy R. Montolalu, et.al., 2005: 181). Bahasa Indonesia tergolong ke dalam tipe bahasa aglutinatif. Contohnya adalah kata berdandan yang dapat dibagi ke dalam 2 morfem, yaitu ber- + dandan.
  3. Bahasa fusional, yaitu bahasa yang menggabungkan beberapa morfem menjadi satu sedemikian rupa sehingga morfem-morfem pembentuk kata tersebut sulit dikenali unsur-unsur pembentuknya (Lucy R. Montolalu, et.al., 2005: 181). Dalam bahasa Inggris dapat dilihat pada kata saw, yang merupakan gabungan dari see + past tense.

Payne (1997: 27-28) mengembangkan tipologi ini ke dalam dua tipe, yaitu sintesis dan fusi.
  1. Sintesis, yaitu jumlah morfem yang ada pada satu kata. Bahasa yang cenderung mempunyai satu morfem dalam satu kata disebut tipe isolasi dan yang mempunyai lebih dari satu morfem disebut tipe polisintetis. Bahasa Cina merupakan contoh tipe isolasi. Bahasa Inuit (Eskimo) merupakan contoh bahasa polisintetis.
  2. Fusi, yaitu tipe bahasa yang didasarkan pada derajat fusi yang ada pada satu kata. Contohnya, morfem –ó pada kata habló dalam bahasa Spanyol dapat mencakup makna orang ketiga, tunggal, kala lampau, aspek perfektif. Apabila salah satu komponen makna ini berubah, sufiksnya pun harus berubah. Namun, dalam bahasa Indonesia, misalnya, satu morfem prefiks menunjukkan satu makna sehingga bahasa indonesia digolongkan ke dalam bahasa aglutinatif.


Pustaka Acuan
Payne, Thomas E. 1997. Describing Morphosyntax. Cambridge: Cambridge University Press.
Kushartanti, et.al. ed. 2005. Pesona Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Teori Osgood Mengenai Makna

Charles Osgood, pada tahun 1960-an, mengembangkan sebuah teori yang berkenaan dengan makna.  Fokus penelitiannya adalah mengenai cara sebuah makna dipelajari, dan juga mengenai hubungan antara makna dengan pikiran dan tingkah laku manusia. Kedua fokus tersebut dapat dilihat pada contoh berikut, kata ‘penerbangan’ dapat diasosiasikan dengan pengalaman yang menyenangkan, keadaan melayang, atau bahkan sesuatu yang berbahaya, dan menakutkan. Kemunculan asosiasi-asosiasi tersebut, yang merupakan konotasi untuk kata ‘terbang’ atau ‘penerbangan’, bergantung kepada pengalaman masing-masing individu. Lebih lanjut, Osgood, dengan teorinya, berusaha untuk mengungkap elemen-elemen pembangun sebuah konotasi, dan asal-muasal konotasi tersebut. 
Teori Osgood dimulai dengan asumsi bahwa setiap individu akan merespon setiap stimuli (rangsangan) yang ada dalam lingkungannya. Hubungan antara stimulus dan respon ini (S-R) diyakini sebagai elemen pembentuk makna. Sebagai contoh, ketika seseorang melihat pesawat terbang, akan muncul beberapa asosiasi internal dalam pikirannya. Asosiasi tersebut membentuk makna tersendiri bagi tiap individu mengenai objek pesawat terbang. Berkaitan dengan uraian sebelumnya, pesawat terbang merupakan stimulus fisik, yang dapat menimbulkan respon yang berbeda-beda bagi setiap individu; misalnya tidak mau menaikinya. Respon tersebut dimediasikan oleh representasi internal dalam pikiran seseorang, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh respon internal, seperti ketakutan; dan stimulus internal, seperti kecenderungan untuk menghindar. Polanya adalah sebagai berikut, stimulus fisik à respon internal à stimulus internal à respon luar.
Selain  objek fisik, terdapat juga makna bagi tanda dari objek tersebut, seperti kata dan gerakan. Dengan kata lain, bila tanda tersebut disandingkan dengan pengertiannya, tanda tersebut akan mendapatkan respon yang sama atau mirip. Uraian tadi dapat menjelaskan ketakutan yang muncul dari seseorang, sebagai respon terhadap suatu kata.
Karena makna bersifat internal dan unik, maka ia dapat dikatakan konotatif. Perhatikan contoh berikut, ketika seseorang yang takut kepada laba-laba melihat hewan tersebut, maka salah satu respon yang dilakukannya adalah menjauhkan diri. Namun, bagi seseorang yang memiliki pengalaman yang lebih menakutkan dengan laba-laba tersebut, maka respon terhadap objek tersebut pun akan menjadi berbeda. Misalnya dia akan merasa takut, hanya dengan mendengar kata ‘laba-laba’ (respon berasosiasi dengan tanda dari objek, yaitu kata).
Makna terbentuk berdasarkan asosiasi antara satu tanda dengan tanda lainnya. Sebagai contoh, asosiasi antara kata ‘laba-laba’, ‘besar’, dan ‘berbulu’ akan menciptakan makna untuk kata ‘tarantula’. Lebih lanjut, kata ‘tarantula’ juga membawa beragam konotasi, sesuai dengan ketiga respon internal yang sudah disebutkan tadi. Sebagai contoh, jika laba-laba diasosiasikan dengan ketakutan, besar dan berbahaya, serta berbulu dan menjijikan, maka respon yang muncul adalah menjauhkan/melarikan diri dari objek tersebut.     
Metode pengukuran makna yang dikemukakan Osgood bermula dari asumsi bahwa makna dapat ditunjukkan melalui penggunaan adjektiva. Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah adjektiva yang mengekspresikan konotasi terhadap suatu rangsangan atau tanda, kemudian diatur secara berurutan tapi berlawanan satu dengan yang lain, pada dua kutub, misalnya baik-buruk, tinggi-rendah, lambat-cepat. Di antara kedua kutub tersebut terdapat tujuh skala nilai, seperti pada gambar berikut.
baik__:__:__:__:__:__:__:buruk
kemudian responden diminta menandai salah satu di antara ketujuh skala tersebut, sesuai dengan responnya terhadap suatu objek.
Selain itu, ada juga teknik statistikal yang dinamai oleh Osgood sebagai factor analysis, yang tujuannya adalah untuk menemukan dimensi dasar sebuah makna. Penelitian Osgood ini mengarah pada teori semantic space; setiap tanda terletak pada suatu tanda metaforis. Lebih lanjut, Osgood mengarahkan penelitian ini pada tiga dimensi, yaitu: evaluasi (baik atau buruk), aktifitas(aktif-tidak aktif), dan potensi (kuat-atau lemah). Factor analysis dapat digunakan dalam berbagai bidang lainya, seperti penelitian  budaya.





Pustaka Acuan
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. New Mexico: Wadsworth.  

Konseptualisasi Emosi Marah dalam Bahasa Inggris


Menurut John Lakkoff dan Zoltán Kövecses, terdapat sebuah organisasi konseptual yang koheren yang mendasari setiap ekspresi (yang pada dasarnya sudah bersifat metaforikal dan metonimikal). Berkaitan dengan hal itu, setiap ekspresi dapat mengindikasikan kehadiran emosi kemarahan melalui efek-efek fisiologis yang ditampilkan dalam ekpresi itu. Efek fisiologis yang dimaksud bisa dilihat pada contoh berikut, Billy is a hothead, He almost had a hemorrhage, He got red with anger, She was shaking with anger, I was so mad I can’t see straight.
Model kultural mengenai efek fisiologis seperti tadi, khususnya yang menekankan pada “suhu panas”, membentuk dasar bagi metafora yang paling general untuk mengungkapkan kemarahan, yaitu bahwa “kemarahan merupakan suhu panas”, yang kemudian dapat dibagi lagi menjadi dua versi, yaitu (1) suhu panas yang teraplikasi ke benda cair; “kemarahan merupakan suhu panas dari sebuah cairan dalam wadah” (dimotivasi oleh suhu panas dari cairan itu, tekanan internal yang dihasilkan cairan itu, dan pergolakan dalam cairan itu), (2) suhu panas yang teraplikasi ke benda padat; “kemarahan adalah api” (dimotivasi oleh suhu panas dan aspek kemerahan yang tercakup dalam efek fisiologis manusia).
Versi yang pertama, versi pengaplikasian ke benda cair, lebih banyak rinciannya dibandingkan versi yang kedua. Hal tersebut dapat terjadi karena setiap manusia dipastikan memiliki kerangka sistem konseptual yang mendasar, yaitu bahwa “tubuh manusia adalah wadah emosi” (misalnya, He was filled with anger, she couldn’t contain her joy, dst). Jadi dapat disimpulkan bahwa “kemarahan adalah suhu panas dari cairan yang berada dalam sebuah wadah”, contohnya, you make my blood boil, simmer down, let him stew, dst. Sebagai kontras dari metafora-metafora itu, muncullah metafora seperti keep cool, stay calm.
Metafora konseptual dapat produktif melalui dua cara, salah satunya secara leksikal; kata-kata dan ekspresi dapat menyandikan tingkatan metafora konseptual itu sendiri. Dengan kata lain kata-kata dan bentuk-bentuk ekspresi dapat merincikan metafora konseptual. Sebagai contoh, kata stew ‘merebus pelan-pelan’ dan simmer ‘mendidih secara perlahan’, dapat mengindikasikan periode dan intensitas kemarahan. Cara kedua adalah dengan cara mengalihkan rincian pengetahuan manusia berdasarkan pengalaman sehari-hari (source) ke ranah emosi, dalam hal ini rasa marah (target). Bentuk pengalihan itu dapat dirujuk sebagai perikutan metaforikal; sebagai bagian dari sistem konseptual manusia. Contoh dari perikutan yang dimaksud adalah sebagai berikut, prety soon I was in a towering rage, she got all stem up, I could barely keep it anymore, he managed to keep his anger bottled up  inside him, she blew up at me, she’s on a short fuse, she erupted, he hit the ceiling, his anger finally came out, smoke was pouring out of his ears, my mother will have a cow whe i tell her, dst.




Pustaka Acuan
Holland, Dorothy dan Naomi Quinn. 1987. Cultural Models in Language & Thought. Cambridge: Cambridge University Press.

Metafora; Perluasan dan Pemindahan Makna yang Berkaitan Erat dengan Budaya

Menurut George Lakoff dan Mark Johnson dalam Metaphor We Live By (1980), metafora adalah pemahaman dan pengalaman mengenai sebuah hal melalui sesuatu hal yang lain. Jadi seseorang memahami dan merasakan sesuatu yang baru melalui pemahamannya atas hal lain yang telah ia kenal sebelumnya.
            Lebih lanjut, Lakoff dan Johnson juga menyatakan bahwa pengalaman yang dialami setiap individu bersifat kultural; budaya melatarbelakangi atau hadir pada setiap pengalaman manusia. Sebagai konsekuensi akan hal itu, Lakoff dan Johnson memberi penekanan pada pernyataannya, bahwa analisis terhadap metafora tidak hanya menyediakan pengertian/pemahaman terhadap konstruksi budaya atas suatu realitas, karena pada dasarnya sistem konseptual yang dimiliki manusia secara fundamental sudah metaforis.
            Dapat dikatakan bahwa struktur dasar metafora terdiri atas dua bagian, yaitu (1) hal yang dibicarakan (maksud) dan (2) hal yang dibandingkan/diumpamakan (sebagai wahananya). Kesamaan ciri yang dimiliki oleh kedua hal tersebut merupakan dasar dari metafora. Misalnya pada contoh metafora “waktu adalah uang”, dasarnya adalah kesamaan ciri (komponen makna) yang dimiliki waktu dan uang, yaitu, antara lain, sebagai komoditas yang berharga, dan harus digunakan secara bijaksana. Perlu diingat, berkaitan dengan yang telah diuraikan sebelumnya, dasar dari metafora (kesamaan ciri/komponen makna yang dimiliki oleh kedua elemen dalam metafora) sangat erat kaitannya dengan budaya masyarakat penggunanya.
            Contoh metafora yang kerap ditemukan dalam bahasa Inggris adalah metafora yang membandingkan tindakan/keadaan yang dipandang positif dengan terma “up, high, top, rise” dan tindakan/keadaan yang dipandang negatif dengan terma “down, low, sank, declining, fell, bottom, stoop”, seperti You’re in a high spirits, he’s feeling low today, dst. Selain itu juga kerap ditemukan metafora lineal/langsung untuk menggambarkan suatu kejadian atau keadaan, seperti keep someone in line, straighten up!, straight to the point, wandering from the path, talking around an issue, beating around the bush, dst. Konstruksi metafora lain adalah penggunaan imaji wadah/tempat untuk melukiskan entitas atau proses nonfisik; entitas nonkonkret/nonfisik seolah-olah menjadi sesuatu yang berkaitan dengan sesuatu yang fisikal, khususnya ruang. Contohnya dapat dilihat pada penggunaan preposisi lokatif seperti pada He’s out of his mind, they’re in love, dst. Jenis metafora yang ditemukan hampir pada setiap bahasa adalah jenis personifikasi; membandingkan entitas yang tidak hidup dengan kualitas yang dimiliki oleh makhluk hidup, seperti anxiety is killing him, high prices are eating up  my paycheck, dst.
            Bentuk perbandingan lain, yang mirip dengan metafora adalah metonimi. Berbeda dengan metafora yang cenderung memperluas makna, metonimi cenderung menyempitkannya, dengan menggantikan keberadaan suatu elemen dengan (1) sebagian dan bukan keseluruhan dari elemen lainnya, (2) pencipta/produsen dari sesuatu, dan (3) objek yang dipakai/dimiliki seseorang. Contohnya, this business needs some new blood, she likes to read Thomas Hardy, the ’54 Chevy lives around the corner.
            Metafora yang erat dengan hubungan kekerabatan/famili juga kerap ditemukan di berbagai daaerah; hal ini, sudah pasti, erat kaitannya dengan budaya daerah itu. Sebagai contoh, untuk menghormati orang yang lebih tua, seseorang tidak memanggil orang tersebut lansung dengan namanya melainkan dengan sebutan lain, menganggapnya sebagai bagian dari keluarganya, yaitu bapak, ibu, paman, bibi, kakak, adik, dst. Terma “ibu” dalam metafora juga dijumpai hampir pada setiap bahasa, misalnya dalam ibu pertiwi, mother nature, dll. Biasanya terma tersebut digunakan sebagai pembanding atas bumi, tanah, kesuburan, ternak, dan perihal agrikultural lainnya.
            Metafora lain yang kerap juga ditemukan pada hampir setiap bahasa adalah penggunaan bagian tubuh untuk menggambarkan tindakan/keadaaan atau untuk memberi label/nama pada objek-objek takhidup (perikutannya adalah personifikasi). Sebagai contoh dalam bahasa Inggris, let’s go to the heart of the matter, she’s willing to face her problem, i see what u mean, dst. Penggunaan secara luas dari metafora jenis seperti ini merupakan suatu bukti bahwa tubuh merupakan bagian yang menjadi perhatian penting manusia.       





Pustaka Acuan
Bonvillain, Nancy. 2003. Language, Culture, and Communication. Edisi keempat. New Jersey: Pearson Education, Inc.
           

Model, Rakyat, dan Budaya

Pada suatu konferensi yang dilakukan di Princeton, beberapa pemikir menuangkan pemikiran mereka mengenai folk models (model rakyat). Pemikiran-pemikiran terbagi atas dua kelompok (1) melanjutkan penyelidikan terhadap antropologi kognitif dalam rangka menangkap keunikan dari suatu dunia yang terkonstruksi oleh budaya, dan (2) mencari suatu model parsial, yang juga sistematis dari suatu domain tunggal.
            Pada konferensi itu, Lakoff dan Johnson mengangkat permasalahan tentang bagaimana suatu metafora yang sifatnya konvensional dapat membentuk suatu model yang paradigmatik. Selain itu ada juga terangkat masalah model tentang dunia yang mempunyai kecenderungan membentuk hubungan prototipe, yang sejalan juga dengan mekanisme metafora yang bersifat konvensional. Teori semantik, yang mengacu pada kajian prototipe, yang dirintis oleh Rosch, serta Berlin and Kay ini juga mengarah pada situasi ideal dari prototipe.
            Ketika berbicara tentang definisi folk models dan cultural, mau tidak mau harus melihay dari dua sudut pandang, yakni: (1) sharedness, seperti cerita rakyat yang turun temurun, (2) model-ness,  kemodelannya.
            Lebih lanjut, kalau kita bicara tentang model, yang pasti berbeda di setiap domain, kita bicara tentang konseptualisasi suatu masyarakat budaya akan berbagai hal dalam kehidupannya, seperti waktu, emosi, proses mental, dan sebagainya. Perbedaan model dari setiap budaya yang ada di dunia lebih menekankan kepada nilai yang berlaku di tempat tertentu dan juga pada penekanan mereka pada konseptualisasi mereka sebagai individu yang memiliki keunikan.



Pustaka Acuan
Holland, Dorothy dan Naomi Quinn. 1987. Cultural Model Language and Thought. Cambridge: Cambridge University Press

Makna dan Hubungan Antartanda

Ferdinand de Saussure meyakini bahwa objek-objek tertentu mendapatkan/memperoleh makna, kemudian menjadi tanda, dalam dua cara, (1) secara temporal atau spasial berhubungan dengan elemen (yang mirip) lainnya, dan (2) dengan cara dipahami sebagai oposisi dari elemen (yang mirip) lainnya, yang mungkin saja digunakan, tapi tidak pada kenyataannya. Tipe yang pertama dinamakan sintagmatik, sedangkan tipe kedua dinamakan paradigmatik.
            Saussure mendefinisikan hubungan sintagmatik sebagai hubungan langsung antarelemen. Dengan kata lain, sebuah kata memperoleh makna ketika didampingkan dengan kata lainnya. Sebagai contoh dalam kalimat I can’t draw a straight line without a ruler, makna kata line ditentukan oleh verba draw. Contoh lain dalam kalimat I can’t remember a single line of that poem, makna kata line ditentukan oleh kehadiran frase nominal of that poem. Hubungan paradigmatik merupakan hubungan oposisi. Makna yang dihadirkan dalam hubungan ini ditentukan oleh elemen lain atau tanda lain yang berada dalam sistem yang berbeda. Sebagai contoh, makna kata big pada kalimat Paul is a big man, baru dapat ditentukan ketika kita melihat elemen lain di luar kata big, yaitu tingkatan ukuran yang lain, seperti small atau great.
            Levi-Strauss melanjutkan pemikiran Saussure mengenai penentuan makna dengan metode penghadiran oposisi dan variasi lain yang mungkin muncul dalam satu kelas ke dalam studi antropologi kultural. Lebih lanjut, Ia menambahkan bahwa metode tersebut dapat diaplikasikan ke dalam sistem klasifikasi manapun, terutama terhadap sistem yang dapat dikarakterisasikan dengan oposisi biner. Dengan kata lain, makna suatu elemen ditentukan oleh oposisinya dengan elemen lain.
Secara umum kaum strukturalis memandang makna sebagai sesuatu yang secara potensial relevan terhadap cara manusia menginterpretasikan lingkungannya, termasuk tindakan orang lain. Layaknya kata, aksi atau tindakan manusia pun dapat dianalisis secara sintagmatik dan paradigmatik.  Sebagai contoh, tindakan menawarkan makanan, dapat dianalisis dari berbagai sisi, seperti (1) pada saat kapan makanan itu ditawarkan? (2) jenis makanan apa yang ditawarkan? Untuk dapat menginterpretasikan makna tawaran seperti tadi, kita harus mengetahui terlebih dahulu perbedaan-perbedaan yang relevan antara orang yang menawarkan makanan dan kita sendiri, objek yang ditawari makanan. Perbedaan tersebut juga meliputi hal-hal yang dianggap penting atau tidak penting oleh kedua belah pihak.
            Konsep makna sebagai hubungan antartanda telah digunakan dalam berbagai studi sistem komunikatif, terutama dalam bidang semiotik. Jakobson melihat hubungan sintagmatik dan paradigmatik dapat juga diaplikasikan untuk memahami berbagai fenomena secara mendasar, seperti aphasia (kehilangan kemampuan menggunakan kata-kata), karya seni verbal, novel-novel realis, lukisan, bahkan film. Sebagai contoh, dia beranggapan bahwa hubungan yang terlihat dalam karya seni Russian Lyrical Song adalah hubungan paradigmatik, karena Jakobson melihat kecenderungan penulis untuk memilih konstruksi metaforis dalam karyanya. Sementara, menurut Jakobson, Tolstoy lebih cenderung menggunakan hubungan sintagmatik dalam karya-karyanya. Hal itu terlihat dari pemilihan Tolstoy akan bentuk metonimik, seperti synecdoche.


Pustaka Acuan
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Kenneth Burke dan Identifikasi

Kenneth Burke telah menulis dalam berbagai bidang ilmu, termasuk penulisan kreatif, kritik sastra dan retorikal, psikologi sosial, dan analisis linguistik. Tanpa diragukan, Burke adalah seorang teorisi besar di antara teorisi simbol yang lain.
            Berkaitan dengan komunikasi, Burke melihat act ‘aksi/tindakan’ sebagai konsep dasar dalam sebuah kejadian. Selanjutnya, ia membedakan antara action dan motion. Action merupakan tindakan/tingkah laku yang memiliki tujuan atau disengaja, sedangkan motion merupakan tindakan-tindakan yang tak bertujuan dan tidak memiliki arti. Perlu diingat, hanya manusia yang memiliki kedua bentuk tersebut, sedangkan objek lain dan hewan hanya memiliki motion.
            Berdasarkan perilaku penggunaan simbol atau kemampuannya melakukan tindakan, manusia dipandang oleh Burke sebagai makhluk biologis dan neurologis. Lebih lanjut ia mendeskripsikan manusia/individu sebagai: (1) pencipta simbol (menggunakan simbol untuk memberi nama hal dan situasi tertentu), (2) pengguna simbol (menggunakan simbol untuk komunikasi), dan (3) penyalahguna simbol (menyalahgunakan simbol untuk merugikan diri sendiri).
            Salah satu hal yang membangkitkan minat Burke adalah nosi bahwa seseorang dapat menyimbolkan atau menandakan suatu simbol. Seseorang dapat membicarakan tentang tindak tutur, menulis tentang kata-kata, termasuk penulisan sejarah, yang merupakan penyimbolan dari sesuatu yang telah ditulis atau dikatakan pada waktu kejadian.
Menurut Burke, realitas dimediasikan oleh simbol-simbol. Ia sependapat dengan Mead bahwa bahasa berfungsi sebagai wahana untuk aksi/tindakan. Bahasa membentuk tingkah laku karena kebutuhan sosial manusia untuk berkooperasi dalam aksi/tindakannya.
Lebih lanjut, Burke melihat bahasa sebagai sesuatu yang dipenuhi oleh muatan emosional. Tidak ada satu kata pun yang bersifat netral. Sikap, penilaian, dan perasaan seseorang, tanpa kecuali, muncul/tampak dalam bahasa yang digunakannya.
Terma guilt ‘kesalahan’ bagi Burke adalah semua kata yang dapat digunakan untuk merujuk pada rasa tertekan dalam diri seseorang, seperti kegelisahan, malu, kebencian, dst. Lebih lanjut, guilt merupakan kondisi yang disebabkan oleh penggunaan simbol. Burke mengidentifikasi tiga sumber guilt, sebagai berikut, (1) sumber negatif; aturan-aturan religi, profesi, organisasi, keluarga, dan komunitas yang saling mempengaruhi dan terkadang bertumpangtindih, dapat menciptakan guilt. (2) prinsip-prinsip kesempurnaan; guilt muncul sebagai hasil dari ketidaksesuaian antara realitas dan keadaan yang ideal. (3) prinsip-prinsip hierarki; guilt dipengaruhi oleh adanya hierarki sosial yang ada. Menurut Burke, gulit merupakan motif utama di balik smua aksi dan komunikasi, manusia berkomunikasi untuk “membersihkan” guilt.
Istilah-istilah yang berkaitan dengan komunikasi, menurut Burke, antara lain (1) consubstantiality; substansi yang ada dalam setiap orang dalam tindak komunikasi saling meliputi/melengkapi, pada tingkat tertentu. Namun komunikasi yang sempurna mustahil dilakukan, mengingat sifat saling melengkapi tadi tidak pernah total. Komunikasi yang terjadi antarindividu yang berfungsi direktif untuk membagi substansi antarmereka dinamakan consubstantiality. (2) Identifikasi; secara umum pemahamannya mirip dengan consubstantiality. Kebalikan dari identifikasi adalah divisi. Divisi dan guilt yang dihasilkannya merupakan motif utama komunikasi. Melalui komunikasi, identifikasi meningkat, demikian juga shared meaning, sehingga meningkatkan pemahaman. Identifikasi dapat terencana/tidak terencana, dilakukan secara sadar/tidak sadar. Komunikasi dapat berjalan dengan sukses apabila identifikasi lebih besar dari divisi. Identifikasi dilihat dari tingkat penggunannya dalam komunikasi, dapat besar atau kecil, dapat juga meningkat atau menurun, bergantung dengan komunikator yang menggunakannya.
Tiga sumber pencocokan dari sebuah identifikasi, yang ada dalam setiap individu, (1) Material identification; berdasarkan barang-barang, kepemilikan, dan hal-hal lain. (2) Idealistic identification; berdasarkan ide/gagasan, sikap, perasaan, dan nilai. (3) Formal identification; berdasarkan pengaturan, bentuk, atau organisasi dari sebuah event.
            Metode dasar Burke untuk menganalisis events ‘kejadian-kejadian’, adalah dramatistic pentad, yang meliputi (1) act; tindakan yang dilakukan oleh komunikator. (2) scene; situasi atau setting pada saat aksi dilakukan. (3) agent; pelaku aksi/tindakan. (4) agency; alat atau wahana yang digunakan agent untuk melakukan aksinya. Meliputi saluran komunikasi, peralatan, institusi, strategi, atau pesan-pesan (5) purpose; alasan dilakukannya sebuah aksi, tujuan retorikal, efek yang diharapkan, hasil dari aksi.








Pustaka Acuan

Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. New Mexico: Wadsworth.  

Language and Science

Secara empiris, sebelum seseorang berbicara dan ketika seseorang mendengar ujaran seseorang, terjadi proses mental pada diri keduanya. Proses mental itu berupa proses menyusun kode semantis, kode gramatikal, kode fonologis pada pihak pembicara, dan proses memecahkan kode fonologis, gramatikal, dan kode semantis pada pihak pendengar. Dengan kata lain baik pada pihak pembicara maupun pendengar terjadi proses pemaknaan.         
Mengingat bahwa makna merupakan masalah pokok dalam komunikasi; dan karena komunikasi menjadi faktor yang amat penting dalam kehidupan, kebutuhan untuk memahami makna  menjadi amat penting. Hal tersebut tentu saja berlaku ketika kita, sebagai pendengar, berhadapan dengan orang lain yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda dengan kita. Dapat dipastikan bahwa akan ada beberapa kendala yang kita jumpai ketika kita melakukan tindak komunikasi dengannya. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan ‘kaca mata budaya’ yang digunakan oleh masing-masing individu untuk menglasifikasikan dan mengemukakan pengalamannya tentang dunia nyata ini melalui bahasa.. Tugas kita sebagai pendengar adalah tentu saja mengetahui makna bahasa dari kawan tutur kita, yang merupakan wujud dari proses berpikir, kognisi, dan konseptualisasi.
Untuk mengatasi kendala tersebut, ada beberapa cara yang dapat kita terapkan untuk dapat melihat dan memerikan apa yang orang lain tersebut lihat, percayai, rasakan dan pikirkan melalui ‘kaca mata budayanya’. Cara-cara itu antara lain adalah sebagai  berikut.
1.     Menjadi pendengar yang kreatif; artinya kita harus menjadi pendengar yang berusaha untuk memahami kreatifitas sesorang dalam mengungkapkan sesuatu melalui bahasanya. Karena sebuah bahasa, sama halnya dengan sebuah karya seni, merupakan pengungkapan ide dan pemikiran seseorang, tidak ada salahnya jika kita memperlakukan bahasa sebagai suatu karya seni, agar makna bahasa tersebut dapat lebih mudah terungkap. Tentu saja ada satu hal yang patut kita ingat terus bahwa pengungapan ide dan pemikiran seseorang sangat erat kaitannya dengan latar belakang budayanya. Oleh karena itu bahasa yang dia produksi tidak akan jauh dari kebiasaan hidupnya sehari-hari.
      Apa yang telah terpapar sebelumnya dapat kita lihat lebih jelas pada metafora. Menurut George Lakoff dan Mark Johnson dalam Metaphor We Live By (1980: 5), metafora adalah pemahaman dan pengalaman mengenai sebuah hal melalui sesuatu hal yang lain. Menurut mereka, “The esence of metaphor is understanding and experiencing one kind of thing in term of another.” Jadi seseorang memahami dan merasakan sesuatu yang baru melalui pemahamannya atas hal lain yang telah kita kenal sebelumnya.

2.   Mempelajari produk-produk budaya, seperti mitos, yang mengungkapkan kebenaran-kebenaran tertentu tentang suatu masyarakat. Hal ini sangat diperlukan mengingat bahwa terkadang anggota suatu masyarakat tidak dapat menyadari dan mengenali kebenaran-kebenaran tersebut. Mitos lebih dapat mengungkapkan esensi suatu budaya daripada pernyataan masyarakat setempat ketika mereka ditanyai mengenai budayanya. Suatu kelompok masyarakat dimungkinkan untuk tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkan dengan jelas apa yang melatarbelakangi perbuatan dan perilaku mereka sehari-hari, tetapi cerita-cerita rakyat, mitos, serta
     ekspresi mereka sehari-hari bisa mengungkapkan latar belakang tersebut dengan lebih jelas.

3.     Mempelajari konsep pemakaian bahasa yang berlaku dalam suatu masyarakat bahasa. Dari fenomena-fenomena budaya yang ada dalam suatu masyarakat, kita bisa mendapatkan petunjuk bagaimana  cara masyarakatnya memahami dunia nyata, untuk kemudian mengungkapkan pemahamannya tersebut melalui bahasanya.
John Lyons mengatakan bahwa: “the meaning of an expression is determined by, if not identical with, its use in the language”, yang artinya adalah bahwa makna sebuah ujaran ditentukan pemakaiannya dalam masyarakat bahasa (seperti dikutip oleh Parera, 2004: 48). Sebagai contoh, akan diambil satu frase yang memiliki unsur metaforis:
       Siti rupane ayu, mula dadi kembang desa
       ‘Siti parasnya cantik, oleh karena itu menjadi kembang desa’
makna dari frase kembang desa ditentukan oleh konteks pemakaiannya. Maksudnya pengalihan makna kembang  ke referennya, Siti, didasari oleh keperluan akan referen lain untuk menggambarkan keberadaan dan sifat dari manusia yang bernama Siti.

     Dengan memikirkan kembali konsep bahasa serta memahami bahasa sebagai suatu praktik komunikasi, akan sangat membantu kita untuk menentukan makna bahasa. Banyak cara untuk mencapai tujuan itu; ketiga cara tersebut di atas bisa kita terapkan. Namun perlu diingat, ketiga cara tersebut tidak akan menjadi maksimal apabila digunakan secara sendiri-sendiri, tetapi penggunaan ketiga cara tersebut secara bersamaan akan membantu kita untuk melakukan suatu penelitian antropologi linguistik.




Daftar Bacaan

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press

Lakoff, George dan Mark Johnson. 1980. Metaphor We Live By. Chicago: The University of Chicago Press

Parera, J.D. 2004. Teori Semantik (edisi ke-2). Jakarta: Erlangga

Boas dan Linguistik Relativisme

Tradisi Boas dalam antropologi linguistik kerap diasosiasikan dengan prinsip-prinsip relativitas linguistik; suatu ide yang berkenaan dengan perbedaan (relatifitas) kerangka lingustik yang dimiliki oleh para penutur bahasa dari bahasa-bahasa yang berbeda untuk merujuk pada referen-referen yang ada dalam pengalamannya sehari-hari dalam kehidupan. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari struktur dan sistem kategori gramatikal yang berbeda pula dalam setiap bahasa.
           Pemikiran Franz Boas, yang dilahirkan dan besar di Jerman, sangat dipengaruhi oleh para pelopor relativisme dari Jerman, yang berada di bawah bayang-bayang pemikiran Kant (termasuk pemikir di bawah bendera neo-Kantian). Salah satu pemikir yang memengaruhi pemikiran Boas adalah Johann Herder. Herder percaya bahwa relasi antara kognisi (pikiran) dan bahasa, bersifat saling bergantung dan mutual. Kognisi manusia terbatas dan termediasi oleh bahasanya. Selanjutnya, bagi Herder, pengalaman dan pemahaman manusia dalam kehidupannya sehari-hari berbeda dengan realitas bahasa, yang mewakili pengalaman dan pemahaman tersebut. Dengan kata lain, setiap bahasa dan setiap budaya merefleksikan dunia dengan cara tertentu, yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lainnya.

          Pemikiran Herder dikembangkan oleh Wilhem von Humboldt, yang menggabungkan prinsip kesemestaan dan relativisme. Selanjutnya ia berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah kerangka kognisi, yang menimbulkan pengaturan keseluruhan sensasi yang dihadirkan ke dalam indera manusia. Sama seperti Herder, Humboldt percaya bahwa kualitas mental suatu masyarakat dan budayanya menentukan bahasanya. Oleh karena itu, bahasa menentukan cara berpikir suatu masyarakat dan juga cara mereka untuk mengekspresikan realitas. Walaupun demikian, Humbold juga meyakini bahwa semua bahasa mempunyai kesemestaan properti. Artinya, setiap bahasa pasti memiliki nosi-nosi gramatikal yang sifatnya universal, seperti kelas kata, kasus, modalitas, dst. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, apabila suatu bahasa memiliki  keterbatasan dalam fitur-fitur tersebut di atas, bahasa itu tentu akan memilki cara untuk memasukkan konsep yang sifatnya universal itu ke dalam struktur gramatikalnya. Dengan demikian, setiap bahasa hanya dapat mengekspresikan sebagian dari keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada (istilah Himboldt untuk hal ini adalah Versuch). 
Sama seperti pendekatan yang dilakukan oleh para pemikir Kantian di era awal, Boas menitikberatkan studinya pada fungsi bahasa dalam mengorganisasikan pengalaman manusia dalam dunia, menekankan khususnya pada fungsi pengklasifikasian. Karena pengalaman individual manusia bervariasi, tetapi hanya dapat diekspresikan dengan leksem dan kategori gramatikal yang berbeda, maka klasifikasi pengalaman yang luas tadi harus dapat tercakup dalam setiap bahasa. Lebih lanjut, klasifikasi tadi sangat bervariasi dalam setiap bahasa. Sebagai contoh, verba konsumsi dalam bahasa Inggris dapat diklasifikasikan dalam berbagai leksem, seperti eat ‘makan’, drink ‘minum’, dan smoke ‘merokok’, sedangkan dalam bahasa Yimas, ketiga leksem tadi hanya diwakili oleh root  atau akar am-. dari contoh di atas dapat dilihat bahwa Boas menekankan studinya pada keberagaman kategori gramatikal lintas bahasa, terutama dengan cara mengontraskan kategori gramatikal bahasa. Contoh lain yang dapat dilihat adalah perbedaan yang terdapat di antara bahasa Inggris dan bahasa asli Amerika, Kwak’wala. Pada bahasa Inggris, kategori gramatikal yang umum digunakan adalah katakrifan, bilangan, kala, dan lain-lain. Kategori tersebut berbeda dengan bahasa Kwak’wala yang menggunakan visibilitas dan deiksis. Melalui pengontrasan bahasa seperti tadi, Boas mengembangkan pemikiran Humboldt, yaitu versuch, yang berkenaan dengan sifat bahasa yang hanya dapat mengekspresikan sebagian dari keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada. Variasi linguistik, seperti yang dapat dilihat pada contoh, menandakan bahwa setiap bahasa memiliki tendensi untuk memilih hanya beberapa konsep, yang sifatnya individual, dari keseluruhan konsep untuk diekspresikan melalui elemen-elemennya. Dengan kata lain, relasi antara bahasa dan pikiran bersifat searah; kategori linguistik dapat mengekspresikan (paling tidak sebagian) pemikiran, tapi tidak berlaku sebaliknya, kategori linguistik tidak menentukan pemikiran.e
Lebih lanjut, Boas meyakini bahwa ukuran kemampuan individual manusia tidak beragam sifatnya di seluruh dunia. Perbedaan-perbedaan kategori linguistik antarbahasa, yang bisa terlihat jelas, tidak merefleksikan perbedaan kognisi yang dimiliki oleh suatu masyarakat penuturnya, melainkan hanya refleksi dari perbedaan budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya. Agar lebih jelas, kita dapat melihat fenomena yang terjadi dalam masyarakat Papua, yang hanya memiliki tiga leksem untuk menyatakan tiga bilangan dasar. Fenomena tersebut tidak merefleksikan hal apapun yang berkaitan dengan kemampuan kognitif masyarakat Papua. Fenomena tersebut hanya merefleksikan budaya masyarakat Papua, yang tidak membutuhkan bilangan yang lebih besar dari tiga untuk menghitung obyek atau benda dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bahasa merupakan sarana pengekspresian dari pemikiran manusia. Sehingga dapat disimpulakan bahwa perbedaan kategori gramatikal yang dimiliki setiap bahasa merupakan refleksi dari perbedaan kultur yang dimiliki oleh penuturnya. Pemikiran Boas ini secara tidak langsung telah menggugurkan pemikiran versuch yang diusung oleh Humboldt. Artinya, Boas tidak setuju dengan Humboldt yang menyatakan bahwa setiap bahasa hanya dapat mengekspresikan sebagian dari keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada; karena keterbatasan kategori gramatikal tidak menandakan adanya keterbatasan kognisi, tetapi hanya merupakan refleksi dari keragaman budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat bahasa. Berkaitan dengan pemikiran Humboldt mengenai kesemestaan linguistik, Boas berpendapat bahwa kaidah kesemestaan tersebut hanya merupakan dampak dari kesatuan pandangan manusia terhadap suatu obyek.H
Hal penting lainnya yang dikemukakan oleh Boas adalah bahwa klasifikasi linguistik yang dilakukan manusia tersebut merupakan tindakan yang dilakukan secara tidak sadar dan beragam, bergantung pada budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat bahasa.  Boas mengaitkan pernyataan tersebut dengan keragaman table manner antarbudaya. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya terdapat alasan rasional yang terbentuk secara tidak sadar dalam kebudayaan mengenai kaidah tersebut. Misalnya apabila kita memakan daging dengan pisau, kita mungkin dapat melukai lidah kita. Pernyataan tersebut membawa pada kesimpulan bahwa makan dengan pisau merupakan hal yang tidak pantas. Boas menyatakan bahwa pembentukan kategori, linguistik atau etnography yang secara tidak sadar terjadi merupakan fakta yang mendasar kehidupan manusia. Penelitian mengenai kategroi linguistik merupakan hal yang penting karena kategori tersebut dapat menggambarkan bangunan budaya.                                 




 
Pusataka Acuan
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistic: An Introduction. Massachusets: Blackwell Publishers.


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

niken adiana wiradani soebarkah
perempuan sederhana yang masih selalu dalam proses belajar, dan sangat percaya akan kekuatan kasih.
Lihat profil lengkapku

Cari Blog Ini

Followers


Recent Comments