"Perjalanan/Kereta Malam"

Setelah mendengarkan beberapa karya emas mereka, menurut saya inilah balada terbaik yang "dilahirkan" Franky & Jane Sahilatua, duo kakak beradik yang belum ada tandingannya di ranah musik Indonesia (sekali lagi, menurut saya).

Sekadar opini awam kelas teri nasi dari saya yang semata-mata menikmati setiap harmonisasi sederhana namun lugas, yang terkandung di dalam lagu ini. Jelas jika opini ini jauh dari perspektif musikal ndakik-ndakik bin njlimêt (kelas kakap jumbo).

Saya harus berterimakasih pada sosok ibu Esther Soebarkah (ibu saya) yang pertama kali (dan cukup sering sesudahnya) membiarkan lagu ini terdengar secara ciamik di telinga saya melalui mini compo miliknya.

Tidak hanya balada Franky & Jane tetapi juga karya-karya apik dalam dan luar negeri, mulai dari keroncong, langgam-langgam Jawa, seri kaset cerita anak, seri kaset Wayang Kulit, dan juga lagu lainnya yang cukup hits pada waktunya (tentu saja menurut selera Ayah dan Ibu saya yang bisa dibilang biasa saja).

Adapun, alasan ibu saya menyetel mini componya hampir setiap pagi untuk saya amat sangat sederhana bahkan cenderung konyol. Bukan karena alasan supaya anak bungsunya terbiasa dengan berbagai genre musik atau agar saya bisa mengapresiasi karya seni secara baik dan benar. Bukan.
Hanya sekadar agar saya (saat itu belum usia sekolah) bisa duduk manis dan antêng setelah mandi, menikmati sarapan yang kadar kelezatan menunya tergantung dari tua/mudanya tanggal.

Percaya atau tidak, metode ibu saya ini teraplikasi sangat baik. Saya, yang biasanya coreng-moreng dengan lotion anti gatal biang keringat (baca: Caladine lotion, sungguh bukan iklan), bisa duduk manis mendengarkan lagu-lagu, sambil mengunyah cenderung memamah biak setiap menu sarapan yang disodorkan. Ibu saya? Ia bisa dengan lantjar djaya membereskan tugas-tugas kerumahtanggaannya tanpa gangguan usil seorang anak perempuan gendut yang menyebalkan (yakni: sahaya).

Alkisah, suatu hari, sekonyong-konyong dan mak bedunduk, bu Esther menyetelkan lagu berjudul "Perjalanan/ Kereta Malam" yang secara absolut membuat perhatian saya tersita sejak saat pertama kali mendengarkannya. Suara cempreng-merdunya Jane Sahilatua dan alunan musik bernuansa lirih dalam lagu ini sukses membuat saya mimblik-mimblik alias sedih. Apakah lirik lagu ini membuat saya juga merasa mellow-mellow marshmallow? IYA NGETZ!
Demikian liriknya:

Dengan kereta malam ku pulang sendiri
Mengikuti rasa rindu
Pada kampung halamanku
Pada ayah yang menunggu
Pada ibu yang mengasihiku

Duduk di hadapanku seorang ibu
Dengan wajah sendu, sendu kelabu
Penuh rasa haru ia menatapku (2x)
Seakan ingin memeluk diriku

Ia lalu bercerita tentang
Anak gadisnya yang telah tiada
Karena sakit dan tak terobati
Yang wajahnya mirip denganku

Belum lagi ditambah dengan suara mevrouw Esther yang terkadang lamat-lamat turut mendendangkannya. Suaranya, sih, biasa saja, tapi entah kenapa bisa membuat saya makin terseret ke nuansa kepedihan dan kesedihan lagu ini. Sadar atau tidak, lagu ini mengantarkan saya pada proses memaknai tema "kehilangan orang terkasih" sedari dini.

Setelah saya bertambah usia, seiring dengan cukup laknatnya deraan pengalaman "kehilangan" dalam hidup, semakin pula mantap memutuskan untuk tidak ragu menyatakan pada orang-orang terkasih, bahwa saya amat menghargai keberadaan mereka dalam hidup saya, lengkap dengan segala manis-pahit-getir yang mereka sertakan.

Mumpung masih diberi waktu oleh Yang Maha Kasih, dekaplah, peluklah, ciumlah, dukunglah, semangatilah, senyumilah, dan yang terpenting doakanlah orang-orang yang kita kasihi. Rayakan setiap pertemuan, syukuri setiap perpisahan, Maknai setiap kehilangan. Karena hidup senantiasa memberikan pengalaman "kehilangan" tanpa pertanggungjawaban. Bisa sekarang, besok, atau lusa.
Mengutip perkataan seorang kawan, "setabah apapun kamu, pertemuan adalah gerbang menuju perpisahan. Terima saja, bahagia ada untuk menjemput kesedihan."

Teriring salam dan doa yang niscaya bisa menghangatkan malam dingin ini. Semoga saja.

posted under | 0 Comments

Seklumit Tutur Penantian

Asa, kembalilah merasuki relung-relungku.
Aku rindu merasakan kobaran hangat percikmu.

Meranggas bak daun jati di musim kemarau, demikian kau pelan-pelan mengebaskanku.
Sejuntai harap masih kerap menyambangi, tapi percayalah, itupun tidak menyunggingkan kurva sempurna di bibirku.

Selarik tanya serta merta menggelayut, apa definisi bahagia?
Apakah pemeriannya harus segera dilakukan demi kembalinya dirimu secara segera, Asa?

Kuberitahu, Asa:
Perjumpaan selalu menyenangkan, walaupun syak wasangka masih turut campur.
Perjumpaan, reaksi atas tutur sapa semu tanpa tatap muka.
Perjumpaan, yang seketika menimbulkan rasa yang dulu pernah menjadi tamu tetap di batinku.

Inikah suatu markah yang kau kirimkan padaku, Asa?
Sasmita akan linimasa yang kunanti-nantikan, tidak lain tidak bukan, kehadiranmu kembali, Asa?
Sebongkah haru bernuansa ria seketika membuat kerongkonganku tersekat.
Percayalah, Asa, aku siap menyambutmu dengan pelukan hangat.
Karena itu, kembalilah.

"tidurlah dlm kebaikan, doaku menghangatkanmu"
Lugas dan sederhana.
Kuberitahu, Asa:
Sandimu itu menabuhkan tayub. Percayalah.

Di penghujung hari, mengolah rasa, menjalin tali temali pikir, bermuara pada jawaban.
Kebahagiaan adalah suatu bentuk keberanian.
Keberanian untuk melangkah gontai tanpa kehadiranmu.
Kebahagian tidaklah lebih dari suatu ingatan yang buruk.
Ingatanku yang buruk tentang hidup.

Perjumpaan dan perpisahan, sebatas anak rambut barangkali.
Oleh karena itu, Asa, kembalilah.

posted under | 0 Comments

Sekadar Menyampaikan Apa Yang Tak Sempat Terlisankan

19 September 2015
1 tahun, 2 bulan, 9 hari after you decided and declared that you're giving up on me, giving up on us.

19 September 2015, 09:48
Untuk pertama kalinya sejak lini masa itu, aku melihat punggungmu dari kejauhan. Untuk pertama kalinya jua setelah masa laknat itu, aku tepuk pelan pundakmu, pundak yang kutahu persis bentuk dan aromanya.
Kau menoleh, dan aku hanya bisa tersenyum.
Jangan kau tanya apa yang berkecamuk di dalam dadaku saat itu, stupaku.

1 September 2015
Kau menyapaku dan menanyakan kabarku.
Kau bertutur acak mengenai beberapa hal tentang hidup dan dunia kerjamu.
Bercakap dan bertukar ceritera, aksi yang sering kita lakukan bersama dulu. Ya, dulu.
Tak bisa kupungkiri, stupaku. Aku rindu aksi itu. Rindu percakapan acak kita tentang hidup dan kadang juga tentang kematian, yang kerap diselipi tawa bahkan bahak.

19 September 2015
Untuk pertama kalinya setelah beberapa lama, kudengar suaramu. Kulihat lagi senyum indah and sparkles in your eyes that never fail to brighten up my heart.
Harus kuakui, hal-hal itu masih menceriakan pranaku.

19 September 2015
Untuk pertama kalinya setelah aku melihat punggungmu menjauh pergi perlahan dari pandangku, aku merasakan bahagia. Bahagia bisa melihat sosok nyatamu persis di hadapanku.

Saat itu, saat kau melangkah gontai pergi, I was feeling so small, bahkan sampai saat ini.
It was over my head and my consciousness.


19 September 2015
Aku bahagia tapi tidak sepenuhnya.
Tenggorokanku tersekat menahan pedih yang tiba-tiba memutuskan untuk singgah di dalamku.
Just when i'm starting to crawl, to go out bravely in the rain, i got plummeted by a downpour.
Takdir tak bisa dihindari, barangkali.
Cynical? That's the way I am. Kau tau persis itu.

19 September 2015
Stupaku, kau terlihat sangat bahagia.
Maafkan aku karena tidak bisa dengan mudah mengenyahkan sesuatu yang begitu indah dari kepalaku, dari hatiku.

19 September 2015, 18:45
Aku memutuskan untuk pergi ke food court, duduk di tempat yang sama dengan tempat yang kita pilih waktu itu.
Aku putuskan untuk memesan menu makanan yang sama persis dengan menu yang kita lahap bahagia saat itu. Semangkuk bakso dan sepiring kecil sushi. Tak mewah memang, tapi aku bahagia saat itu.

19 September 2015
Aku tersadar bahwa rasa sakit itu tak akan hilang dan bahkan tinggal tetap.
Aku memutuskan untuk bahagia untuk kebahagiaanmu.
Aku memutuskan bahwa aku akan melakukan sesuatu yang akan membuat matamu tetap bersinar gilang gemintang.
Camkan ini, kau berharga dan aku akan selalu bangga padamu, bangga akan segala torehan yang sudah dan akan kau buat dalam lembaran hidupmu.
Janji padaku satu hal, stupaku. Jangan pernah lupa untuk bahagia.
I will swallow my pride, you're the one that i love, and I'm saying goodbye.

Salam hangat,
Kera buruk rupamu.

belum jelas warnamu

Satu masa telah lewat, paling tidak itulah yang terus ditanamkan si kera dalam batinnya.

tiba pada suatu waktu yang membuat kera harus meredefinisi makna hidup.
nayang magenta masih sekali dua kali menggelayut erat di pelupuk matanya. masih pula indah entah karena apa.

sapa hangat dan jahil ujaran yang prapti pada pagi itu seolah membuka singkap batin kera yang sudah terlanjur memagenta
apa lagi ini, Tuhan? tanyanya pada Sang Maha Hidup

songkok bahagia yang kupakai setiap waktu ini pasti akan terkulai menyerah pada akhirnya.
perlukah kubuat songkok baru?
jika pun harus membelinya, di tempat macam apa bisa kutemukannya?
tanya demi tanya meenyeruak dari dalam kepalanya

puntir.
bukan. pelintir. ujar si sapa jahil

mau kutitipkan salammu untuk stupamu itu? tanyanya usil

tua juga rupanya dirimu, kera! demikian seloroh yang kerap keluar dari binirnya

diskusi ringan hingga berat mulai diwacanakan si kera pada si jahil
dengan berat hati si kera lagi lagi harus mengakui bahwa ia mulai bermain di domain yang amat membuai rasa
belum jelas warna warninya, memang

satu hal yang pasti,
Inestimable. That's what you are


posted under | 0 Comments

From Zero to Hero

Konon, bangsa Mesir Kuno percaya bahwa sebelum memasuki pintu Surga, setiap mereka akan diberi dua pertanyaan, “Sudahkah menemukan kebahagian dalam hidup?” dan “Apakah hidupmu membawa kebahagian untuk sekitarmu?”
Pertanyaan pertama mungkin bisa dijawab dengan mudah melalui serentetan kejadian hidup yang jika dituliskan bias melebihi jarak Jakarta-Depok, misalnya. Tetapi menjawab pertanyaan kedua, setidaknya bagi saya dan mungkin sebagian besar manusia, bukkanlah perkara semudah menghitung jemari tangan dan kaki.

Kebahagian untuk sekitar, cakupannya cukup luas, bukan? Seluas-luasnya lima benua, jika kita punya niat dan usaha, pasti akan tereksplorasi dengan mudah dan tak ayal menyenangkan. Percaya atau tidak, itu yang saya rasakan.
Memberi makan dan mencukupi kebutuhan tujuh anak kaki empat di rumah saya, contohnya. Kerugian materi? Lebih dari cukup. Kelelahan fisik dan emosionil? Jangan ditanya. Tapi itu semua tidak terasa berat karena yang saya berikan untuk mereka belumlah cukup untuk menggantikan semua yang telah mereka berikan buat saya. Sebagian teman, kerabat, bahkan keluarga menganggap bahwa “memelihara” tujuh anak kaki empat tersebut merupakan keputusan terbodoh yang pernah saya buat dalam hidup. Seperti yang selama ini saya lakukan sampai sekarang setelah mendengar tanggapan seperti itu, saya hanya tersenyum seraya menjawab, “Saya bahagia dengan keputusan saya karena mereka mendatangkan kebahagian buat saya.”

Banyak hal dalam hidup memang tidak mudah terpahami. Tidak perlu memaksa diri untuk menyetujui tindak serupa, memahami pun sudah lebih dari cukup. Memahami bahwa kata others dalam kalimat “Treat OTHERS like the way you want to be treated”, mencakup semesta dan segala isinya.

Secara khusus, individu yang mau mengorbankan hidup dan penghidupannya untuk kebahagian pihak lain patut diberi label Hero alias pahlawan. Individu seperti Alberthine Endah, Melanie Soebono, dan Doni Herdaru Tona, sama perkasanya seperti ksatria berbaju zirah, walaupun mereka tidak memiliki atribut dan kesaktian yang kasat mata. Atribut mereka tidak lebih dari keberanian dan kasih tulus yang bias mengatasi segala perkara.

Pertanyaan selanjutnya, “Apakah kita bisa menjadi seorang pahlawan seperti mereka?’ TENTU SAJA!!! (3 exclamation mark memarkahi keyakinan saya)

Di sela kesibukan keseharian, kita masih bisa, kok, menunjukkan bahwa kita peduli kepada sekitar, kepada hewan-hewan domestik pada khususnya, misalnya:
1.   Mengikuti kegiatan komunitas pencinta satwa.
2.   Mendonasikan sebagian uang dan (atau) tenaga, atau keahlian sekecil apapun ke pihak-pihak yang peduli pada satwa.
3.   Membagikan informasi-informasi penting terkait kesejahteraan dan keselamatan satwa (baca: membagi tautan mengenai hewan domestic yang siap adopsi, butuh bantuan materi untuk makan dan kebutuhan medis, dll).
4.   Membuka mata teman dan kerabat serta mengajak mereka untuk ikut peduli pada satwa, melalui diskusi ringan, tulisan lepas di blog, atau sekadar status (retweet) di media social yang sudah sedemikan mudahnya diakses di manapun, kapanpun.
5.   Mengisi tas kita dengan sejumput-dua jumput cat food dan (atau) dog food untuk dapat diberikan kepada sohib kaki empat yang kita jumpai.


Contoh-contoh di atas baru sebagian kecil hal yang bisa kita lakukan untuk jadi seorang pahlawan. Tidak sulit, kok, asalkan kita punya niat. Sepele di mata kita sebagai manusia, tapi besar dampaknya buat hidup sobat satwa kita, khususnya hewan domestik yang masih banyak berkeliaran dengan segala penolakan dan deraan hidup yang demikian keras. Usaha sekecil apapun bisa meringankan penderitaan mereka dan memberikan kondisi lingkungan yang sesuai buat mereka. Kesejahteraan yang saya maksud merupakan Animal welfare yang mencakup:: freedom from hunger and thirst, freedom from thermal and physical discomfort, freedom from injury, disease and pain, freedom to express most normal pattern of behavior, dan freedom from fear and distresss.

Sudahkah membawa kebahagian untuk sekitarmu?
Sudah jadi pahlawan?
Resapi, maknai.


posted under | 3 Comments

Seklumit Tanya

Sejauh ia bisa mengingat, Kera buruk rupa tak pernah lalai dalam mendefinisikan keberadaan sesuatu yang kasat mata
Tapi kali ini ia sampai pada suatu linimasa yang mengaburkan pandang
Ada dan tiada hanya silap pandang, barangkali

Terbersit inginnya untuk mengajak savana magenta bicara mengenai hidup yang pasti akan bermuara pada kematian
Ingin pula ia bertanya, seperti apa kau ingin dikenang jika kelak kau sudah mati?

Kera buruk rupa akan menyahut dengan lantang, 
Aku ingin dikenang sebagai makhluk yang selalu memberikan senyum tulus pada semesta dan isinya. Camkan itu
Senyum, 1000 kata yang tak terlafalkan, barangkali

Terang yang menyambangi dini hari ini membisikkan suatu yang ngeri, bahwa savana magenta akan berangsur raib dari pandangnya
Kera buruk rupa hanya bisa tersenyum, tanpa punya keberanian menyimpan sesuatu yang bernama harap

Paling tidak aku tak menyimpan kepongahan untuk tidak menahan magenta memasuki pranaku, tak pula kusimpan kepongahan untuk tak merasa, demikian batinnya berkata

Yhi-or, maka terangpun jadi

Nanti, tak berapa lama berselang, sore akan tiba
Semoga savana magenta tak akan silap pandang
Sore, pamitnya mentari pada hari, barangkali

posted under | 0 Comments

Terkekeh dan Terbahak

Si kera terkekeh ketika menyadari bahwa dia sedang menyusun tembok kebodohan
Tembok yang terususun atas satu bata kebodohan demi bata kebodohan lainnya
Si kera semakin terbahak ketika menyadari bahwa dirinya pun sedang dan masih dikelilingi oleh nuansa magenta majestic yang semakin membodohinya
Pilihankah ini? Mungkin iya, mungkin pula tidak
Toh, savana magenta ini masih cukup luas untuk bisa menerima permainan ketidakwarasanku, demikian pikir si kera

Sedekap penuh ketakutan dan sebongkah rasa tak pantas masih digendongnya, ke mana pun ia pergi
Tak perlu heran, nampaknya ia memang terlahir dengan kedua hal itu sehingga bahunya selalu terlihat lelah
Masih dengan secarik kertas lusuh yang melekat pada telapak tangannya yang kasar namun hangat, si kera menaiki setiap bukit yang dia temui
Bukit berpasir atau berumput halus selalu meninggalkan kesan tersendiri di benaknya yang selalu ingin memeluk erat asa savana magenta

Secarik kertas lusuh bertuliskan "jalma sulaksana" yang memberi kuasa dalam dirinya untuk memberi, memberi, memberi, dan terus memberi.
Secarik kertas itu pula yang terus membuatnya ingin memurnakan dan sampai pada suatu prana keikhlasan yang cenderung utopis dan tak akan pernah maujud di kefanaan semesta

Magenta, akan kuajak kau merapalkan tulisan pada secarik kertas ini
Akan kuajak kau mengitari mengelilingi labirin dalam labirin yang telah kubuat

Suatu hari nanti akan jua kau sadari bahwa kau adalah bagian dari labirin labirin kebodohanku
Siapkan dirimu, karena waktu yang kumaksud akan segera tiba, tanpa bisa kau hindari
Sampai nanti tiba waktunya, mari terbahak

posted under | 0 Comments

sederhana saja

teringat ujaran seorang kawan
bahwa segala sesuatunya bisa disederhanakan
buat si kera, mencoba memahami savana magenta yang menggelepar gersang di depan pandangnya tak bisa jadi sederhana

mengais setiap inci tanahnya seperti percuma
malam berganti pagi menjadi siang berubah menjadi sore sampai malam datang menyerobok pun belum bisa menyederhanakannya

pagi tadi mampir sebuah tanya, mengapa jua masih hidup dan masih mau menembus pusaran di tengah yang tiada bermuara itu?
jawab si kera, tak tahu dan tak mau mencari jawabnya
yang dia tahu, penyederhanaan akan savana magenta yang tiada indahnya itu HARUS dilakukan

menggeliat pelan pertanda masih menghirup udara kehidupan
benar atau tidaknya usaha penyederhanaan ini lebih baik tidak dicari jawabnya, batin si kera

sampai nanti dia tiba di sebuah persimpangan yang menyajikan pilihan-pilihan yang laknat, si kera akan terus berusaha
menyederhanakan savana magenta yang menyeringai tanpa makna

sesederhana itu
prasaja saja

posted under | 0 Comments

warna kerinduan

berkayuh tanpa arah memang meletihkan
apa lacur jika sudah siap tanggung rugi sedari awal
suara pilu malam menebalkan keabuannya
sudah sepantasnya jika kerak nestapa dunia makin terdengar meringkih di bawah langit
semua letih mengayuh

titik yang berpusar di tengah savana bernuansa magenta menggontaikan langkah berat si kera buruk rupa
mengerenyitkan dahi nampaknya tak bisa dihindari
melulu tanpa ampun, si kera tertatih menapaki licinnya dasar yang dia pijak
kukuhkan teguhkan pijakanmu, kera
demikian sang nestapa berbisik. ini baru permulaan, katanya lagi

mengayuh atau bergelimpangan uzur termakan waktu
definisi kabur akan semua yang terjadi sudah jadi penunjuk arah yang membuat kera memutuskan untuk mengayuh dan mengayuh
demi apa dan siapa? tak akan terjawab
sampai purnama telah menjadi pucat pasi? tak ada yang bisa menyahut, memberi kepastian
sedari awal sudah ditetapkan, entah oleh kekuatan apa, bahwa kera harus siap dengan segala rasa mual yang hinggap di lambungnya

dan sekali lagi, warna sore mengejek dengan warna kebanggaannya, warna kerinduan

posted under | 0 Comments

Sesuatu Yang Tidak Butuh Penjelasan

Semenjak kepergian ayah saya -kurang lebih 14 tahun yang lalu- semarak menjelang sahur di lingkungan tempat saya tinggal selalu meninggalkan kesan tersendiri. Tetabuhan bedug dan hingar bingar dari TOA Mesjid selalu mengingatkan saya pada saat mobil ambulans membawa pulang ayah saya yang sudah terbujur dalam peti  jenazahnya. Tanpa ragu saya menyatakan bahwa ketidaknyamanan hinggap di perasaan saya ketika bunyi-bunyian itu mulai membahana.

Penjelasan logis akan hal itu telah saya dapatkan setelah saya membaca tulisan-tulisan yang membahas efek traumatis terhadap psikis seseorang yang pernah merasakan kehilangan seseorang yang cukup bermakna buat hidupnya. Sedapat mungkin saya mencoba untuk tidak “memanjakan” perasaan saya dan berusaha untuk menerapkan tips-tips yang tertera dalam tulisan sejenis agar saya dapat mulai perlahan-lahan menganggap momen semarak menjelang sahur itu menjadi momen yang “biasa” atau -paling tidak- menjadi momen yang tidak terlalu membawa dampak mood swing ke arah yang boleh dikatakan cukup gloomy. Namun, sekeras apapun saya mencoba, dampak yang tidak saya inginkan tersebut tetap menyambangi setiap Ramadhan tiba.
Sebagian kawan dan kerabat berpendapat bahwa ketidakikhlasan saya atas kepergian ayah saya lah yang membuat efek psikosomatis itu menjadi tamu tetap dalam kehidupan saya. But then again, siapa sih yang bisa ikhlas membiarkan seseorang yang sangat dikasihi pergi begitu saja dan tak kembali lagi? Sekadar pembelaan pribadi yang muncul dalam benak saya setiap pendapat sejenis mampir ke telinga saya.

Masih terkait dengan hingar bingar menjelang Sahur yang sudah saya singgung, masih ada beberapa hal lagi yang membawa efek yang “nggak yo’i” terhadap perasaan saya; di antaranya suara sirene ambulans dan atau sirene motor foraider yang kerap saya dengar di jalan-jalan yang saya lalui, suara bongkahan-bongkahan tanah yang menimpa peti jenazah saat prosesi pemakaman, suara cangkul/sekop yang mengenai tanah makam yang sedikit demi sedikit mulai menimbun raga yang tak lagi bernyawa, dan juga suasana tutup peti dalam suatu ibadah pelepasan di rumah duka, lengkap dengan suara isak tangis dan dendangan lagu-lagu yang menyertainya.
Satu hal yang pasti -mau tidak mau- suara-suara dan suasana semacam itu akan kerap saya jumpai selama saya masih jadi penduduk bumi yang menurut orang bijak, fana. Hal tersebut menuntut saya untuk -mau tidak mau- kembali  menganggap hal-hal tersebut menjadi suatu hal yang “biasa” atau hanya sebagai  een rimpel in dee ocean‘riak kecil di permukaan samudera luas’.  

Sampai saat ini saya telah menyaksikan bagaimana sang Kuasa bekerja dengan caraNya yang ajaib untuk memampukan saya mengatasi perasaan tidak nyaman setiap saya menjumpai hal-hal yang telah saya sebut tadi. Seiring dengan ketakjuban saya terhadap Kasih dan Kuat Kuasa yang hanya bersumber dariNya, saya juga memohon kepadaNya agar saya tidak perlu terlalu sering menghadapinya, at least tidak dalam waktu dekat.

Coretan ala kadarnya, yang kebetulan dibuat  bertepatan dengan HUT ayah saya yang ke-67 (Agustus 2011).


posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

niken adiana wiradani soebarkah
perempuan sederhana yang masih selalu dalam proses belajar, dan sangat percaya akan kekuatan kasih.
Lihat profil lengkapku

Cari Blog Ini

Followers


Recent Comments