Boas dan Linguistik Relativisme

Tradisi Boas dalam antropologi linguistik kerap diasosiasikan dengan prinsip-prinsip relativitas linguistik; suatu ide yang berkenaan dengan perbedaan (relatifitas) kerangka lingustik yang dimiliki oleh para penutur bahasa dari bahasa-bahasa yang berbeda untuk merujuk pada referen-referen yang ada dalam pengalamannya sehari-hari dalam kehidupan. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari struktur dan sistem kategori gramatikal yang berbeda pula dalam setiap bahasa.
           Pemikiran Franz Boas, yang dilahirkan dan besar di Jerman, sangat dipengaruhi oleh para pelopor relativisme dari Jerman, yang berada di bawah bayang-bayang pemikiran Kant (termasuk pemikir di bawah bendera neo-Kantian). Salah satu pemikir yang memengaruhi pemikiran Boas adalah Johann Herder. Herder percaya bahwa relasi antara kognisi (pikiran) dan bahasa, bersifat saling bergantung dan mutual. Kognisi manusia terbatas dan termediasi oleh bahasanya. Selanjutnya, bagi Herder, pengalaman dan pemahaman manusia dalam kehidupannya sehari-hari berbeda dengan realitas bahasa, yang mewakili pengalaman dan pemahaman tersebut. Dengan kata lain, setiap bahasa dan setiap budaya merefleksikan dunia dengan cara tertentu, yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lainnya.

          Pemikiran Herder dikembangkan oleh Wilhem von Humboldt, yang menggabungkan prinsip kesemestaan dan relativisme. Selanjutnya ia berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah kerangka kognisi, yang menimbulkan pengaturan keseluruhan sensasi yang dihadirkan ke dalam indera manusia. Sama seperti Herder, Humboldt percaya bahwa kualitas mental suatu masyarakat dan budayanya menentukan bahasanya. Oleh karena itu, bahasa menentukan cara berpikir suatu masyarakat dan juga cara mereka untuk mengekspresikan realitas. Walaupun demikian, Humbold juga meyakini bahwa semua bahasa mempunyai kesemestaan properti. Artinya, setiap bahasa pasti memiliki nosi-nosi gramatikal yang sifatnya universal, seperti kelas kata, kasus, modalitas, dst. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, apabila suatu bahasa memiliki  keterbatasan dalam fitur-fitur tersebut di atas, bahasa itu tentu akan memilki cara untuk memasukkan konsep yang sifatnya universal itu ke dalam struktur gramatikalnya. Dengan demikian, setiap bahasa hanya dapat mengekspresikan sebagian dari keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada (istilah Himboldt untuk hal ini adalah Versuch). 
Sama seperti pendekatan yang dilakukan oleh para pemikir Kantian di era awal, Boas menitikberatkan studinya pada fungsi bahasa dalam mengorganisasikan pengalaman manusia dalam dunia, menekankan khususnya pada fungsi pengklasifikasian. Karena pengalaman individual manusia bervariasi, tetapi hanya dapat diekspresikan dengan leksem dan kategori gramatikal yang berbeda, maka klasifikasi pengalaman yang luas tadi harus dapat tercakup dalam setiap bahasa. Lebih lanjut, klasifikasi tadi sangat bervariasi dalam setiap bahasa. Sebagai contoh, verba konsumsi dalam bahasa Inggris dapat diklasifikasikan dalam berbagai leksem, seperti eat ‘makan’, drink ‘minum’, dan smoke ‘merokok’, sedangkan dalam bahasa Yimas, ketiga leksem tadi hanya diwakili oleh root  atau akar am-. dari contoh di atas dapat dilihat bahwa Boas menekankan studinya pada keberagaman kategori gramatikal lintas bahasa, terutama dengan cara mengontraskan kategori gramatikal bahasa. Contoh lain yang dapat dilihat adalah perbedaan yang terdapat di antara bahasa Inggris dan bahasa asli Amerika, Kwak’wala. Pada bahasa Inggris, kategori gramatikal yang umum digunakan adalah katakrifan, bilangan, kala, dan lain-lain. Kategori tersebut berbeda dengan bahasa Kwak’wala yang menggunakan visibilitas dan deiksis. Melalui pengontrasan bahasa seperti tadi, Boas mengembangkan pemikiran Humboldt, yaitu versuch, yang berkenaan dengan sifat bahasa yang hanya dapat mengekspresikan sebagian dari keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada. Variasi linguistik, seperti yang dapat dilihat pada contoh, menandakan bahwa setiap bahasa memiliki tendensi untuk memilih hanya beberapa konsep, yang sifatnya individual, dari keseluruhan konsep untuk diekspresikan melalui elemen-elemennya. Dengan kata lain, relasi antara bahasa dan pikiran bersifat searah; kategori linguistik dapat mengekspresikan (paling tidak sebagian) pemikiran, tapi tidak berlaku sebaliknya, kategori linguistik tidak menentukan pemikiran.e
Lebih lanjut, Boas meyakini bahwa ukuran kemampuan individual manusia tidak beragam sifatnya di seluruh dunia. Perbedaan-perbedaan kategori linguistik antarbahasa, yang bisa terlihat jelas, tidak merefleksikan perbedaan kognisi yang dimiliki oleh suatu masyarakat penuturnya, melainkan hanya refleksi dari perbedaan budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya. Agar lebih jelas, kita dapat melihat fenomena yang terjadi dalam masyarakat Papua, yang hanya memiliki tiga leksem untuk menyatakan tiga bilangan dasar. Fenomena tersebut tidak merefleksikan hal apapun yang berkaitan dengan kemampuan kognitif masyarakat Papua. Fenomena tersebut hanya merefleksikan budaya masyarakat Papua, yang tidak membutuhkan bilangan yang lebih besar dari tiga untuk menghitung obyek atau benda dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bahasa merupakan sarana pengekspresian dari pemikiran manusia. Sehingga dapat disimpulakan bahwa perbedaan kategori gramatikal yang dimiliki setiap bahasa merupakan refleksi dari perbedaan kultur yang dimiliki oleh penuturnya. Pemikiran Boas ini secara tidak langsung telah menggugurkan pemikiran versuch yang diusung oleh Humboldt. Artinya, Boas tidak setuju dengan Humboldt yang menyatakan bahwa setiap bahasa hanya dapat mengekspresikan sebagian dari keseluruhan pemikiran atau konsep yang ada; karena keterbatasan kategori gramatikal tidak menandakan adanya keterbatasan kognisi, tetapi hanya merupakan refleksi dari keragaman budaya yang dimiliki oleh setiap masyarakat bahasa. Berkaitan dengan pemikiran Humboldt mengenai kesemestaan linguistik, Boas berpendapat bahwa kaidah kesemestaan tersebut hanya merupakan dampak dari kesatuan pandangan manusia terhadap suatu obyek.H
Hal penting lainnya yang dikemukakan oleh Boas adalah bahwa klasifikasi linguistik yang dilakukan manusia tersebut merupakan tindakan yang dilakukan secara tidak sadar dan beragam, bergantung pada budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat bahasa.  Boas mengaitkan pernyataan tersebut dengan keragaman table manner antarbudaya. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya terdapat alasan rasional yang terbentuk secara tidak sadar dalam kebudayaan mengenai kaidah tersebut. Misalnya apabila kita memakan daging dengan pisau, kita mungkin dapat melukai lidah kita. Pernyataan tersebut membawa pada kesimpulan bahwa makan dengan pisau merupakan hal yang tidak pantas. Boas menyatakan bahwa pembentukan kategori, linguistik atau etnography yang secara tidak sadar terjadi merupakan fakta yang mendasar kehidupan manusia. Penelitian mengenai kategroi linguistik merupakan hal yang penting karena kategori tersebut dapat menggambarkan bangunan budaya.                                 




 
Pusataka Acuan
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistic: An Introduction. Massachusets: Blackwell Publishers.


posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

niken adiana wiradani soebarkah
perempuan sederhana yang masih selalu dalam proses belajar, dan sangat percaya akan kekuatan kasih.
Lihat profil lengkapku

Cari Blog Ini

Followers


Recent Comments