Perempuan Bernama Suryati Purba

"Citra Pendidikan selanjutnya temanya tentang Valentine. Nah, kau bikin lah tulisan tentang itu. Lusa kau kasihkan ke aku." Kira-kira begitulah sepenggal kalimat imperatif yang dituturkan seorang Suryati Purba kepada saya di masa SMA.

Alm. Suryati Purba, sosok perempuan perkasa yang saya kagumi. Seorang guru Bahasa Indonesia yang bisa melihat saya yang "tak terlihat" pada waktu itu.

Dia perkasa karena bisa tetap mengajar seiring dia berjuang menghadapi kanker yang dideritanya. Tak jarang dia berkata bahwa dia masih cantik dan seksi walaupun kemoterapi membuat kulitnya menghitam. "Masih bisanya aku dapat daun muda, tapi kasian Bapak Abby (suami Bu Suryati) di rumah," katanya suatu kali pada saya sambil membetulkan letak wig di kepalanya.

Bisa dikatakan bahwa masa SMA adalah masa yang cukup muram buat saya. Memasuki masa di mana saya belum lama kehilangan Ayah. Segala sesuatunya serba tak menentu saat itu. Financially? Jangan ditanya. Saya kerap pergi atau pulang berjalan kaki dari Senen ke Tanah Abang atau sebaliknya karena tak ada ongkos. Mentally? Nyusruk. Insecure, low self esteem, dan ajektiva sejenis bisa dijejerkan di sini. Singkatnya saya adalah remaja yang "tak terlihat" oleh sekelilingnya. Prestasi akademis masuk kategori standar, prestasi sosial, nihil. Semacam burung unta yang terus membenamkan kepalanya di dalam tanah, lah, kira-kira.

Ibu Suryati, satu-satunya sosok yang bisa "melihat" saya. Suatu hal yang tidak dinyana-nyana kalau boleh jujur. Saat dia memerintahkan saya untuk menulis untuk koran sekolah saat itu, saya cuma bisa melongo dan berkata, "kenapa saya, bu?" Dengan tegas dia menjawab: "karena aku mau kau yang buat." Singkat dan tak terbantahkan.

Saya serahkan artikel yang dia kehendaki lusanya. Di ruang guru yang sepi saat itu, menjelang waktu pulang sekolah, Bu Suryati menyambar kertas yang saya sodorkan seraya berkata "tulisan-tulisan kau selama ini bagus. Kau kembangkanlah talenta kau itu. Biar ada bangga alm. bapakmu di sana." Dipandangnya lekat mata saya saat itu. Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih seraya pelan beringsut keluar.

Terima kasih, Bu Suryati. Selamanya engkau di hati.

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Followers


Recent Comments