etik vs emik

Terma etik dan emik sebenarnya muncul dari istilah linguistik, yang selanjutnya digunakan juga oleh peneliti budaya pada umumnya, yaitu fonemik dan fonetik. Fonemik merupakan metode penulisan bunyi bahasa menurut cara yang digunakan oleh si pemakai bahasa (penutur jati), sedangkan fonetik adalah sebaliknya, yakni metode penulisan bunyi bahasa menurut simbol-simbol bunyi bahasa yang telah dimiliki (ada) oleh peneliti (dalam hal ini, linguis). Pada cara yang kedua (fonetik), setiap bunyi yang membedakan arti akan ditulis dengan simbol yang berbeda. Misalkan saja kata wedi ‘takut’ dan wedhi ‘pasir’ yang masing-masing memiliki makna yang berbeda, ditulis dengan simbol berbeda. Simbol yang dipakai adalah simbol yang bisa dipahami secara universal (Fasold, 1994: 49). 
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa emik adalah suatu pendekatan yang diterapkan oleh seorang etnografer, yang mengacu kepada kaidah universal, menggunakan cara-cara (ancangan/teori) yang telah ditentukan (dimiliki) sebelumnya, seperti halnya kaidah fonetik. Sedangkan emik adalah adalah suatu pendekatan yang diterapkan oleh seorang etnografer, yang mengacu kepada kaidah/paham masyarakat budaya setempat (budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang sedang ia teliti), seperti halnya dalam kaidah fonemik. Jadi, singkatnya emik adalah pengkategorian fenomena budaya menurut warga setempat (pemilik budaya); dengan kata lain peneliti berdiri di dalam masyarakat yang ia teliti (observasi-partisipasi), sedangkan etik adalah kategori menurut peneliti dengan mengacu pada konsep-konsep/teori-teori sebelumnya; dengan kata lain, peneliti berdiri di luar masyarakat yang ia teliti. 
Dapat dikatakan bahwa emik merupakan deskripsi perilaku atau keyakinan, yang mempunyai makna bagi pelaku budaya itu sendiri. Dalam hal ini pelaku budaya tersebut dapat sadar mengenai makna perilaku dan keyakinannya, dapat pula tidak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa emik bersifat culture-spesific; dipandang sebagai praktik sosio-kultural belaka. Sedangkan dalam pendekatan emik, deskripsi perilaku atau keyakinan peneliti sangat dimungkinkan untuk turut mempengaruhi (diterapkan ke) kebudayaan yang ia teliti. Fasold menyatakan bahwa kedua pendekatan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam suatu penelitian etnografi komunikasi. Pertama-tama, seorang peneliti/etnografer harus melakukan pendekatan etik, dan kemudian setelah beberapa minggu/bulan, barulah data-data yang diperoleh dipilah-pilah berdasarkan makna emiknya (ibid: 49-50).
Sebagai contoh, mari kita lihat dua buah bentuk panyandra, salah satu bentuk ungkapan dalam bahasa Jawa, yang mendeskripsikan kecantikan (dilihat dari bentuk pinggang dan alis) seorang wanita Jawa, antara lain: bangkekane nawon kemit ‘pinggangnya seperti pinggang tawon kemit’, dan alise nanggal sepisan ‘alisnya seperti bulan pada tanggal satu setiap bulannya (Tahun Hijriyah)’. Dua bentuk panyandra tadi jika dideskripsikan secara emik, maknanya semata-mata hanyalah bahwa kecantikan seorang wanita Jawa dapat dilihat, paling tidak, dari dua referen pembanding, yaitu (1) bagian tengah tubuh binatang yang bernama tawon kemit (yang dianalogikan menyerupai pinggang manusia), yang ramping; (2) bentuk bulan saat menginjak hari pertama setiap bulannya (menurut penanggalan Tahun Hijriyah), yang agak tipis dan melengkung sempurna. Namun, jika dideskripsikan secara etik, kedua panyandara tadi memiliki makna lebih dari makna yang didapatkan melalui pendekatan emik. Hal itu disebabkan oleh karena pelaku budaya memandang panyandra sebagai bentuk praktik sosio-kultural, hanya sebagai bentuk ungkapan, yang merea terima apa adanya. Setelah pendekatan etik diikutsertakan, dapat terlihat bahwa kecantikan perempuan Jawa berkaitan erta dengan penghargaan/apresiasi orang Jawa sendiri terhadap alam sekitarnya. Orang jawa pada dasarnya mendambakan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos, dunia/alam sekitar dan dirinya sendiri, sehingga mereka menghindari segala bentuk penyalahgunaan alam sekitarnya, agar keselamatan mereka di dunia terjamin.

Pustaka Acuan
Fasold, Ralph. 1994. Sociolinguisticsof Language: Introduction to Sociolinguistics Volume II. Oxford: Blackwell Publishers.

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

niken adiana wiradani soebarkah
perempuan sederhana yang masih selalu dalam proses belajar, dan sangat percaya akan kekuatan kasih.
Lihat profil lengkapku

Cari Blog Ini

Followers


Recent Comments