Sifat Dasar Makna

Antropologi linguistik dapat dikatakan sebagai bentuk pencarian makna dalam praktik-praktik linguistik, yang berlaku dalam sistem yang lebih luas, yaitu praktik kultural. Dapat disimpulkan bahwa konsep makna merupakan dasar yang fundamental bagi bidang studi ini. Untuk memahami konsep makna, perhatikanlah contoh-contoh berikut:

  1. Those clouds mean rain
  2. Red means “stop!”
  3. What does “thespian” mean?
  4. I didn’t mean what I said
  5. I didn’t mean to say it; it just slipped up

Pada contoh-contoh di atas, kita dapat melihat perbedaan makna kata mean. Makna pertama (dapat dilihat pada contoh (1) dan (2)) merupakan ‘tanda atau indikasi menandai’. Namun makna ‘menandai’ tersebut berbeda antar contoh (1) dan (2). Pada contoh (1) relasi antara tanda (cloud) dan apa yang ditandai (rain) merupakan fakta intrinsik, dalam hal ini berlaku relasi kausalitas/efek, mengenai fenomena yang dapat ditemukan di dunia, bahwa awan hitam menyebabkan hujan. Pada contoh (2) tidak ditemukan fakta intrinsik atau natural, seperti yang ditemukan pada contoh (1). Relasi yang muncul pada contoh (2) antara penanda dan petanda, semata-mata hanyalah sebuah konvensi. Menurut terminologi tradisional dari ilmu semiotik, tipe tanda pada contoh (2) merupakan simbol, sementara pada contoh (1) merupakan indeks.
            
Makna kata mean dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat dilihat pada contoh (4) dan (5). Pada kedua contoh tersebut, kata mean bermakna ‘ingin’ atau ‘(ber)maksud’. Dengan demikian, pada contoh (4) kata mean bermakna ‘apa yang dikatakan penutur bukanlah sesuatu yang diinginkan, atau dimaksud olehnya’. Sementara pada contoh (5), kata mean bermakna ‘penutur tidak bermaksud/memiliki keinginan untuk menuturkan apa yang dituturkannya, tetapi ia tetap menuturkannya’.
            
Pada contoh (3) seakan berlaku dua makna kata mean, yaitu ‘untuk menandakan dan ‘mempunyai maksud atau (ber)maksud’. Kata thespian berarti sesuatu yang menandai suatu konsep, yang dapat kita parafrasekan sebagai aktor atau sebuah rujukan, suatu entitas dari dunia nyata. Untuk memahami pemaparan di atas, dapat kita lihat melalui penggunaan kata thespian dalam kalimat he was the greatest thespian of the century. Kata thespian dalam kalimat tersebut digunakan untuk menandai sesorang (he), dan penandaan dalam kalimat tersebut merupakan maksud penutur untuk merujuk he sebagai thespian.
            
Pengunaan dua makna pada kata mean dalam tindak linguistik secara eksplisit tertuang dalam tulisan klasik yang berjudul meaning yang ditulis oleh Grice (1971). Grice mendefinisikan pengertian penutur dengan menyatakan bahwa A bermakna X seperti pada kalimat “A bermaksud melalui tuturan untuk menghasilkan sejumlah dampak bagi pendengar karena kesadarannya akan maksud penutur.” Nosi ‘intend’ pada kata mean sangat transparan dalam definisi ini. Akan tetapi, nosi ‘signify’ secara implisit dalam hal X hanya dapat menghasilkan efek bagi pendengar sebagai perluasan, bahwa X menandai sesuatu. Keimplisitan ini merupakan salah satu kelemahan dari formulasi Grice, karena hal tersebut tidak membuat simbol, yang bersifat konvensional, dapat dikenali dengan jelas.
            
Sebagai contoh, sebagai jawaban atas ketidaksetujuan para akademisi atas keputusan akademis (memerlakukan suatu tes terhadap kesehatan jiwa para akademisi), misalnya, mereka akan mengatakan ugh ugh blugh blugh ugh blugh blugh. Berdasarkan formulasi Grice, para akademisi tersebut jelas memiliki maksud dengan mengutarakan tuturan itu, yaitu menghasilkan efek bagi para pendengarnya atau orang yang menanyakan tentang hal itu. Efek yang dimaksud adalah untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka kepada keputusan itu dan juga untuk menyingung perasaan si penanya. Walaupun demikian, ujaran tersebut tidak bermakna apapun jika tidak ada efek yang berlaku pada pendengar, sebagai reaksi terhadap ujaran. Hal tersebut dapat terjadi karena ujaran tersebut tidak dapat merujuk pada hal apapun. Dengan kata lain, ujaran tersebut gagal menyesuaikan diri dengan aturan-aturan perujukan (signifikasi) terhadap apapun dalam bahasa Inggris maupun bahasa lainnya.
            
Duranti (1988b) berpendapat bahwa makna terbentuk oleh karena adanya proses negosiasi dan interpretasi secara komunal, yang pada akhirnya akan dikonvensikan. Lebih lanjut, makna tidak dipandang sebagai sesuatu yang dikomunikasikan dengan orang lain, melainkan lebih dipandang sebagai sesuatu yang diciptakan atau dihadirkan seseorang dengan sesamanya. Berkaitan dengan hal tersebut, Bakhtin (1981, 1986) berpendapat bahwa ketika kita membentuk suatu makna, dalam sebuah relasi yang sedang berjalan dengan sesama, kita membawa serta pengetahuan linguistik serta pengetahuan budaya kita, yang kita dapatkan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.
            
Greetz (1973) dan para ahli antropologi lainnya mengemukakan bahwa nosi makna tidak hanya terbatas pada praktik-praktik linguistik saja, tetapi juga pada praktik-praktik budaya. Sebagai contoh, komunikasi nonverbal, seperti kedipan mata, mempunyai makna yang berbeda bagi setiap budaya.


Pusataka Acuan
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistic: An Introduction. Massachusets: Blackwell Publishers.

                

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

niken adiana wiradani soebarkah
perempuan sederhana yang masih selalu dalam proses belajar, dan sangat percaya akan kekuatan kasih.
Lihat profil lengkapku

Cari Blog Ini

Followers


Recent Comments