Nurani dalam Memaknai

Dalam transkrip yang beredar seputar ucapan Ahok di Pulau Pramuka tertulis,
"Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya. Karena Dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho (orang-orang tertawa). Itu hak bapak ibu, ya."

Saya kutip ujaran Ahok yang telah menimbulkan tafsir minor, “(Anda) dibohongin (orang) pakai surat Al Maidah 51 macem-macem..."

Kata Anda dan Orang di dalam tanda kurung memperjelas kata dibohongi sebagai kata kerja pasif.

Kata dalam tanda kurung juga memarkahi adanya subjek dalam ujaran tersebut. Di dalam konteks sebelumnya adalah bapak ibu sebagai subjeknya. Kata dibohongin merupakan predikatnya, dan Surat Al Maidah 51 adalah keterangan.

Anda >>> objek
dibohongin >>> predikat
orang >>> subjek
Surat Al Maidah >>> keterangan alat.

Jika ditelisik dari struktur kalimat saja, jelas Ahok tidak menitikberatkan pada surat Al Maidahnya, melainkan pada "orang" (yang membodohi) itu.

Apesnya keterangan alat yang dipakai oleh Ahok dalam kalimat itu adalah sesuatu yang "krusial", sehingga seolah-olah bisa disetarakan dengan kalimat : "Anda ditusuk memakai pisau". Artinya, fungsi pisau dan surat Al Maidah (dari sisi linguistik) adalah sama, sebagai alat atas suatu aktivitas yang dilakukan oleh subjek kepada objek.

Berdasarkan uraian sederhana itu, jelas jika bukan Al Maidahnya yang ditekan oleh Ahok. Selain itu jika ditelaah dari struktur kalimat itu pula, kita bisa memahami jika Ahok menyajikan polemik ini di tataran struktur kalimatnya saja.

Tak bisa dipungkiri, bahasa merambah ke segala aspek, baik gestur, strata sosial, paham, budaya, sampai pada intonasi dan kebiasaan, pun psikologi pemakainya. Setali dengan pernyataan tersebut, perlu digarisbawahi bahwa kebahasaan tidak bisa dipisahkan dari empat keterampilan berbahasa yakni membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Keempatnya merupakan unsur inti untuk bisa menjadi pemakai bahasa yang baik.

Apesnya lagi dalam polemik kalimat ini yang mengujarkan adalah seorang Ahok. Sosok yang memiliki potensi resistensi tinggi atas nuansa ras dan agama (khususnya Islam - ini fakta sosial di masyarakat, lho, bukan simpulan saya) bagi sebagian besar pemakai bahasa.
Ditambah dengan ramainya warna pilkada, pun beberapa tunggangan kepentingan.

Jika ternyata pendengar ujaran menganggap cukup dalam ranah pemahaman linguistik, artinya, selesai pula polemik makna ujaran itu di tataran pengujar, dan tidak akan melebar kemana-mana karena makna ujaran itu bisa tertangkap sama dalam pemahaman si pengujar.

Namun kenyataannya saat ini, dengan aksi pihak tertentu yang menggugat ke pihak yang berwenang, maka variabel-variabel di luar kebahasaan harus dituntaskan maknanya juga.

Sungguh besar harapan saya agar bangsa ini bisa meyelesaikan polemik ujaran Ahok ini dengan baik. Mengingat bahwa cara penyelesaian atas polemik ini bisa menjadi landasan tolak ukur kekayaan pemikiran bangsa, khususnya dalam melihat sebuah polemik kebahasaan yang bersinggungan dengan hal-hal yang krusial.

Bahasa adalah ibu dari segala ilmu. Sedemikian pentingnya sebuah bahasa, sehingga ada potensi
untuk berupaya menghilangkan bahkan menambahkan makna. Kepada nurani, akal sehat dan keyakinanlah kita bisa berpegang teguh dalam kejelian memaknai kembali wacana baru yang kerap bermunculan tanpa ampun.

Selamat memaknai dan selamat meyakini.
Jangan bangga jadi netral.
Salam damai, Indonesia.

petang berawan

waktu itu kau mengenakan senyuman
pikirku pasti kau bahagia karenaku
lalu aku kenakan juga senyum terbaikku
sebab berada di sisimu bahagiakanku

kemudian kau memasang langkah di kakiku
memasang ayun di tanganku
aku niscaya jauh dan merindukanmu

dan kau pun menyimpan sesuatu
di dalam ruangmu, di dalam waktumu, entah apa itu
begitulah yang kurasa dan kupikir di sini
dalam hiruk penuh sepi

setelah pertemuan pertamaku denganmu,
ku berhasil mencuri sehelai fotomu dari album
kusimpan rapat di dalam dompet kurusku
lalu melangkah tak tentu arah

dari dompetku itu selalu kudengar kau bernyanyi
lebih merdu dari music box pabrikan manapun
mengulang-ulang kata pulang dan madah riang
supaya kedua kakiku tetap kuat bertualang

petang ini kulayangkan tanya
apakah kau masih bahagia karenaku?
masihkah kau kenakan senyummu saat kau pulang nanti?

di antara awan-awan yang berarak
terselip langit biru
di atara langkah yang menyerak
alangkah rindu ku padamu

posted under | 0 Comments

Tak Seberapa

Memintai benang kusut
tak jadi soal buatku
Kusuka kerumitan yang bisa berjaya
lalu kuperlihatkan padamu
Lihat, aku sanggup.

Menapaki tanah berbatu dan curam
tak mau kuhindari
kalau itu bisa membuatku pulang padamu
hingga tiba waktunya ku tiba di hadapanmu
Lihat, aku sampai.

Menjaga dian di tepian beranda biar tetap menyala
tak kan membuatku terpekur
dengan gantang berisi minyak di sisiku
menari lincah di setapak berbunga
hingga kau berkenan menyambangi, ajak plesir
Lihat, semua ini untukmu.

(Tak seberapa, tulusku untukmu)

posted under | 0 Comments

Pemarkah Pulang

Seperti biasa
Malam ini kumadahkan nada-nada kesukaanmu
Kuletakkan nyala lilin di pinggir jendela
Keduanya kusiapkan sebagai pemarkah
Supaya setapak menuju rumah semakin jelas

... ku coba yakini, kau tak akan pernah lupa arah pulang
Pulanglah jika lelah
Setangkup roti dan kopi hangat;
Dekap rindu dan senyum terbaik siap menantimu di rumah



posted under | 0 Comments

Banggakah Kau Memiliki?

Kita sepasang isyarat
Yang saling menerka-nerka makna
Tak perlu bunga untuk menjadi tanda
Tak perlu perang untuk jadi petarung

Aku mencintaimu seperti malam kepada sunyinya

Kita sepasang isyarat
Yang menjalin ada dan ketiadaan
Waktu kehilangan jejaknya
Ruang tak bisa memutuskan
Di mana kita berada:
Pertemuan atau perpisahan

Aku merindukanmu seperti senja yang tak sabar menyapa bulan

Kita sepasang isyarat
Yang tak ingin musnah
Dalam hasrat penghabisan

Banggakah kau memiliki(ku)?

posted under | 0 Comments

jika saja

Jika suatu hari nanti, aku tak sanggup lagi
melambai-lambai pada kekosongan,
dalam baris-baris kata ini
telah kuhembuskan doa sebagai payung
bagi rindu-rindu yang hujan

posted under | 0 Comments

Siang dan Pilunya

Siang terik mengisahkan pilu
Pilu sang penabur rindu
Yang memohon pada waktu
Untuk tak berlari terlalu

Merengkuh hangatnya penuai rindu
Menyecap senyumnya
Berharap ia menoleh sejenak padaku
Yang tak penah lelah menabur
Penuai rindu, lihatlah
Aku di sini, bermadah dan menari
Hanya untukmu

posted under | 0 Comments

Pesan Singkat Rinai Hujan

Rinai hujan malam ini menyampaikan pesan
Tak berpanjang-panjang
"Penuai rindumu akan segera pulang."

Dia menjadi kalimat terindah yang pernah terdengar

Kuberitahu, menyiasati tumpah-ruahnya kegembiraan oleh karena kalimat itu tak mudah

Dia menjadi kalimat terpenting dalam sebuah ceritera yang tak pernah diterbitkan

Kuberitahu, sampai tiba harinya ku kan menunggu layaknya tanah kering yang merindu hujan

Dia adalah kalimat yang tak perlu sanggahan dan konfirmasi

Kuberitahu, tak ragu diriku akan kepulanganmu ke pelukanku

Dia akan menjadi suatu hari, entah esok atau satu dekade ke depan

Karena apa? Kuberitahu, karena dia ada.
Ada dan akan.

"Sampai jumpa lagi" kusemat erat-erat di penghujung malam ini

posted under | 0 Comments

Urap Jagung: Awal dari Tindakan yang Tak Pernah Mudah

                       

Tidak seperti yang diperkirakan, gas di rumah
memutuskan berhenti melakukan dayanya dengan anggun saat dia dibutuhkan. Minggu siang yang cukup terik, membuat saya malas untuk keluar rumah untuk menukar (membeli) tabung gas yang baru. Tapi apa daya, saya harus keluar menuju warung terdekat supaya keberlangsungan masakan sederhana saya bisa pungkas dan bisa dikonsumsi.

Malam sebelumnya, saya disuguhi beberapa unggahan di media sosial yang seperti kita tahu bisa sangat menyita perhatian dan waktu. Dari sekian banyak unggahan, beberapa membuat saya manyun-manyun sendiri. Di penghujung liburan kenaikan kelas, di saat dompet saya sudah dalam taraf "meraung" dan mengharuskan saya memaknai keprasajaan dengan indah, beberapa unggahan menggelitik saya untuk merajuk dan meminta pada Yang Kuasa untuk meluberkan pundi-pundi rezeki saya. Bagaimanapun, saya manusia biasa yang ingin plesiran, makan enak, dan menikmati liburan seperti orang kebanyakan. Tak dinyana, semua kedongkolan tersebut dijungkirbalikkan keesokan harinya.

Kembali ke Minggu siang yang terik itu, tibalah saya di depan warung. Berbekal uang seratus ribu rupiah yang terlipat rapi, yang sebelumnya saya selipkan dalam dompet untuk keadaan mendesak, saya jalani niat untuk menukar (membeli) tabung gas berwarna hijau mentereng yang saya butuhkan saat itu. Saat berbalik arah hendak kembali ke rumah, perhatian saya tersita oleh sebuah gerobak kecil beroda dua berwarna merah kuning yang saat itu sedang dikerumuni oleh sejumlah orang, tua, muda, dan anak-anak. Perut yang mulai memainkan musik destruktif pun mendorong saya untuk mendekati kerumunan tersebut. Sesosok pria yang tak lagi muda terlihat sibuk menyendok dan mewadahi butiran-butiran jagung yang kuning menggoda ke dalam bungkus plastik mika. Kemudian si Bapak menaburi parutan kelapa gurih dan gula pasir ke atas onggokan jagung tersebut dengan luwes dan lihai. Aha! Urap jagung yang kerap saya beli waktu saya kecil dulu ternyata masih bisa dijumpai, tersuguh cantik di depan saya.

Senyum lebar tersungging di bibir saya dan mengantrilah saya dengan manis menunggu giliran.
"Dua bungkus, Pak. Satu nggak pake gula, ya," ujar saya dengan mantap.

Dengan sigap si Bapak menyiapkan pesanan saya, lengkap dengan sepotong kecil janur yang Ia siapkan untuk digunakan sebagai sendok.
"Jadinya 10 ribu, neng," tukasnya saat rampung membungkus.
Seraya menyerahkan uang, saya memulai percakapan,
"Banyak juga ya, Pak, jagungnya."
"Iya, neng. Semua harus habis sebelum Maghrib." Ujarnya.
"Kalau tidak habis lalu bagaimana Pak?"
"Ya saya makan sendiri, neng. Buat makan malem. Kalau sisa banyak ya saya bagi ke tetangga. Daripada mubajir." Jawabnya seraya menyerahkan uang kembalian.

Tertohok dan tertampar adalah diksi yang paling tepat untuk mewakili perasaan saya saat itu. Bagaimana tidak, seorang Bapak tua yang hanya memiliki sejumlah uang dalam laci gerobak kecilnya mampu mensyukuri berkat bahkan memberi kepada sesamanya saat dagangannyaa sedang tidak menguntungkan. Ya, saya malu saat itu. Malu karena takluk pada kedongkolan saya malam sebelumnya.

Bapak penjual urap jagung dan sikap hidupnya membuat saya terperangah. Ia telah menjadi bukti nyata dari definisi kurang atau miskin yang pernah dituliskan oleh Romo Mangun (Y B Mangunwijaya): "Miskin masa kini sudah tidak lagi hanya soal kekurangan uang, akan tetapi karena tidak mahir membuat pemilihan-pemilihan."
Dengan kata lain, saya miskin atau tidak bahagia karena saya tidak mahir membuat pilihan. Dalam hal ini memilih untuk bersyukur.
Sah sudah, Bapak penjual urap jagung adalah manusia terkaya yang pernah saya jumpai dalam hidup.

Bersyukur. Sikap yang tidak dilahirkan dalam keberuntungan, barangkali. Tak mudah dilakukan, tak mudah dimaknai, tak mudah pula dipahami. Seiring berjalannya waktu dan tuntutan menjadi dewasa sebagai konsekuensinya, semakin saya tersadar bahwa hidup dan pilihan-pilihan di dalamnya adalah suatu sikap, dan tak kesemuanya harus dipahami oleh orang lain yang tiada bisa memahaminya.
Akhir kata pada diri sendiri, "Shame on You, Niken!"



posted under | 0 Comments

Tabur-tuai

Syahdan, perempuan berbekal harap tak lagi bisa menampung gumpalan rasa yang menyesaki dadanya.

Malam itu juga dia memutuskan untuk menyampaikan semua kesesakannya itu pada semesta, pada bulan dan bintang yang merendah, hampir tertusuk ilalang.
"Tiada guna pula jika hanya kusimpan. Sesak ini patut dirayakan," ujarnya dalam hati.

Tanpa keraguan, ditaburkannya semua esensi pembuat kesesakan yang dirasanya saat itu. Bekal harap yang selama ini tak jua habis telah bertambah sebagai konsekuensinya. Tak lain dan tak bukan bahwa semua esensi yang ditaburkannya pada tanah basah malam itu akan bertumbuh elok agar nanti si penuai rindu akan menatapnya, hangat dan erat dengan seringai lembutnya; untuk kemudian menuai semuanya dengan tiada takut dan ragu.

Kelak, saat si penuai rindu menuai semua esensi itu, perempuan penabur akan menuturkan terima kasihnya dengan sebuah madah yang merdu sarat makna yang mampu membuai prenjak yang berkicau centil mengakui bahwa pangkal dari tabur-tuai itu adalah sebuah rindu.

Ujung-ujungnya kesemuanya harus mengakui jika waktu tak akan pernah mampu membayar apa yang rindu kerjakan.

Jakarta, 12 Juli 2016
2: 07.


posted under | 0 Comments

Kisah di Hari Biasa



Beberapa hari yang lalu, anak-anak, kawan belajar saya, dihebohkan oleh kehadiran Moth (sejenis kupu-kupu) yang hinggap dengan anggunnya di pojok luar ruang kelas kami. Serta merta mereka menarik saya keluar kelas untuk berbagi ketakjuban mereka saat itu.

Setelah cukup puas menatap dan menandak-nandak atas reaksi kegembiraan mereka, kami pun kembali memasuki ruang kelas dan melanjutkan aktivitas. Tak ayal, kehebohan mereka tak berhenti begitu saja. Komentar terus berhamburan selama hari itu berlangsung. Tak sedikit dari mereka bahkan mengetahui fakta bahwa Moth mengalami metamorfosis seperti layaknya kupu-kupu.
Yang mengejutkan adalah ketika salah satu mereka berkata bahwa Moth tersebut hanya butuh waktu untuk hinggap sejenak dan beristirahat. Ia lelah karena harus terus berubah sampai ia bisa seindah itu.

Senyum kebanggaan merekah seketika.
Ya. Memang betul, nak.
Jangan berhenti berjuang, karena kepintasan dan ketergesa-gesaan hanya akan membuat kita menjadi manusia-manusia prematur. Yakinlah bahwa selalu ada makna dan keindahan dalam setiap peristiwa kehidupan, karena rasa sakit mustahil ditiadakan.

posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

niken adiana wiradani soebarkah
perempuan sederhana yang masih selalu dalam proses belajar, dan sangat percaya akan kekuatan kasih.
Lihat profil lengkapku

Cari Blog Ini

Followers


Recent Comments