Sesuatu Yang Tidak Butuh Penjelasan

Semenjak kepergian ayah saya -kurang lebih 14 tahun yang lalu- semarak menjelang sahur di lingkungan tempat saya tinggal selalu meninggalkan kesan tersendiri. Tetabuhan bedug dan hingar bingar dari TOA Mesjid selalu mengingatkan saya pada saat mobil ambulans membawa pulang ayah saya yang sudah terbujur dalam peti  jenazahnya. Tanpa ragu saya menyatakan bahwa ketidaknyamanan hinggap di perasaan saya ketika bunyi-bunyian itu mulai membahana.

Penjelasan logis akan hal itu telah saya dapatkan setelah saya membaca tulisan-tulisan yang membahas efek traumatis terhadap psikis seseorang yang pernah merasakan kehilangan seseorang yang cukup bermakna buat hidupnya. Sedapat mungkin saya mencoba untuk tidak “memanjakan” perasaan saya dan berusaha untuk menerapkan tips-tips yang tertera dalam tulisan sejenis agar saya dapat mulai perlahan-lahan menganggap momen semarak menjelang sahur itu menjadi momen yang “biasa” atau -paling tidak- menjadi momen yang tidak terlalu membawa dampak mood swing ke arah yang boleh dikatakan cukup gloomy. Namun, sekeras apapun saya mencoba, dampak yang tidak saya inginkan tersebut tetap menyambangi setiap Ramadhan tiba.
Sebagian kawan dan kerabat berpendapat bahwa ketidakikhlasan saya atas kepergian ayah saya lah yang membuat efek psikosomatis itu menjadi tamu tetap dalam kehidupan saya. But then again, siapa sih yang bisa ikhlas membiarkan seseorang yang sangat dikasihi pergi begitu saja dan tak kembali lagi? Sekadar pembelaan pribadi yang muncul dalam benak saya setiap pendapat sejenis mampir ke telinga saya.

Masih terkait dengan hingar bingar menjelang Sahur yang sudah saya singgung, masih ada beberapa hal lagi yang membawa efek yang “nggak yo’i” terhadap perasaan saya; di antaranya suara sirene ambulans dan atau sirene motor foraider yang kerap saya dengar di jalan-jalan yang saya lalui, suara bongkahan-bongkahan tanah yang menimpa peti jenazah saat prosesi pemakaman, suara cangkul/sekop yang mengenai tanah makam yang sedikit demi sedikit mulai menimbun raga yang tak lagi bernyawa, dan juga suasana tutup peti dalam suatu ibadah pelepasan di rumah duka, lengkap dengan suara isak tangis dan dendangan lagu-lagu yang menyertainya.
Satu hal yang pasti -mau tidak mau- suara-suara dan suasana semacam itu akan kerap saya jumpai selama saya masih jadi penduduk bumi yang menurut orang bijak, fana. Hal tersebut menuntut saya untuk -mau tidak mau- kembali  menganggap hal-hal tersebut menjadi suatu hal yang “biasa” atau hanya sebagai  een rimpel in dee ocean‘riak kecil di permukaan samudera luas’.  

Sampai saat ini saya telah menyaksikan bagaimana sang Kuasa bekerja dengan caraNya yang ajaib untuk memampukan saya mengatasi perasaan tidak nyaman setiap saya menjumpai hal-hal yang telah saya sebut tadi. Seiring dengan ketakjuban saya terhadap Kasih dan Kuat Kuasa yang hanya bersumber dariNya, saya juga memohon kepadaNya agar saya tidak perlu terlalu sering menghadapinya, at least tidak dalam waktu dekat.

Coretan ala kadarnya, yang kebetulan dibuat  bertepatan dengan HUT ayah saya yang ke-67 (Agustus 2011).


posted under | 0 Comments
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

niken adiana wiradani soebarkah
perempuan sederhana yang masih selalu dalam proses belajar, dan sangat percaya akan kekuatan kasih.
Lihat profil lengkapku

Cari Blog Ini

Followers


Recent Comments