Sikap terhadap Bahasa dan Kecakapan Berbahasa


Sikap terhadap bahasa secara umum, sifat dasar dan fungsinya, dapat dimungkinkan tergambar pada bentuk ekspresi kebahasaan dalam sebuah komunitas tutur. Sebagai contoh, hampir semua bahasa menganggap bahwa “inti” dari bahasa terletak pada lidah. Hal itu dapat dilihat dari bentuk-bentuk pepatah/ekspresi sbb: She has a sharp tongue, forked tongue, dsb. Bagian anatomi tubuh lain pun kerap dikaitkan dengan bahasa, seperti: he puts his foot in his mouth.
         Nilai dari silence  (tidak banyak bicara) tidak sama di setiap komunitas tutur. Hal itu kembali dapat dilihat dari bentuk-bentuk ekspresi yang menegaskan nilai tersebut, seperti: silence is golden, because of the mouththe fish dies, the squeacky wheel gets the grease, dst.
   Bagaimana sebuah bahasa dipakai dalam beragam komunitas tutur untuk mengkategorikan orang sesuai dengan cara bertutur dan karakter tuturan mereka, juga relevan secara etnografis; demikian juga halnya dengan persepsi tentang bagaimana kategori-kategori tadi diurutkan nilainya (value based). Sebagai contoh, bagi orang Inggris, nilai terendah untuk penutur bahasanya adalah mereka yang banyak bicara, yang mereka beri label braggart, gossip, big mouth, dst. Sedangkan yang memiliki nilai tinggi adalah penutur yang tidak banyak bicara. Berbeda halnya dengan penutur di Burundi, yang akan dinilai tinggi adalah penutur yang banyak bicara, dan sebaliknya akan dinilai rendah apabila penutur tidak banyak bicara.
         Konsep speaking well ‘cara berbicara yang baik’ untuk laki-laki dan perempuan juga bervariasi dalam sebuah komunitas tutur. Konsep tersebut bagi laki-laki Burundi terlihat pada laki-laki yang tidak banyak bicara, dan perempuan yang pendiam; namun hal sebaliknya terjadi pada penutur di Amerika.
        Sikap terhadap sifat dasar bahasa dan fungsinya dapat disimpulkan dari komentar yang bersifat mengejek terhadap suatu bahasa tertentu atau melebihi kebijakan yang dibuat untuk membatasi penggunaan bahasa tersebut. Misalnya pada kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1880-an, mengenai bahasa dan pendidikan masyarakat Indian. Kebijakan yang terkait dengan penggunaan bahasa Arab yang dianggap memiliki fungsi religi (suci) juga dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi, yang intinya adalah tidak memperbolehkan penggunaan bahasa Arab secara sembarangan.
         Komentar yang bersifat mengejek, yang ditujukan pada media tertentu juga dapat merefleksikan sikap seseorang atau kelompok tertentu terhadap suatu bahasa. Hal serupa dapat diperhatikan pada ekspresi keprihatinan terhadap kualitas tulisan akademis dan kefasihan berpidato, yang memperlihatkan kemampuan bahasa seorang akademisi. Pernyataan yang tidak lazim mengenai kebutahurufan juga merupakan suatu sikap terhadap bahasa dan fungsinya.  Misalnya dalam kasus perbudakan di Amerika Serikat, kebutahurufan para budak dianggap baik, agar mereka tidak terdorong untuk melakukan aksi berontak terhadap tuannya.
         Hal lain yang menjadi salah satu faktor perubahan sikap terhadap bahasa adalah perubahan teknologi. Seiring dengan kemajuan teknologi, maka penggunaan bahasa pun menjadi lebih bervariasi. Misalnya pidato yang ditayangkan televisi akan berbeda dengan pidato yang disampaikan langsung di depan khalayak umum. Lebih lanjut, kecakapan berbahasa seseorang dapat dilihat dari kualitas tuturannya, kemampuannya menggunakan simile, metafora, peribahasa, dan rima pada konteks yang tepat.

Pustaka Acuan:
Saville-Troike, Muriel. 2003. The Ethnography of Communication: An Introduction, 3rd ed. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.




Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

niken adiana wiradani soebarkah
perempuan sederhana yang masih selalu dalam proses belajar, dan sangat percaya akan kekuatan kasih.
Lihat profil lengkapku

Cari Blog Ini

Followers


Recent Comments