Mendefinisikan Bahasa


Keponakan laki-laki Brian Stross yang berumur sembilan tahun mendefinisikan bahasa sebagai “kata-kata dan cara kita mengikatnya dalam suatu bentuk dan melafalkannya untuk mengomunikasikan ide-ide.” Berkaitan dengan definisi keponakannya itu, Stross menekankan bahwa kata-kata merupakan elemen terpenting dalam bahasa, dan pelafalan serta pengkombinasian kata-kata tersebut dalam cara tertentu mengomunikasikan ide/gagasan.

Bahasa merupakan sistem makna yang simbolis. Arti dari nosi ini berkaitan erat dengan budaya; karena pada dasarnya, baik bahasa maupun budaya merupakan sebuah sistem yang memiliki simbol sebagai media dasar bagi seseorang untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Sebuah tanda memiliki dua aspek, yaitu
(1) bentuk yang menandai(significant/signifier) yang berfungsi sebagai wahana dari konsep, dan
(2) konsep/ide/gagasan, sebagai entitas yang ditandai (signifié/signified).
Secara umum, tanda dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Ø  Ikon, tanda yang memiliki kemiripan dengan konsep atau entitas yang ditandainya. Contoh: patung yang merepresentasikan seorang tokoh, gerakan memerah susu, dalam bahasa isyarat American Sign Language (ASL), yang berarti ‘susu’, onomatope atau tiruan bunyi (guk-guk, meong, byur, dst).
Ø  Indeks, tanda yang menginterpretasikan makna dari konteks dalam pertuturan. Artinya, indeks merepresentasikan suatu konsep/entitas berdasarkan situasi atau penggunaannya. Contoh: awan hitam sebagai tanda akan hujan, asap sebagai tanda adanya api. Penggunaan indeks sebagai wahana suatu konsep/entitas dalam bahasa sangat bergantung pada konteks personal dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Misalnya seorang yang terantuk sesuatu akan menuturkan beberapa kemungkinan bentuk bahasa, seperti “aduh!”, “ya ampun!”, atau “sial!”. Pronomina personal I dan you juga merupakan indeks yang menandai peran seorang penutur dan mitra tuturnya.
Ø  Simbol, tanda yang relasi antara bentuk dan maknanya bersifat konvensional; menekankan pada hubungan arbitrer antara bentuk tanda dan maknanya. Contoh: bel sebagai tanda dimulai atau diakhirinya suatu kelas, lampu lalu lintas, dst.





Pustaka Acuan

Casson, Ronald. 1981. Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.  

Dimensi Kontras


Menurut Leech (1974), fitur-fitur semantik terbagi menjadi beberapa tipe dimensi kontras, yakni: dimensi kontras biner, dimensi kontras berkelipatan, dimensi kontras tingkatan, dimensi kontras kutub (berlawanan), dan dimensi kontras relasional.
§ Dimensi kontras biner
Merupakan dimensi kontras yang sering terlihat. Kontras dalam tipe dimensi ini bersifat absolut. Dua kategori yang beroposisi dibedakan dalam cara yang ketat, seperti ya/tidak, either/or. Tidak ada batasan yang tidak jelas. Misalnya, dimensi kontras yang membedakan hamburger dan cheeseburger, adalah ada/tidak ada keju di dalamnya (+KEJU dan –KEJU; tanda + mengindikasikan kehadiran suatu atribut, sedangkan tanda – mengindikasikan hal sebaliknya, ketidakhadiran suatu atribut). Contoh dimensi kontras biner lainnya adalah mengenai jenis kelamin, yang biasa disimbolkan dengan +PRIA untuk jenis kelamin pria, dan –PRIA untuk jenis kelamin perempuan. Penggunaan kata PRIA dalam dimensi ini bersifat konvensional. Contoh lainnya adalah mengenai ketetapan hidup/mati suatu organisme, yang disimbolkan dengan +HIDUP atau –HIDUP.
§ Dimensi kontras berkelipatan
   Kontras dalam dimensi ini juga bersifat absolut, namun melibatkan lebih dari dua kategori oposisi. Dari sebuah kategori kontras, kategori bentuk misalnya, masih bisa didapatkan berbagai kategori kontras, misalnya kategori kontras bentuk bulat, kategori kontras bentuk panjang, kategori bentuk elips, dst. Perangkat kategori-kategori kontras dalam dimensi ini bersifat multiple atau berkelipatan. Tekstur dan warna adalah atribut lain yang dapat digunakan sebagai perangkat kategori kontras dalam dimensi ini. Penggunaan simbol untuk merepresentasikan dimensi ini bersifat arbiter atau mana suka.
§ Dimensi kontras tingkatan
Kontras dalam dimensi ini juga bersifat absolut seperi dua tipe dimensi sebelumnya. Tetapi selain itu, dimensi ini merujuk pada kaidah urutan/tingkat. Sebagai contoh, pada kategori tingkat kehidupan, kategori masa infancy (bayi) mempunyai fitur TINGKAT1, kategori masa kanak-kanak mempunyai fitur TINGKAT2, kategori dewasa mempunyai fitur TINGKAT3, dst. Dimensi generasi untuk menghitung jarak kekerabatan dalam suatu keluarga juga mempunyai fitur tingkatan, orang yang berkerabat dimasukkan ke dalam tingkatan sehingga dapat dibedakan dengan generasi di luar generasi orang itu, misalnya >GEN (untuk generasi sebelumnya), >GEN (untuk generasi sesudahnya), dan =GEN (untuk generasi yang sama). Dimensi kontras tingkatan menggunakan simbol kuantifikasi.
§ Dimensi kontras kutub (berlawanan)
Dimensi ini tidak merujuk pada atribut atau properti dari entitas yang dikelaskan melalui kategori kontras, seperti dalam dimensi-dimensi yang sudah diuraikan sebelumnya. Kategori oposisi dalam dimensi kutub ini dibedakan berdasarkan atribut relasional. ukuran adalah salah satu contoh; kategori yang dioposisikan dibedakan dengan tanda ↑UKURAN (besar) atau ↓UKURAN (kecil) dalam hubungan norma ukuran yang diberlakukan terhadap suatu objek. Misalnya ukuran sebuah semangka yang kecil akan menjadi ↓UKURAN (kecil), jika buah itu dibandingkan dengan ukuran buah semangka pada umumnya. Akan tetapi, buah semangka yang dianggap kecil tadi (karena ditetapkan ukurannya berdasarkan norma ukuran buahsemangka), akan menjadi ↑UKURAN (besar), jika dibandingkan dengan sebuah lobak. Dengan kata lain, penetapan ukuran suatu objek didasarkan atas norma ukuran yang berlaku. Contoh dimensi kontras kutub yang lain, adalah penetapan ↑USIA (tua) dan ↓USIA (muda), untuk fitur usia, dan ↑KAYA (kaya) dan ↓KAYA (miskin), untuk fitur kekayaan.
§ Dimesi kontras relasional
Dimensi kontras ini mengkontraskan kategori-kategori dengan dasar relasi oposisi antara dua entitas. Fitur pembeda antarhubungan terhadap dua entitas dihubungkan dengan rumus X ke Y, dan koneksi sebaliknya dihubungkan dengan rumus Y ke X. Satu contoh adalah relasi kontras pada tindakan beli/jual; dibedakan dengan lambang ←BELI (X membeli Y) dan →BELI (Y membeli X). Relasi lainnya antara entitas yang dirujuk yang dittetapkan sebagi fitur pembeda pada dimensi kontras relasional adalah sebagai berikut: →LEBIH TUA (lebih tua), dan ←LEBIH TUA (lebih muda); →MENGAJAR (guru), dan ←MENGAJAR (murid); →SEWA (tuan tanah/pemilik), dan ←SEWA (penyewa); →ORANG TUA (orang tua), dan ←ORANG TUA (anak).

MARKEDNESS
Nosi ini merupakan dasar untuk analisis komponensial, dan juga untuk area penelitian lain. Dalam oposisi marked-unmarked, anggota unmarked lebih bersifat umum, lebih menonjol, atau lebih sering muncul/terjadi daripada anggota marked. Pada kasus oposisi antara cheeseburger dan hamburger, cheeseburger berperan sebagai anggota unmarked, sedangkan hamburger adalah anggota marked. Faktor yang menjadikan kedua entitas tersebut berbeda adalah kehadiran/ketidakhadiran suatu atribut, akni keju (+KEJU atau -KEJU). Akan tetapi cheeseburger akan bersifat netral jika dispesifikasikan sebagai bagian dari superordinatnya, yakni burger.
      Demikian juga pada kasus oposisi long dan short., long berperan sebagai anggota unmarked (↑LENGTH), sedangkan short adalah anggota marked (↓LENGTH). Faktor pembedanya didasarkan atas norma ukuran panjang/jarak. Long akan bersifat/bernuansa  netral jika dispesifikasikan berdasarkan norma ukuran panjang/jarak. Nuansa kontras antara dua entitas itu diilustrasikan pada kalimat-kalimat berikut, the road is very long dan the road is very short. Sedangkan nuansa netral tampil pada kalimat seperti the road is 26 miles long. Perhatikan bahwa dimensi ukuran panjang/jarak tidak dapat diindikasikan dengan terma marked, seperti pada kalimat the road is 26 miles short.
      Analisis komponensial dapat diaplikasikan terhadap objek yang erat kaitannya dengan budaya, misalnya penelitian mengenai semantik kekerabatan yang telah dilakukan oleh Leech. Pada perkembangan selanjutnya pun, analisis komponensial dieksplorasi secara seksama pada studi terminologi kekerabatan, khususnya pada bahasa Inggris Amerika. Satu hal yang dijadikan perhatian pada studi-studi tersebut adalah bahwa analisis komponensial tidak dapat diapikasikan pada sembarang objek, walaupun objek tersebut erat kaitannya dengan budaya. Hal tersebut telah menjadi permasalahan bagi para pakar antropologi kognitif.

Relativitas dan Universalitas
Studi Leech mengenai analisis komponensial dan juga menganai terminologi kekerabatan dan terminologi warna merupakan sumbangan yang penting untuk kajian antropologi kognitif, karena sasaran dari studi Leech adalah untuk mengeksplorasi sifat dari semantik universal. Sejauh ini, penelitian mengenai sifat struktur kognitif dan prosesnya, masih dipengaruhi oleh hipotesis Sapir-Whorf, yang memfokuskan pada perihal relativitas kultural, yang sampai sekarang dianggap ekstrem. Hal yang sangat berpengaruh merupakan pemikiran Whorf yang menjelaskan bahwa kategori-kategori kognitif tidak dibentuk sebagai reaksi/respon terhadap divisi-divisi yang ada di alam atau terhadap properti universal dari pemikiran manusia, melainkan sebagai respon terhadap sistem organisasi gramatikal dan juga leksikal. Dan karena sistem gramatikal ditentukan oleh kesepakatan yang bersifat arbitrer dalam sebuah masyarakat bahasa, maka sistem kognitif diciptakan oleh sistem gramatikal yang sepenuhnya relatif dan idisinkratis terhadap suatu  bahasa. Dengan kata lain, sistem kognitif sepenuhnya bersifat relatif (sangat bergantung) kepada komunitas penutur bahasa tertentu. Pemikiran serupa juga dikemukakan oleh Sapir. Jika bahasa tidak dapat diukur atau tidak mempunyai ukuran yang umum, maka bahasa tidak dapat dibandingkan satu sama lain, dan terjemahan dari suatu bahasa dapat dikatakan tidak mungkin dilakukan.
      Hipotesis Sapir-Whorf bertentangan dengan para pemikir dalam paradigma universal. Floyd G. Lounsbury menyatakan bahwa fokus dari universalis adalah pada kesatuan psikis manusia dan pengalaman bersama; variabilitas bahasa dan kebudayaan diakuinya, namun fokus dari studi mereka adalah untuk menemukan konsep pokok/utama manusia. Konsep fundamental dan universal mendasari variabel superstruktur linguistik dan sistem kultural. Hadirnya pemukiran dari kalngan universalis, yang menekankan pada konsep utama/pokok, menyediakan peluang untuk kajian pengukuran bahasa, terkemahan, dan terjemahan, yang disangkal kehadirannya oleh kajian relativisme.
      Leech mengatakan bahwa beberapa pembeda teoretis merupakan dasar dari studi semantik universal. Distingsi yang pertama, yang dikemukakan oleh Chomsky, adalah antara Formal universals (bentuk bahasa memiliki karakteristik yang universal), dan Substantive universals (konten/isi bahasa memiliki karakteristik yang universal). Distingsi kedua adalah strong substantive universals, dan weak substative universals.

Klasifikasi warna
Berlin dan Kay pada buku mereka, Basic Color Terms: Their Universality and Evolution (1969), memaparkan beberapa simpulan atas studi mereka terhadap kesemestaan terma warna di setipa bahasa, yakni:
§ Terdapat kesemestaan kategori warna pada setiap bahasa di dunia, mencakup sebelas kategori, yaitu hitam, putih, merah, hijau, kuning, biru, coklat, ungu, merah jambu, jingga, dan abu-abu. Temuan mereka ini merupakan bukti adanya konsep utama/pokok pada setiap manusia.
§ Secara khusus, kategori warna pada setiap bahasa bervariasi jumlahnya, tapi kesebelas kategori tadi seluruhnya tercakup dalam variasi kategori yang bervariasi jumlahnya itu, berdasarkan dimensi corak, keterangan, dan kejenuhan.
§ Terdapat tujuh tingkatan warna, yang menyandikan  kesebelas kategori warna tadi, yaitu hitam dan putih pada tingkat pertama, merah pada tingkat kedua, hijau pada tingkat ketiga, kuning pada tingkat keempat, biru pada tingkat kelima, coklat pada tingkat keenam, ungu, merah jambu, jingga dan abu-abu pada tingkat ketujuh.
Temuan Berlin dan Kay mengenai kesemestaan kategori warna dan urutan penyandian kategori tersebut sering dijadikan dasar bantahan terhadap kaum relativisme. Lebih lanjut kesemestaan semantik dalam klasifikasi warna didasarkan pada kemapuan bawaan lahir yang dimiliki manusia atau merupakan proses neurofisiologis dalam persepsi manusia. Oleh karena itu alih-alih mengakui hipotesis Sapir-Whorf yang menekankan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran, kecenderungan yang terjadi justru penolakan terhadap hipotesis itu, dengan mengatakan bahwa pikiranlah yang mempengaruhi bahasa. Akan tetapi, Lucy dan Shweder tetap mengakui kebenaran dari hipotesis Sapir-Whorf, dan juga menganggap bahwa hipotesis itu lebih akurat dan berterima.
      Review Lucy dan Shweder terhadap studi Berlin dan Kay, difokuskan pada relasi antara bahasa dan pikiran, mengacu pada tradisi terdahulu mengenai rekognisi memori, yang menekankan bahwa klasifikasi warna berhubungan dengan pikiran manusia (rekognisi memori), dan juga bahwa penyandian linguistik dalam proses klasifikasi itu merupakan wahana bagi memori manusia.

Tingkat etnobiologis dan relativitas
Dougherty tidak mempertanyakan kesemestaan tingkat etnobiologis, tapi ia memperdebatkan perihal pentingnya keterlibatan relativitas untuk menentukan tingkat mana yang paling penting atau mendasar dalam suatu sistem klasifikasi etnobiologis. Kepentingan psikologis dari kategori-kategori dalam sebuah domain ditentukan oleh data behavioral. Kategori tingkat dasar dalam sebuah sistem klasifikasi merupakan kategori yang paling sering digunakan dalam interaksi sehari-hari, yang paling mudah diingat oleh informan, teridentifikasi oleh persepsi holistik, dan yang paling awal dalam perkembangan ontogenetis.
      Dougherty ingin menunjukkan bahwa saat taxa dari tingkatan generik adalah hal yang paling penting dalam sistem klasifikasi etnobiologis yang berlaku pada orang yang sering berinteraksi dengan lingkungan etnobiologisnya, dan pada orang yang menggantungkan penghidupannya secara langsung pada lingkungan itu, kategori superordinat pada tingkat generik merupakan hal yang paling penting dalam sistem yang berlaku pada orang yang tidak menjaga/mempertahankan interaksi tingkat tinggi dengan lingkungan etnobiologisnya. Lebih lanjut ia menekankan bahwa kategori fundamental tidak terbentuk begitu saja oleh karena bawaan lahir, tidak juga terbentuk oleh struktur linguistik, atau realitas objektif, melainkan keberadaannya berubah-ubah/bermacam-macam sesuai dengan tingkat interaksi dari anggota suatu masyarakat dengan entitas-entitas yang dikelaskan dalam domainnya.




Pustaka Acuan
Casson, Ronald. 1981. Language, Culture, and Cognition. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.

etik vs emik

Terma etik dan emik sebenarnya muncul dari istilah linguistik, yang selanjutnya digunakan juga oleh peneliti budaya pada umumnya, yaitu fonemik dan fonetik. Fonemik merupakan metode penulisan bunyi bahasa menurut cara yang digunakan oleh si pemakai bahasa (penutur jati), sedangkan fonetik adalah sebaliknya, yakni metode penulisan bunyi bahasa menurut simbol-simbol bunyi bahasa yang telah dimiliki (ada) oleh peneliti (dalam hal ini, linguis). Pada cara yang kedua (fonetik), setiap bunyi yang membedakan arti akan ditulis dengan simbol yang berbeda. Misalkan saja kata wedi ‘takut’ dan wedhi ‘pasir’ yang masing-masing memiliki makna yang berbeda, ditulis dengan simbol berbeda. Simbol yang dipakai adalah simbol yang bisa dipahami secara universal (Fasold, 1994: 49). 
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa emik adalah suatu pendekatan yang diterapkan oleh seorang etnografer, yang mengacu kepada kaidah universal, menggunakan cara-cara (ancangan/teori) yang telah ditentukan (dimiliki) sebelumnya, seperti halnya kaidah fonetik. Sedangkan emik adalah adalah suatu pendekatan yang diterapkan oleh seorang etnografer, yang mengacu kepada kaidah/paham masyarakat budaya setempat (budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang sedang ia teliti), seperti halnya dalam kaidah fonemik. Jadi, singkatnya emik adalah pengkategorian fenomena budaya menurut warga setempat (pemilik budaya); dengan kata lain peneliti berdiri di dalam masyarakat yang ia teliti (observasi-partisipasi), sedangkan etik adalah kategori menurut peneliti dengan mengacu pada konsep-konsep/teori-teori sebelumnya; dengan kata lain, peneliti berdiri di luar masyarakat yang ia teliti. 
Dapat dikatakan bahwa emik merupakan deskripsi perilaku atau keyakinan, yang mempunyai makna bagi pelaku budaya itu sendiri. Dalam hal ini pelaku budaya tersebut dapat sadar mengenai makna perilaku dan keyakinannya, dapat pula tidak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa emik bersifat culture-spesific; dipandang sebagai praktik sosio-kultural belaka. Sedangkan dalam pendekatan emik, deskripsi perilaku atau keyakinan peneliti sangat dimungkinkan untuk turut mempengaruhi (diterapkan ke) kebudayaan yang ia teliti. Fasold menyatakan bahwa kedua pendekatan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam suatu penelitian etnografi komunikasi. Pertama-tama, seorang peneliti/etnografer harus melakukan pendekatan etik, dan kemudian setelah beberapa minggu/bulan, barulah data-data yang diperoleh dipilah-pilah berdasarkan makna emiknya (ibid: 49-50).
Sebagai contoh, mari kita lihat dua buah bentuk panyandra, salah satu bentuk ungkapan dalam bahasa Jawa, yang mendeskripsikan kecantikan (dilihat dari bentuk pinggang dan alis) seorang wanita Jawa, antara lain: bangkekane nawon kemit ‘pinggangnya seperti pinggang tawon kemit’, dan alise nanggal sepisan ‘alisnya seperti bulan pada tanggal satu setiap bulannya (Tahun Hijriyah)’. Dua bentuk panyandra tadi jika dideskripsikan secara emik, maknanya semata-mata hanyalah bahwa kecantikan seorang wanita Jawa dapat dilihat, paling tidak, dari dua referen pembanding, yaitu (1) bagian tengah tubuh binatang yang bernama tawon kemit (yang dianalogikan menyerupai pinggang manusia), yang ramping; (2) bentuk bulan saat menginjak hari pertama setiap bulannya (menurut penanggalan Tahun Hijriyah), yang agak tipis dan melengkung sempurna. Namun, jika dideskripsikan secara etik, kedua panyandara tadi memiliki makna lebih dari makna yang didapatkan melalui pendekatan emik. Hal itu disebabkan oleh karena pelaku budaya memandang panyandra sebagai bentuk praktik sosio-kultural, hanya sebagai bentuk ungkapan, yang merea terima apa adanya. Setelah pendekatan etik diikutsertakan, dapat terlihat bahwa kecantikan perempuan Jawa berkaitan erta dengan penghargaan/apresiasi orang Jawa sendiri terhadap alam sekitarnya. Orang jawa pada dasarnya mendambakan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos, dunia/alam sekitar dan dirinya sendiri, sehingga mereka menghindari segala bentuk penyalahgunaan alam sekitarnya, agar keselamatan mereka di dunia terjamin.

Pustaka Acuan
Fasold, Ralph. 1994. Sociolinguisticsof Language: Introduction to Sociolinguistics Volume II. Oxford: Blackwell Publishers.

Bahasa, Masyarakat, dan Budaya


Bahasa mempunyai kaitan dengan masyarakat, kebudayaan, dan pikiran penuturnya, bahkan dengan dunia secara umum. Bahasa, lebih jauh, dapat pula dikatakan sebagai bentuk budaya manusia. Silverstein (Duranti, 1997:7) mengungkapkan bahwa kemungkinan gambaran-gambaran kebudayaan (masyarakat tertentu) tergantung pada sejauh mana bahasa masyarakat tersebut memungkinkan penuturnya mengujarkan apa yang dilakukan oleh kata dalam kehidupan sehari-hari. Para ahli antropologi yang mempunyai perhatian terhadap ihwal bahasa, seperti Boas, Malinowski, dan yang lain, berpendapat bahwa penafsiran bentuk, nilai, dan peristiwa budaya dilakukan dengan cermat melalui bahasa. Tanpa bahasa tidak akan ada peristiwa yang dapat dilaporkan.
Teori relativitas linguistik yang menjadi dasar perumusan hipotesis Sapir-Whorf mengungkapkan bahwa ada keberhubungan antara bahasa, budaya, dan pikiran manusia. Meskipun sebagian ahli keberatan dengan teori dan hipotesis itu, namun keberadaannya dalam khasanah teori linguistik, terutama dalam sosiolinguistik dan linguistik antropologi, cukup berpengaruh. Teori relativitas linguistik yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf menyatakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. Teori ini diperkuat oleh Sapir dan Whorf dengan menyatakan bahwa struktur bahasa, suatu yang digunakan secara terus menerus, mempengaruhi cara seseorang berpikir dan berprilaku.
Bahasa dapat dikatakan sebagai kemampuan manusia untuk berkomunikasi melalui penggunaan jenis tanda tertentu yang disusun dalam unit dan sistem tertentu pula. Menurut Foley (1997: 27–29), bahasa adalah sistem tanda dengan kaidah-kaidah penggabungannya. Prinsip-prinsip kaidah penggabungan tanda-tanda untuk membentuk kalimat itulah yang disebut tatabahasa bahasa yang bersangkutan. Lebih lanjut, dapat pula dikatakan bahwa bahasa merupakan wahana mendasar bagi manusia untuk melakukan kehidupan sosial. Sewaktu digunakan dalam konteks komunikasi, bahasa terikat dengan budaya secara berlapis dan rumit. Bahasa mengungkapkan kenyataan budaya; bahasa mewujudkan kenyataan budaya; dan bahasa melambangkan kenyataan budaya.
Manusia berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. Inilah gagasan dasar teori relativitas linguistik, yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf dalam kajian mereka tentang bahasa-bahasa Indian-Amerika. Pandangan Whorf mengenai adanya saling ketergantungan antara bahasa dengan pikiran dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis Sapir-Whorf lebih tegas menyatakan bahwa struktur bahasa, suatu yang digunakan secara terus menerus, mempengaruhi cara seseorang berpikir dan berprilaku. Bahasa dapat dikatakan sebagai bagian integral dari manusia – bahasa menyerap setiap pikiran dan cara penuturnya memandang dunianya.
Keberhubungan antara bahasa, masyarakat, dan kebudayaan terjadi secara berlapis, rumit, dan alami. Manusia dan kebudayaan adalah pasangan yang tidak terpisahkan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada budaya tanpa manusia, dan tidak ada manusia (lazimnya) tanpa budaya. Keberhubungan antara bahasa dan kebudayaan yang begitu erat terjadi pada tataran lahiriah dan batiniah dalam kehidupn manusia, termasuk dalam pemerolahan dan pembalajaran bahasa. Aspek kesantunan berbahasa termasuk bagian penting dalam peristiwa komunikasi verbal yang erat pula persentuhannya dengan kebudayaan masyarakat penuturnya. Rasa budaya dan rasa bahasa masyarakat tertentu terjadi secara alamiah melalui proses pemerolehan dan pembelajaran. Sehubungan dengan itu, Duranti (1997) mengatakan bahwa kebudayaan juga dipndang sebagai sesuatu yang dipelajari, dipindahkan, dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui tindakan manusia; keseringannya dalam bentuk interaksi langsung, dan tentu saja, melalui komunikasi linguistik. Dalam pemerolehan bahasa, alam dan budaya berinteraksi sedemikian rupa untuk menghasilkan kekhasan bahasa-bahasa manusia.
Kesantunan berbahasa merupakan sebagian kiat penting dalam berbahasa yang mendukung keberhasilan penyampaian pesan. Meskipun konsep kesantunan cukup abstrak dan berbeda sesuai dengan pandangan sosial-budaya serta pribadi tertentu, namun secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kesantunan berbahasa berkaitan dengan “penghormatan” (honorific) atau penempatan seseorang pada tempat “terhormat” (honor), atau sekurang-kurangnya menempatkan seseorang pada tempat yang diingininya. Yule (1998:60), misalnya, berpendapat bahwa kesantunan dalam interaksi (berbahasa) dapat didefinisikan sebagai kiat yang dipakai untuk memperlihatkan kepedulian terhadap citra-diri seseorang di tengah masyarakatnya. Wierzbicka (1994:69) menyatakan bahwa dalam masyarakat yang berbeda dan dalam komunitas yang berbeda, orang berbicara dengan cara yang berbeda. Perbedaan cara berbicara tersebut cukup dapat diamati dan sistematis. Perbedaan-perbedaan itu, di antaranya, menggambrakan nilai budaya yang ada di tengah masyarakat tertentu. Cara berbicara yang berbeda, gaya kominikatif yang berbeda, atau pilihan struktur kalimat (ujaran) yang berbeda mempunyai perbedaan kandungan nilai sosial-budaya, di samping nilai kebahasaan lainnya. Kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain.
Untuk dapat melihat keberhubungan antara bahasa, masyarakat, dan budaya, serta kaitannya dengan relativitas bahasa, kita dapat melihat pola kesantunan berbahasa dalam bahasa Jawa. Kesantunan dalam bahasa Jawa merujuk pada pilihan ragam “halus” (krama), dan ragam “kasar” (ngoko). Misalnya dalam kalimat imperatif dalam ragam ngoko, pilihan leksikal dan pola kalimatnya berbeda dengan ragam krama; memiliki kaidahnya masing-masing.  Mari kita bandingkan.
Ragam ngoko
            Mangana, dhisik. Mengko ndak lara.
            ‘makanlah dahulu. Kalau tidak, nanti bisa sakit.’
Ragam krama
            Panjenengan kula aturi dhahar rumiyin, supados mangke mboten gerah.
            ‘Anda saya persilahkan makan dahulu, supaya nanti tidak sakit.’ 

Pustaka Acuan
Duranti, Allessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
Yule, George. 1998. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
Wierzbicka, Anna. 1994. ‘Cultural Scripts: A New Approach to the Study of Cross-Cultural Communication’ dalam Putz, Martin. 1994. Language Contact and Language Conflicts. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

niken adiana wiradani soebarkah
perempuan sederhana yang masih selalu dalam proses belajar, dan sangat percaya akan kekuatan kasih.
Lihat profil lengkapku

Cari Blog Ini

Followers


Recent Comments