masihkah?

kekasihku,
walau sebetulnya ku enggan mengakui, tetapi ku harus berani menerima bahwa
akhirnya kita berdua telah sampai pada suatu linimasa,
periode yang telah lama kita ketahui akan menghampiri.

namun sebelum itu semua pupus dan musnah, tolong jawablah
apakah jari-jemarimu masih selembut beludru mengelus pipiku?
apakah tuturmu masih sehangat dulu, memintaku untuk beristirahat dan meminum teh manis hangat saat ku demam, seraya mengecup dahi dan membelai kepalaku?

kebetulan memang dulu kita pernah berdiri tegak bersama, berdampingan, di tepi tebing itu. tak mengindahkan angin kencang yang kerap mendera tubuh kita dengan berjuta nyeri.
tak ayal, kita pun pernah terduduk tenang, menikmati pancaran hangat mentari dan saling menyemburkan energi penuh keindahan milik kita masing-masimg agar melebur, meleleh dan melumuri keluguan kita dengan selaksa rasa.
pahit namun indah, dan tentu saja, tak pernah kusesali. semesta kita yang dulu itu masih tersimpan rapat. tempat terindah yang pernah ku sambangi.

kebetulan memang dulu kita tak perlu banyak bicara. desah lembut nafas kita yang tekadang mengadu dan memburu, serta detak degup jantung kita yang berdenyut berirama mampu ungkapkan semua yang tidak dapat dituturkan lewat bahasa mana pun. keringat kita  bersinergi mengejawantah menjadi sekelumit asa berbungkus canda ria yang serta merta membuai kealfaan dan kesilapan kita.

namun di atas segalanya itu, ku masih ingin menanyakan, masihkah?
semuram apa pun telah kau buat hari-hariku sekarang, ku tak pernah mau melepas mimpi dan harapan kita dulu. ia masih enggan beranjak dari pelukanku yang dalam dan sakit, di bawah langit biru yang sama, di atas tanah coklat yang sama, yang kita bagi bersama di semesta indah kita, somewhere only we know.

berhenti, cantik!

sorak sorai para sahabat dan keluarga terkasih
menyemangati
meyakinkan
bahwa aku berharga
aku pantas dicintai.

      masih saja
      blunder

bebal layaknya keledai
membuat ruam dan irisan di diri sendiri
masih saja

      aku merindukannya, masih ingin menantikannya pulang.

     kembali teriakan itu membahana
kami sangat menyayangimu
tidak ingin melihatmu semakin terpuruk
dan membangun tembok
yang tersusun atas kebodohan demi kebodohan.
     hargamu terlalu mahal untuk dia beli
dia tak patas tuk dapatkan cintamu
dirimu lebih dari perempuan itu.
kehilangan dan kesakitanmu sekarang akan berganti tawa riang dan sorak sorai nantinya.
kerahkan semua niat dan setiyarmu untuk jelang yang terbaik.

namun, masih, masih saja
blunder

tidakkah kau lelah, duduk di kursi goyang itu, senantiasa bergerak namun tak membawamu ke mana pun jua?
ya, aku lelah. sangat lelah.
sudah saatnya ini semua dihentikan.
berhenti!, kataku.

bisik hangatmu

malam beranjak
pagi menjelang
masih terngiang
jelas tanpa distorsi
masih terasa hangat
nafasmu di telingaku

saat bisik lembutmu bergulir tanpa jeda
     hujan pagi ini mengguyur hatiku
     dengan beribu asa, setia, dan cinta
             bila hujan reda, akan ku kirimkan
             pelangi hatiku ke indah matamu

terima kasih, kekasih
bisik hangatmu yang dulu itu
buatku buta, lengah, dan membiru

kelabu lusuh dan pedati


Toko tua menawarkan
Lelaki muda menyambangi
Kelabu lusuh yang ditawarkan
Kelabu lusuh itu pula yang dibeli lelaki muda
Dibuatnya jadi sejuta warna       
                Beratus pedati bermuatan kebahagiaan,
                Ditarik sepasang kebo bule
Kelabu lusuh mengaduh
Mengiba dibeli kembali
Sejak lelaki muda membuang dan makin mengoyakkan kelusuhan
Kelabunya.
                Beratus pedati bermuatan muram-durja,
                Ditarik sepasang kebo bule
                Terasa makin berat, seiring pudarnya kelabu lusuh itu.

pesut


Menggelepar-gelepar, butuh penawar
Akan kubeli semua tamba, jika ada yang menjual,
Yang dapat menambani tatu yang hadir karena
Rindu terdalam yang pernah ada.
                Ikan pesut buruk rupa
Kalah pamor dengan putri duyung
Cantik menawan

Menyeret, menyeret, membuai hatimu
Memesutkan kepesutanku yang pernah  memesutkan
Kepesutan hatimu.
                Tersisik, sisik demi sisik mengelupas
Megap-megap membelalak
Bisu, termangu-mangu
Coba tetap hargai kepesutanku

                Pesutnya, kau, pesutku
Keindahanmu begitu pesut
Kepesutanmu tak kan terganti
Hanya kau, pesut dalam samudera luasku.
                Kemolekan pesutmu, kelebat sirip pesutmu
Ingin selalu mencumbu dan merengkuhmu erat, wahai pesutku.
Kemarin, belum lama berlalu.

Sekarang, kepesutanku tidak lagi memesutkan.
Pesut yang memesut hanyalah pesut tanpa sisik yang tak ubahnya najis dalam samudera luasmu.

sine qua non

bergulung-gulung menyerbu
menyeringai penuh kemenangan
menjebak, perangkap lengket, dalam setiap gulungannya
mengikat, mengoyakkan
    datang, pergi, datang lagi
   berlari-lari menghindari
    namun tertangkap lagi, terpuruk, meringis perih
menyerbu, menyerosok penuh kebencian.
menertawakan kemalanganku, terbahak di atas kesedihanku.

awan hitam berkelebat miring, terbatuk-batuk
kelopak kelepak sayap matahati
lelah mengepak
mata
lelah mengedip
sayap

menggapai, melepaskan kungkungan sayap rusak
ngilu, getar, bergidik, mengernyit
getas, getun, gela, gelap

siapa yang tidak? apa yang mengganti?
siapa yang terganti?

bergumul, mengepul, menggelandang
dalam padang ilalangmu yang kini tajam sangat, matahari di semestaku.

nanar menatap berlian terindah
melompat ke dalam pelukan payudara perempuan pemangsa
bertubuh gigan, bergaun hitam mini berpotongan dada rendah,
memamerkan senyum manis licik, mengibaskan rambut belingnya yang membingkai wajah menang telak penuh kerlingan.

   sekat, lekat, menahan
berontak, tidak mau, tapi harus.
   MUNTAH.

menikmati mendekap berlian terindah yang dulu sempat punyaku, bukan lagi sine qua non
nikmatnya teriris tajamnya sisisisi berlian terindah itu, bukan lagi sine qua non.

    karena ku tidak kalah, tidak salah
meski kau merasa menang, benar.

kamadatu

apakah aku masih di dalam fase kamadatu?
serba-masih-ingin segalanya?
i don,t think so!

cakrawala yang menghindari setiap langkahku
membuatku terperangah dan tersadar,
jalanku makin hambar.

tapi aku percaya,adalah kasih tulus yang menari di sana,
saat kumelihat kelebat sosokmu dari kejauhan

saat ini aku tahu benar bahwa di hatimu
ada sebuah nama yang seribu kali lebih indah dan manis dari namaku
yang membuatmu bangga untuk pancarkan suryamu, yang dulu pernah untukku.

tapi tahukah kau?
aku seribu kali lebih bangga
untuk menyimpan namamu dalam loh hatiku, dan juga setiap bagian ingatanku,
tanpa perlu kulafazkan, lagi dan lagi.

kamadatukah itu?

endi keplokmu?

semalam, rumput tak lagi berbisik
daun-daun tak lagi menari

semalam, bidadari cantik
enggan menari, tertunduk lemah, terpekur sendiri

semalam yang ku tahu tentang aku,
kamu, kita, dia, kalian, mereka
siapa gerangan?
kumpulan orang menyeracau
gamang, gelimpang, gelimpung, puyeng-pikir-rasakan-sakit.

semalam, satu tituk cahaya meredup
byar-pet. tidak akan pet. berani jamin!
tetap akan byar, meski tak kan seterang dulu.

semalam, bumi dipijak serasa mati.
hawa moksa menyekat leher
kungkung, pasung, lepas lagi, pasung lagi, kungkung lagi.

namun satu yang pasti,
tak kan ku biarkan mereka bertepuk riang.

thorns

sosok penuh sinar tak ubahnya matahari
buatku kagum, setiap tatapku tak ingin pernah lepas
semua ku berikan tapa syak wasangka
there's no
Amount of reason
That could save me

       itu dulu. kabut sutera menyelubungi mataku.
hari ini.
kau tak ubahnya
piala berkilat-kilat yang arogan, chauvinist pig!

kalau boleh sejenak ku bertanya,
untuk apa semuanya ini dulu kau mulai?

         dalam hitungan detik keharuman mawarmu, yang dulu membuatku mengolah rasaku, menjelma menjadi  bau busuk yang menyergap, menebar ke seluruh penjuru.
ternyata, memang tajam durimu, cinjun.
tak pernah kukira akan setajam itu.

  tapi ku punya sesuatu yang lebih tajam dari durimu, yang mampu merobek dan memuntahkan isi perut,
buatmu rasakan sakitku tertusuk durimu.
mungkin aku bisa.
tapi aku tak mau.

oh tahe, bolu.

bertukar nafas saat kita berbaring berhadapan, menukar jiwa.
menautkan asa dan cinta.
      oh tahe, bolu.

berlari mengejar kereta tua yang hendak menghantarkan kita dan kepenatan kita menuju kota penuh sesak dengan jutaan ego menantang hari. tetap berlari riang gembira tak peduli aral panah karat menghadang.
           oh tahe, bolu.

menapaki jalan berwarna merah yang rindang dinaungi pepohonan di kanan kirinya, diiringi jangkrik dan dengkung kodok di malam hari bersahutan memanggil jiwa yang tersesat, sampai pada tempat kita melarung anak kita.
ya, yorkie, anak kita.
                    oh tahe, bolu.

menikmati sajian dunia seraya berlempar opini celotehan gerutu sindir , menyelami kritik spontan berarti, menertawakan susunan kebodohandemikebodohan sekitar kita.
                                 oh tahe bolu.
sadarkah kau, kau telah menjadi bagian dari kebodohan nista fana itu, yang dulu kerap kita tertawai?
                                                     oh tahe, bolu.

mengusap keringat simptom lelah tapi ingin tetap melaju ke depan menggiring angin menerjang riak-riak besarkecil.
                              oh tahe, bolu.

membuka dan mengeluarkan isi kotak cita kita. satu per satu. membahas apa yang akan kita jelang dan membersihkan permukaan lantai rumah kita, agar tidak melukai kaki lembut anak kita nanti. menyiapkan peraduannya agar aman dari segala ancaman.
                                                                                        oh tahe, bolu.

meletakkan kepala sejenak di bahumu, menyergap aroma tubuhmu, menikmati rengkuhmu, membiarkan hujaman rintik hujan basah menyentuh dan memeluk tubuh telanjang dan keliaran pikiran kita .
                                                          oh tahe, bolu.

kain batik sejuk dasterku dan kelembutan t-shirt lusuhmu telah melupakan suatu deklarasi
"mau. sampai kapan pun aku mau, bolu". yang kita bubuhi tanda materai tulus suci.
                                                                        oh tahe, bolu.

let me tell you one thing, bang.
time is the father of truth, and the experience is the mother of all things.
                                                                                          oh tahe, bolu.



4-4-2011, 15:48

tiada ujung

nanti, entah kapan, ku ingin kau menemuiku di sini. membiarkanmu memainkan jari jemarimu di padang ilalang luas, tempat kita biasa berlari lelah berpeluh, bahagia dengan cahaya berpendar lembut di atas bahu kepala kita.
patah
pecah
lemah
tak berdaya
embun pagi membasahi kaki kaki kita yang penuh keluguan terus mengulur dan menyulam benang warna-warni bernuansa cita asmara dan harapan.
hambur
luluh
lantak
kan kubiarkan kau memandangiku lekat penuh gelora seperti yang dulu kerap kau lakukan.
kan kubiarkan diriku terus memandangimu penuh kasih setia tulus yang sampai sekarang masih kusimpan hanya untukmu.
lukaiku dengan tangan telanjangmu pun aku rela. lukaiku dengan ketajaman ujung kata-katamu pun ku mau.
detak
detik
tatu
tatu
tamba
tolong izinkan aku menyesap sedikit dari intisarimu. sekali, mungkin dua kali. it never felt so nice. merasakan kulit kita saling bersentuhan. selaksa makna yang diberikan. gemuruh lembut memenuhi jiwa kita saat tubuh runcingmu menancap dalam di hatiku. membuatku tak ingin sekejap pun melepasmu.
patah
pecah
pilu
setiap penghuni dalam tubuhku yang mulai terasa renta ucapkan salam rindu tak berujung yang memenuhi katup katup katup logika mana pun. kuperingatkan kau, duri dari dalam diriku bisa melukai kita berdua. tapi kau tetap menghampiri, merengkuh, menggulung bagai ombak, menawarkan kehangatan dan kedamaian tak  terperi, bawaku semakin larut ke dalam pusaran lumpur penghisapmu yang tak kenal lelah menyeracau dengan teriakteriak kemenangan.
hisap
hasup
lena
harap
mimpi
seperti berada dalam air; kecup cium darimu penuh dengan hasrat tak berujung yang terusterusterus menggodaku untuk mengecapnya, walau hanya barang sedikit. sentuhan lembutmu itu yang kuperlu sekarang. usapusap penuh artimu itu yang kubutuh sekarang.
goda
jatuh
lagi
jatuh
lagi
jika kau tua nanti, tolong sambangi telaga peraduan rasa kita, tempat kita saling ucapkan janji setia, dengan tandatangan abadi yang hanya bisa dihapus waktu nan kejam. saat itu ku ingin kau ingat aku, bayangkan keutuhan diriku berada tepat di hadapanmu. pandangi lekatlekat sorot mataku, kemudian tuliskan pesan untukku. tak perlu panjang, pendek pun tak apa. tulis terus sampai kuberkata cukup. sebab kau belum jua tau bahwa kesucian janjiku kan kalahkan kekejian katakatamu. dan ku ingin kau percaya, tak ada ujungnya. tak ada ujungnya.
patahkan
pecahkan
hancurkan
tak ada ujungnya...

4-4-2011, 01:15

ucap selamat malam di gerbang coklat

angin dingin malam ini bertiup lembut di selasela kisi gerbang coklat.
seekor burung prenjak berkicau lirih di dahan pohon jambu,  tak jauh dari gerbang itu.
semua terekam indah dan jelas, tersusun atas jutaan titik lembut beraneka warna, layaknya karya pointillism.
seekor beruang polar menyergap burung prenjak; dia menangkap gelora yang sakit.
cerita hikayat indah sang prenjak berusaha direnggutnya dengan penuh paksaan.
getar juang prenjak merontokkan dedaunan dan kedegilan beruang polar.

seekor prenjak mengejang lemah dalam gulungan permadani malam berbintang.
angin dingin malam itu masih setia meniupkan dirinya, merasuk ke dalam suksma.
aura biru abuabu kelam malam takkan mampu merenggut prenjak dan beribu asa dan citanya.
di dunia yang berbeda pun sang prenjak akan tetap puguh.
prasaja dan legawa mencoba melewati setiap awan gelap.
tak lekang oleh detikdetik yang berlalu tiada ampun, dan ruang laknat yang tiada berakhir luasnya.

hangat kecup di kening dan bibir dari sang beruang polar masih tersa basah sampai sekarang.
dendang lagu pilu menyayat hati diiringi imla syair perih sang prenjak
mengatupkan pintu gerbang coklat penuh hasrat makna asa cita. tatkala sang beruang polar biasa mengucapkan selamat malam pada sang prenjak.
semuanya itu terkatup. tersekat di tenggorokan. rindu dendam yang tertahan.
malam pun tak kuasa menahan lelehan nanah di luka yang mulai menunjukkan tulang putih suci sang prenjak.
tak seorang pun bisa
bahkan kekelaman malam, dan terkatupnya pintu gerbang pun tak bisa.
ini milikku, ucap sang prenjak.
ucapkan sekali lagi padaku, ucap selamat malam yang bangkitkan gemuruh kicauku sepanjang ku hidup.

4-4-2011, 00:04

SOKRASANA dan SUMANTRI


SOKRASANA dan SUMANTRI

Hari ini langit menunjukkan kemuramannya, mendung. Angin dingin bertiup lembut di sela-sela pepohonan. Burung-burung berkicau lirih. Seisi hutan belantara seakan tahu bahwa sahabat mereka, Sokrasana, sedang bersedih. Di tengah daun-daun yang berguguran, di situlah Sokrasana mengayunkan langkah kakinya yang timpang. Punggungnya yang bungkuk dan tangannya yang pengkor bergerak seirama. Sudah sebulan lebih Sumantri tidak datang ke hutan ini, dan Sokrasana tidak tahu apa sebabnya.
                Hari ini, rasa yang kerap datang ke sanubari Sokrasana kembali menyiksanya. Rasa yang hampir membuatnya putus asa. Rasa tidak berharga, tidak lengkap, dan tidak pantas untuk hidup serta dicintai. Biasanya kehadiran Sumantri, kakaknya, selalumembuat rasa itu enggan mucul. Entah bagaimana, Sumantri tidak pernah gagal menceriakan hari-harinya. Saat bersamanya, Sokrasana lupa akan keterpurukannya. Kepergian Sumantri yang begitu tiba-tiba meninggalkan berjuta pertanyaan, segumpal besar sepi, dan seonggok besar ratapan kesedihan. Seketika itu juga, kerongkongan Sokrasana terasa tersekat, kemudian tanpa disadarinya, air mata telah membasahi pipinya yang penuh bopeng.
                Sementara itu, jauh dari tempat Sokrasana berada, di kerajaan Maespati, Sumantri tengah bermegah. Dia berhasil mewujudkan impiannya selama ini. Dia mengabdi kepada raja yang tak terkalahkan kesaktiannya oleh siapa pun. Tugas dari Sang Prabu Maespati, Arjunasasrabahu, telah diembannya dengan sangat baik. Sumantri telah berhasil memboyong Dewi Citrawati dan Dewi Magada ke Maespati, untuk dijadikan permaisuri Sang Prabu Arjunasasrabahu.
                Kepuasan dan kebanggaan meraja di hati Sumantri. Terlebih karena kedudukannya saat ini. Karena kepiawaiannya mengemban titah, Prabu Arjunasasrabahu mengangakat Sumantri sebagai orang yang paling dipercayainya. Sumantri yang berparas rupawan, bertubuh tinggi dan tegap, telah diakui sebagai seorang ksatria oleh seluruh Maespati. Namun sayangnya, ada suatu hal yang tidak dimiliki Sumantri, yakni cinta tulus setia tanpa pamrih; satu hal yang dimiliki Sokrasana.
                Di tempat Sumantri berada sekarang, keadaanya sungguh berbeda dengan Sokrasana. Dinding ruangan yang ditempatinya di Istana Maespati begitu tebal, mampu menahan terpaan angin dingin, yang sejak kemarin tidak berhenti bertiup. Tiba-tiba saja Sumantri teringat akan adiknya, adik semata wayangnya. Apakah Sokrasana baik-baik saja? Mungkinkah dia dapat bertahan tanpa kehadiranku? apakah dia mengingatku dan bersedih hati? Apakah terpaan cuaca yang tak kenal ampun ini membuatnya jatuh sakit, lemah tak berdaya?
                Ah... andai saja Resi Suwandageni, ayah mereka, tidak membuang Sokrasana ke hutan pada waktu itu, mungkin saja benak Sumantri akan lebih tenang saat ini.
                Kalau Sumantri dapat memilih, dia tak mau lagi mengingat peristiwa menyakitkan itu. Saat ia dan Resi Suwandageni untuk pertama kalinya, meninggalkan Sokrasana di hutan lebat itu. Tangis Sokrasana pecah saat itu, membahana, merayap ke seluruh pelosok hutan. Suara parau dan isak tangisnya yang seakan tidak akan berhenti mampu menembus ribuan pohon yang ada; seolah membuntuti setiap langkah Sumantri yang melangkah cepat menjauhinya. “aku aja ditinggal ning kene, kakang!!!” raungnya pada saat itu.
                Tahun demi tahun telah terlewati. Namun rasa yang menyayat hati itu masih muncul setiap kali Sumantri mengingatnya. Ketika Sumantri bertanya pada ayahnya mengenai alasan di balik tindak pembuangan Sokrasana, ayahnya hanya menjawab pelan seolah tanpa rasa bersalah, “aku iki resi, le. Aku ora pantes nduwe anak kaya adhimu kae. Aku isin, le. Isin. Wis awake cacad, rupane elek, maneh...” Sampai detik ini, Sumantri tidak dapat memahami jalan pikiran ayahnya. Jauh di lubuk hatinya ia tidak mau berlaku sedemikian kejam terhadap adiknya itu. Tapi nasi sudah jadi bubur. Keputusan ayahnya itu tidak dapat diowahi; tidak dapat diganggu gugat.
                Sokrasana mempercepat langkahnya. Dia telah memutuskan untuk mencari Sumantri, sampai ke ujung dunia sekalipun. “kakang Sumantri... kowe ning endi, kang? Aku aja ditinggal. Aku melu... kakang Sumantri...” teriakan paraunya terus membahana. Menurut keterangan Candabhirawa, makhluk gaib yang pernah ditemuinya di hutan, Sumantri telah pergi meninggalkan Sokrasana untuk mengabdi kepada Prabu Arjunasasrabahu di kerajaan Maespati. Oleh karena itulah, Sokrasana telah berpuguh niat untuk menyusul Sumantri ke Maespati, walaupun untuk saat ini, dia tidak tahu di mana letak negeri itu.
                Saat Sokrasana tengah dalam perjalanannya, di Maespati terjadi suatu kehebohan. Tiba-tiba saja Dewi Citrawati, sang permaisuri, menginginkan taman Sriwedari, milik Bathara Wishnu, agar dipindahkan dari Kahyangan ke Maespati. Serta merta Sang Prabu menitahkan tugas itu kepada Sumantri. “Pokoke ingsun ora preduli kepriye carane, sira kudu bisa mindahake taman Sriwedari aneng Maespati kene!” perintahnya. Titah yang mustahil dilakukan oleh Sumantri. Kesaktiannya tidaklah cukup untuk mengemban tugas sesulit itu.
                Sementara itu  Sokrasana, yang hampir saja putus harapan, mengira bahwa kakaknya tidak akan mungkin dia temukan. Seraya melepas lelah di pinggir sungai, Sokrasana mulai berpikir untuk mengurungkan niat semula. Dia mulai tak tentu arah, tidak dapat menentukan ke arah mana lagi dia harus berjalan. Di tengah kegalauan hatinya itu, mendadak sontak terlihat dari kejauhan sesosok yang amat dia kenal. Ya, sosok itu adalah Sumantri. Nampak kebingunagn dan linglung. Awalnya Sokrasana tidak yakin dengan apa yang dilihatnya. Namun setelah beberapa saat mengamati dengan seksama, dia teramat yakin bahwa sosok itu adalah kakak yang amat dikasihinya. Tanpa berpikir lagi, Sokrasana berlari menghambur ke arah Sumantri sambil berseru-seru, “kakang! Kakang Sumantri!!! Iki aku, kang. Sokrasana, adhimu...
                Sumantri yang tengah dirundung kebingungan kontan merasa heran sekaligus senang melihat adiknya itu. Ia terperangah. Mulutnya tidak dapat dikatupkannya. Sokrasana dihampirinya dengan setengah berlari, dipeluknya, dan diangkatnya tinggi ke atas pundaknya, seperti yang dulu kerap dia lakukan. “Kowe karo sapa, dhi? Kowe wani, ta, tekan kene dhewekan wae?” tanya Sumantri pada adiknya.
                “Aku nggoleki kowe, kang. Aku ora bisa urip tanpa kowe,” tukas Sokrasana. Setelah beberapa saat saling melepas rindu, Sumantri menceritakan perihal kebingungannya; titah Prabu Arjunasasrabahu yang nampak mustahil dilaksanakan. “aja bingung, aja kuwatir, kakang. Aku saguh mindahake taman Sriwedari aneng Maespati,” ujar Sokrasana.
                Sumantri terperangah, tidak dapat mempercayai ucapan adiknya. “aku saguh nglakoni waton kowe ora ninggal aku maneh, kang,” ujar adiknya itu. Demi memenuhi titah sang Prabu, Sumantri tanpa ragu menyanggupi persyaratan adiknya itu.
                Betul saja. Taman Sriwedari yang semula berada di Kahyangan, hanya dalam sekejap mata, telah pindah ke Maespati. Sumantri melambung ke puncak ketenaran. Namanya dipuja-puji khalayak ramai; menjadi harapan dan doa seluruh negeri. Sumantri, sang pahlawan, tidak diragukan jiwa ksatrianya, seorang yang pantas mendampingi Arjunasasrabahu, sang Nata.
                Namun, kegegapgempitaan itu tidak berlangsung lama. Sang Prabu merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan dari dirinya. Sumantri dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang akan memutarbalikkan nasibnya. “apa tenan, sira sing mindahake taman Sriwedari?”, tanya Sang Prabu. Untuk beberapa saat, Sumantri hanya dapat membisu, tertohok oleh tajamnya pertanyaan itu.
                Hati nurani Sumantri tengah tidak berfungsi pada saat itu. Hal itu terbukti dengan adanya pengakuan palsu, yang keluar dari mulutnya sendiri. Dia tidak berterus terang bahwa adiknyalah yang sebenarnya telah berjasa memindahkan taman Sriwedari ke Maespati.
                Sokrasana yang selalu mengikuti Sumantri ke mana pun ia pergi, lambat laun menimbulkan ketidaknyamanan di benak Sumantri. Dia merasa malu dengan kenyataan bahwa bukan dia yang telah berjasa memindahkan taman Sriwedari. Selain itu, karena terbuai oleh ketenaran dan kemegahan yang diterimanya, pelan namun pasti, Sumantri merasa bahwa Sokrasana yang cacat dan buruk lupa telah mempermalukannya. Maka, Sumantri memutuskan untuk menjauhkan Sokrasana dari hidupnya. Kalau perlu malah mengenyahkannya. Dengan segala cara, Sumantri mencoba mengusir adiknya itu.
                Namun sudah dapat diduga, Sokrasana terus saja mengikutinya. Dia tak mau lagi kehilangan kakaknya, dia tak ingin sedetik pun jauh darinya. Dia selalu menolak untuk menjauhi kakaknya, bahkan terus membuntutinya ke mana pun kakaknya itu melangkah.
                Sumantri merasa muak. Dia muak atas Sokrasana dan segala yang ada dalam dirinya. Dalam hitungan hari, rasa sayang terhadap adiknya itu berubah menjadi kebencian. Tanpa berpikir panjang, Sumantri mengambil sebuah anak panah, memasangkannya pada busurnya, dan kemudian mengarahkan busur itu tepat ke arah Sokrasana, seraya berkata “lungaa, dhi. Lunga saka uripku. Aku jijik marang kowe. Katresnanku marang kowe wus sirna. Yen kowe tresna marang aku, manuta karo aku. Lunga!!!
                Awalnya Sumantri berharap bahwa tindakannya itu akan membuat Sokrasana takut, sehingga mau tidak mau menurut padanya. Namun malang bukan kepalang, tanpa sengaja anak panah itu terlepas dari genggaman tangan Sumantri. Lebih cepat dari kedipan matanya, anak panah itu melesat cepat, tepat ke arah Sokrasana. Anak panah itu tertancap di dada Sorasana, adik satu-satunya, yang sangat mengasihinya. Secepat kilat Sumantri menghampiri tubuh adiknya yang telah rebah ke tanah. Sudah terlambat. Sokrasana telah tertusuk oleh anak panahnya; anak panah yang membawa banyak kebencian, yang entah dari mana datangnya. Sumantri hanya dapat menagis. Hanya itu.
                Dengan sisa tenaga yang ada, Sokrasana berusaha mengucapkan sesuatu pada Sumantri. “Sokrasana dudu Sumantri... nanging, sejatine Sokrasansa tansah ana ing jiwa lan ragane Sumantri. Yen Sokrasana mati, Sumantri uga kudu mati, amarga aku lan kowe ora bakal bisa kapisah, kakang...” Sokrasana mencabut anak panah yang menancap di dadanya. Tubuhnya menggeliat kesakitan. kemudian, tanpa ragu, Sokrasana menghunuskan anak panah itu ke arah Sumantri yang tengah tertunduk di atas tubuhnya. Sumantri meringis menahan sakit. Dia sama sekali tidak  berusaha untuk menghindar dari hunusan anak panah itu. Dia tahu bahwa ini adalah karmanya, dan ia tidak mau menghindarinya. Ngundhuh wohing pakarti...

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Followers


Recent Comments