Merayakan 21

20 Jan 1997 - 20 Jan 2018

21 tahun sudah, Pa, sejak Tuhan memutuskan bahwa rumah barumu di sana sudah siap ditempati. Satu hal yang ingin kusampaikan, kami semua baik-baik saja di sini, hanya karena kasih setia dan penyertaanNya yang ajaib.

Merindukanmu, itu pasti. Mengingatmu seraya terisak saat keadaan tak menentu, masih kerap terjadi. Membayangkanmu memasuki gang depan dengan motor Honda GL100 yang kau banggakan itu, sering ku lakukan. Mendengar langkah kakimu memasuki rumah kami dengan senyum jahilmu, masih sering kuharapkan.

Time heals kalau kata orang bijak. Tapi jelas terbukti bahwa untuk orang sepertimu, waktu pun tak bisa sepenuhnya menyembuhkan rongga besar di dalam diriku. Kalau aku diberi satu kesempatan utk mengajukan permintaan untuk dikabulkan, aku ingin sekali lagi bertemu, membonceng manis di belakangmu, menghirup aroma punggungmu, menikmati es krim yang kita beli dan makan diam2 di pelataran rumah susun dekat rumah, tertawa terbahak bersamamu, bernyanyi bersamamu, bersandar sejenak di bahumu untuk bercerita dan mengadu. Seandainya saja.

Pa, dalam perjalanan pulang tadi angin sepoi nan sejuk menyapu tubuhku dengan lembut. Saat itupun aku terhenyak dan tersadar bahwa kau tidak pernah sepenuhnya pergi dari sisiku. Terima kasih atas "kunjungan2" singkat yang sesekali kau lakukan, yang tak ayal menyunggingkan senyum di bibirku.

Terima kasih karena kau tidak pernah berlelah menunjukkan kasihmu pada kami, terima kasih atas keyakinanmu padaku bahwa aku perempuan berharga yang pantas dicintai. Terima kasih untuk setiap rengkuh hangatmu saat aku merasa bahwa dunia ini tak pernah menyajikan hal2 indah. Harus aku akui, Pa, bahwa kepergianmu merupakan suatu "berkah" buat kami, buatku. Karena aku tidak akan menjadi seperti sekarang jika aku tak tahu dan merasakan makna kehilangan.

Selamat merayakan 21 tahun menempati rumah barumu, Pa. Kelak kita akan bertemu dan berkumpul lagi. Kepada Yang Tiada Pernah berlelah, tolong sampaikan berjuta rinduku untuknya.

posted under | 3 Comments

Malam dan Savana

Malam akan datang dan memaksa kita berganti peran.

    Dan kaupun tau
    Aku paling suka meletakkan kepalaku
    Di bahumu: mengindera jelas ragamu
    Berada di lingkaran yang kau padu
    Di Savana itu


Kemudian, malampun tiba. 

posted under | 0 Comments

Takut Jauh

Saat daun terlepas dari rantingnya dan terhempas ke tanah, tak ada yang pernah bisa mendengar rintihannya.

Bisa jadi dia sebenarnya tersedu, tapi kita sudah terlalu kaprah menganggapnya sepoi angin yang merayu.

Saat gurat perak pergi meninggalkan ginuk ginuknya awan, tak ada yang pernah dapat melihat gisiknya.

Siapa yang tahu, kemasygulannya tertutup gelegar petir yang mencekam. 

Sampai tiba pada suatu tanya;

Seberapa jauh kata jauh menakutimu?

posted under | 0 Comments

ceracau kopi

Kuseduh kopi dengan gula dan dobel krim kesukaanmu 
Tutur demi tutur terlontar saling mengisi dinginnya malam, menyeracau tentang gemerincing dan juga kerontang 

Sudah larut, lelakiku.

Koyak pada sandang kita ku coba perbaiki dengan tisik-tisik yang kuharap bisa cukup mengurungkan niatmu untuk menutup setiap jendela saat dingin menyambangi.

Ada lubang di pintu rumah kita, kataku. 
Jika sempat, perbaikilah:
Supaya dingin yang membekukan rasa dan prana kita tidak mematikan.

Sudah dan sedang
Tunggu saja
Katamu 

Suatu masa akan kaulihat setiap lubang di rumah ini akan kuperbaiki supaya kau bisa terlelap dan kemudian terjaga lagi supaya kau bisa terus menisik, membuat selimut nyaman untuk kita. 

Terhenyak 
Saat itu semua meluncur lancar dari bibirmu 
Termangu; keterlibatan antara ragu, harap, dan jarak barangkali 


Sudah larut, habiskan kopimu. 

posted under | 0 Comments

Mati Dian

Malam ini tak akan lagi ada dian
Yang biasa bersinar di pinggir jendela
Pemarkah untuk membantumu melihat pulang

Sudah kutrima pesanmu pagi itu
Kau tak mau lagi melihat pulang

Pulang (hanya untuk mereka yang sampai)

posted under | 0 Comments

tempat matahari bertemu dengan ujungnya.

Lebar,  Selebar jangkauan tangan kurengkuh
semua mimpi dan harap
kujaga semuanya, bahkan hal yang tak sempat terucap

sepeluk sarat makna yang tak ingin kulepas begitu saja
senyum menghiasi wajahku yang katamu makin pucat
masakan Yang Maha Kasih ingin kita saling melupakan?

duduk bersila di tengah rerumputan bunga
menunggumu dalam diam, seraya menikmati harum sekar yang buatku semakin terjaga
kekasih, aku tak tahu kapan semesta mengizinkan kita bersua
yang kutahu, jika saat itu tiba, rasa kita akan selalu ada

masakan Yang Maha Hidup ingin itu mati tanpa lagu ?
begitu saja?

sampai kapan kau mau menunggunya pulang?
sampai petikan gitar tak lagi bermelodi
sampai semesta mengizinkanku bersua dengan penuai rinduku di situ,
di jalan itu,
tempat matahari bertemu dengan ujungnya.



posted under | 0 Comments

Kepalang Tanggung

Sudah kepalang tanggung
memang tak seharusnya ini dibendung

Lebih kepada kenyataan bahwa setiap awan menampung kenangan yang akan selalu bermurah hati untuk mencurahkannya saat musim hujan bertandang.
Seperti hari ini, kemarin, dan hari-hari sebelumnya, hujan kembali datang.
Tak ada pilihan, ku menari di antara tiap pelukan rintik yang sakit.

Sebaiknya memang jangan terlalu lelap tertidur, setidaknya berjaga.
Karena siapa nyana, ketukan tanda pulangmu menyeruak di antara embun esok pagi.

posted under | 0 Comments
Postingan Lama

Followers


Recent Comments